Bicara sejarah asal-muasal PRT, Yuli Eko Nugroho dari Perhimpunan Solidaritas Buruh, pernah menyinggung keberadaan PRT yang bermula ketika terjadi revolusi sosial di beberapa tempat yang meruntuhkan masa kekuasaan kerajaan. Menurutnya, runtuhnya kekuasaan itu membawa semangat kebebasan sehingga semua orang punya alat yang sama untuk bekerja di sektor jasa. Hal ini lalu memunculkan kelas-kelas baru dan kelompok kapitalistik model masyarakat yang bekerja di sektor penjualan jasa tersebut. Dan PRT muncul di dalamnya, sebagai kelompok masyarakat yang bekerja menjual kemampuan dan keahliannya merawat rumah, membesarkan anak, atau kerja-kerja domestik lainnya. [i]

Lebih jelas, LBH APIK Jakarta pernah menjabarkan, sejarah PRT bermula dari adanya praktik perdagangan budak pada awal abad ke-19. Masa ini menjadi suatu model dan gengsi di kalangan keluarga Eropa, terutama Belanda, di Batavia, untuk mempunyai satu atau beberapa orang budak. Fenomena ini lalu beralih pada tatanan feodalistik kolonial pada akhir tahun 1812, saat berakhirnya masa perdagangan budak. Para budak tersebut lalu diperlakukan sebagai “pembantu” sesuai hukum Belanda yang menempatkan orang Bumi Putera sebagai warga kelas ketiga. Selanjutnya di masa awal kemerdekaan, di Jakarta (Batavia) elit dan kelas menengah dibangun oleh bangsa Indonesia sendiri yang kebanyakan berasal dari pulau Jawa. Dalam rumah tangga mereka itulah, kehadiran PRT yang berasal dari kampung-kampung dibutuhkan untuk menyelesaikan kerja domestik mereka. Pada masa ini, PRT masih dipekerjakan dengan prinsip menghamba.[ii]

Berbeda sudut pandang, Prof. Dr. Damardjati Supajar, Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, juga pernah membahas asal-usul PRT ala pewayangan Jawa. Menurutnya, konsep PRT sesungguhnya seperti biyung emban (pengasuh anak) yang dalam konteks budaya Jawa, justru sosok yang adi luhung (sosok hebat karena jasa besarnya) karena tugasnya membesarkan dan menciptakan seorang ”ksatria”. Sebab dalam kesehariannya bapak-ibu si anak tidak ada waktu mengurusinya karena terlalu sibuk bekerja.

Berbekal konsep tersebut, Prof. Damardjati juga menyeru perlunya pembekalan dalam pergeseran pola pikir dan titik berat kesadaran masyarakat mengenai PRT. Masyarakat yang tadinya menyebut PRT sebagai pembantu, bedinde, enduk, tak lagi menggunakan istilah tersebut. Melainkan, masyarakat melihat PRT dari sisi fungsi mereka dalam menangani wilayah kerumahtanggaan sebagai ”pekerja”. Sebab itu, menurutnya PRT juga tidak perlu lagi merasa rendah diri, dan harus membekali diri dengan kemampuan dan ketrampilan kerja sebab mereka adalah pemilik jasa ketrampilan untuk kerja-kerja wilayah domestik. PRT harus berani membuat nilai tawar agar majikan juga tidak hitung-hitungan soal gaji dan hak lainnya.[iii]

Kehadiran PRT secara sosial sangat dirasakan dan sangat dibutuhkan manfaatnya. Namun posisi mereka sangat lemah akibat sistem sosial yang timpang. Sepanjang sejarah PRT di Indonesia, belum pernah terjadi pembentukan sebuah asosiasi profesi yang lahir dari prakarsa dan kesadaran mereka sendiri karena mereka telah terlemahkan secara struktural. Ide asosiasi itu katanya memang pernah muncul pada tahun 70-an, namun hanya dalam film komedi oleh Zus Doris Callebout dalam ”Inem Pelayan Seksi”. Meski terkesan penuh stigma, tapi dalam film ini PRT berkesempatan untuk menggugat apa yang mestinya menjadi haknya. Sebab pada dasarnya PRT memiliki pengaruh sosial yang luar biasa dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia, apapun nama yang dinisbatkan pada mereka, babu, bedinde, batur, jongos, kacung sampai pembokat.

Memang dalam berbagai sebutan itu, tak lepas dari struktur priyayi dalam budaya Jawa. Tapi dalam makna budaya Jawa, PRT atau yang mereka sebut ”pembantu” justru memiliki pula hak untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik dan akses untuk melakukan mobilitas sosial. Dan tanggung jawab itu secara moral dibebankan pada majikan. Istilah ”pembantu disekolahin” yang masih sering kita dengar, menjelaskan tanggung jawab majikan dalam budaya tersebut untuk mendidik dan menyekolahkan mereka. Hal ini tergambar dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam, bahwa salah satu upaya untuk mengangkat status sosial kaum papa adalah dengan mempekerjakan mereka di sektor rumah tangga kepada para priyayi (orang yang dianggap lebih tinggi status sosialnya), dan sebagai gantinya mereka akan dididik dengan baik. Dalam pandangan Umar Kayam, makna ”priyayi” inilah yang berarti ”membebaskan manusia dari takdirnya sebagai individu subordinat” menjadi manusia merdeka yang mampu memerdekakan orang lain tanpa melupakan bentuk balas jasa berupa  ”pelayanan” timbal balik.[iv]

Dalam budaya Jawa juga dikenal istilah magersari dan ngenger. Magersari adalah sekelompok masyarakat yang tinggal di lahan milik priyayi dan bekerja padanya. Sementara ngenger adalah bekerja secara ikhlas dan tidak dibayar pada suatu rumah tangga orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi secara martabat, derajat dan pangkat dibanding dirinya. Dalam sejarahnya, Suharto, mantan Presiden RI disebutkan pernah merasakan budaya ngenger ini di rumah keluarga Harjowiyono di Wonogiri. Di sana Suharto muda bekerja membersihkan rumah, menguras dan mengisi air dan kegiatan domestik lainnya. Dalam keluarga inilah Suharto berkesempatan belajar banyak tentang pertanian, yang katanya kelak dalam pemerintahannya sektor pertanian menjadi prestasi tertingginya dalam mengelola negara.[v]

Sementara dalam budaya Jawa-Cina Peranakan, termasuk Sunda, PRT bukanlah pekerja yang memiliki hak-hak pekerja dengan imbalan kemampuan profesi. Makna PRT lebih diartikan sebagai orang yang tidak mampu untuk hidup sendiri dalam dunia yang keras, maka itu PRT memerlukan perlindungan dari kekuasaan sang majikan. Kekuasaan inilah yang dianggap membuat PRT itu merasa nyaman dan terlindungi. Sebab itu, PRT dianggap bagian dari keluarga bukan pekerja asing di dalam keluarga yang punya hak dan kewajiban sesuai dengan klaim profesi.

Untungnya, kultur yang kebanyakan masih berlaku bagi PRT dalam masyarakat Indonesia tersebut, tidak berlaku bagi semua PRT yang bekerja di luar negeri, khususnya di Hongkong dan Taiwan. Profesi PRT di sana bukan lagi berkaitan semata-mata pada masalah kultur yang melekat seperti di Indonesia, tapi lebih murni kepada persoalan tenaga kerja. Para pekerja migran Indonesia yang berprofesi sebagai PRT, memiliki tempat dalam strata sosial dan diakui kedudukan sosialnya yang mungkin paralel dengan kelompok sosial pekerja asing kelas bawah.

Dalam kultur Hongkong, Taiwan, juga Singapura, kerja PRT mutlak memerlukan ketrampilan, konsep nilai waktu yang tinggi, disiplin dan berkemampuan tinggi. Hal positif yang diterima para PRT di sana yang kiranya patut dicontoh Indonesia adalah, PRT telah dianggap sebagai pekerja formal yang profesional. Mereka dihargai sejajar dengan profesi-profesi lainnya, diberi hak libur sehari dalam seminggu, juga hak libur di hari-hari libur nasional dan hari besar agama. Para PRT di sana juga tergabung dalam organisasi-organisasi pekerja migran dan menjadi subkultur dalam masyarakat di sana. Namun belum semua PRT mendapatkan kesempatan demikian di sana. Menurut pengakuan salah satu mantan TKI asal Jawa Tengah, yang pernah bekerja di Hongkong sebagai baby sitter, beberapa majikan di sana masih ada yang tidak membolehkan PRT-nya tergabung dalam organisasi pekerja. Namun demikian, si majikan tetap membolehkan PRT-nya untuk mengikuti kursus semisal kursus bahasa Inggris, Mandarin, atau bahkan kursus komputer sesuai minat PRT. Mereka juga diijinkan berlibur di Taman Victoria, Hongkong setiap Sabtu dan Minggu. Tempat inilah yang biasa menjadi ajang kumpul mereka di sana, ada orang Malang, Madiun, Jember, Jawa Tengah, atau bahkan Lombok. Sehingga bila berkunjung ke sana tidak berasa di Hongkong yang berbahasa Mandarin, tetapi seperti berada di Jawa dengan bahasanya yang kita kenal akrab.[vi]

Lain dari negara-negara Asia Timur yang berbasis masyarakat industri yang menganggap PRT sebagai bagian dari pekerja formal. Di negara-negara Timur Tengah posisi PRT bukan saja tidak mendapat perlindungan hukum, tapi tampaknya PRT dihilangkan hak sosialnya dan hak kemanusiaannya. Belum pasti penyebabnya, namun ada penilaian bahwa kultur di sana masih diwarnai pemahaman mengenai ”perbudakan” di mana seorang PRT masih didefinisikan sebagai seorang taklukan, dan tidak dianggap eksistensinya. Mati hidup mereka juga bergantung pada pemilik atau majikan. Inilah yang kemudian melahirkan banyak kekerasan fisik, seksual maupun verbal bagi para PRT yang bekerja di Arab Saudi.[vii]

Baca Juga:

Fokus 1: Memanusiakan Pekerja Rumah Tangga (PRT)

Fokus 3: Hak PRT dalam Hukum dan Undang-undang Kita

Fokus 4: Minim Perlindungan

Fokus 5: Islam dan Pekerja Rumah Tangga

 

[i] Yuli Eko Nugroho, Gerakan Perempuan, PRT, dan Buruh Harus Beraliansi, dalam Seminar “Mau Kemana Gerakan PRT?”, di Rumpun Tjout Njak Dien (RTND), Yogyakarta, Mei 2009   

[ii] http://www.lbh-apik.or.id/prt-posper.htm

[iii] Prof. Dr. Damardjati Supajar, Biyung Emban, dalam Seminar “Mau Kemana Gerakan PRT?”, di Rumpun Tjout Njak Dien (RTND), Yogyakarta, Mei 2009   

[iv] Umar Kayam, Para Priyayi, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1992

[v] http://www.apakabar.ws/content/view/1281/888888889/

[vi] Hasil wawancara Redaksi dengan salah satu mantan TKI asal Pati, Jawa Tengah yang bekerja di Hongkong sebagai baby sitter, pada awal Agustus 2009. Baca pula rubrik Teropong Dunia, Dr. Nur Rofi’ah, Belajarlah ke Negeri Cina untuk Menghargai PRT, Swara Rahima edisi 28

[vii] http://anton-djakarta.blogspot.com/2007_11_01_archive.html

 

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here