Oleh: Dr. Nur Rofi’ah
Jika mempunyai kesempatan berada di Hong Kong pada hari Minggu, mampirlah ke Victoria Park. Di Taman ini akan terlihat lautan Pekerja Rumah Tangga (PRT) Indonesia yang jumlahnya ribuan memenuhi setiap sudut taman, jembatan layang, hingga trotoar jalanan. Mereka sedang menikmati hak libur satu hari dalam seminggu. Ada yang berjualan aneka makanan, pakaian, aksesoris, ada pula yang sekedar kumpul dan makan laksana piknik.
Ketika berbicara PRT, mungkin terdengar berlebihan mengutip hadis Rasulullah saw. yang memerintahkan kita untuk belajar hingga ke Negeri Cina. Namun jangan salah, dalam hal menghargai PRT, Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim seharusnya belajar dari Hong Kong sebagai sebuah negara bagian Cina yang pernah dijajah Inggris dan mempunyai kehidupan yang makmur.
Data dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Hong Kong mencatat per November 2008 jumlah PRT dari Indonesia di Hong Kong mencapai 122.900 orang. Sementara South China Morning Post mencatat jumlah mereka per April 2009 adalah 125.567 orang. Jumlah ini lebih sedikit dari PRT asal Filipina yang berjumlah 126.075, namun jauh lebih besar daripada PRT asal Thailand, yang hanya 3.774 orang.
Kehidupan PRT kita di Hong Kong mempunyai nasib yang relatif lebih baik daripada mereka yang bekerja di Malaysia, Singapura, dan negara-negara Timur Tengah. Undang-undang Ketenagakerjaan Hong Kong (Employment Ordinance) mempunyai aturan yang melindungi PRT. Pertama, PRT diakui sebagai tenaga kerja sebagaimana tenaga kerja lain yang bekerja di pabrik, kantor, maupun sektor lainnya. PRT dan majikan menjalankan hubungan kerja secara profesional di mana keduanya mesti taat pada aturan kerja yang diterapkan oleh pemerintah. Dalam kondisi seperti ini, majikan tidak dapat memperlakukan PRT sekehendak hatinya walaupun mereka adalah penduduk setempat. Sebaliknya, PRT yang mendapatkan perlakukan sewenang-wenang dari majikan juga dapat melaporkannya ke pangadilan.
Kedua, PRT tidak boleh digaji di bawah upah minimum yang jumlahnya cukup fantastis. PRT yang digaji di bawah upah minimum dapat memperkarakannya di pengadilan. Telah ada banyak kasus pengupahan di bawah standar (under payment) yang sampai ke pengadilan dan dimenangkan oleh PRT. Majikan maupun agen yang kalah di pengadilan wajib membayar denda yang cukup besar pada PRT.
Ketiga, PRT mempunyai hak untuk libur satu hari dalam seminggu. Pada umumnya mereka mengambil Sabtu atau Minggu. Pada hari tersebut, majikan dilarang mempekerjakan tanpa upah tambahan. Jika tidak, maka mereka dapat pula memperkarakannya secara hukum. Hari libur seperti ini biasanya dimanfaatkan untuk berkumpul dengan PRT sedaerah, seorganisasi, atau jalan-jalan sesuka hati.
Keempat, PRT mempunyai hak untuk berorganisasi. Tidak mengherankan jika jumlah organisasi yang dikelola oleh BMI (Buruh Migran Indonesia) yang bekerja sebagai PRT tak kurang dari 38 organisasi, mulai dari organisasi sosial, seni, budaya, maupun agama. Beberapa organisasi yang secara khusus memperjuangkan hak-hak PRT adalah ATKI (Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia), IMWU (Indonesian Migrant Workers Union), GAMMI (Gerakan Aliansi Migran Muslim Indonesia), Persatuan BMI Tolak Overcharging (Pilar), Kotkiho (Koalisi Organisasi Tenaga Kerja Indonesia di Hong Kong). Di samping organisasi sosial ini, ada pula organisasi agama semacam majlis taklim seperti al-Fattah, al-Fadilah, al-Istiqamah, an-Nisa, Akhwat Gaul, al-Ukhuwah, al-Ikhlas, Nur Muslimah Satin, Az-Zuhriyah, al-Atki, Darul Mustakim, Birrul Walidain. Bahkan ada pula organisasi yang bertaraf internasional seperti International Migrant Alliance (IMA), sebuah aliansi internasional yang beranggotakan organisasi dan serikat buruh migran dari berbagai negara.
Hak libur satu hari dalam seminggu ini banyak dimanfaatkan PRT yang menjadi aktifis buruh migran untuk melakukan penyadaran-penyadaran hak sosial maupun politik pada komunitasnya. Misalnya melalui diskusi, seminar, training, kongres, aksi massa, pernyataan sikap, pengiriman artikel ke media massa, penyebaran buletin dan selebaran, atau dengan memanfaatkan kegiatan lain mulai peragaan busana hingga pengajian.
Keberadaan organisasi-organisasi PRT ini menjadi penting agar perspektif mereka dipertimbangkan pemerintah dalam mengeluarkan regulasi. Tak jarang apa yang pemerintah katakan sebagai upaya perlindungan, dalam perspektif mereka justru merupakan ketidakadilan. Misalnya pemberlakuan Terminal Khusus TKI yang oleh pemerintah dikatakan sebagai upaya perlindungan, ternyata dalam praktiknya dirasakan oleh mereka sebagai bentuk diskriminasi. Sebab itu, ketika Pemerintah SBY-JK berencana mengamandemen UU Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri (UUPTKILN) No. 39/2004, Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia-Hong Kong mengeluarkan empat sikap:
- Cabut UU PPTKILN No. 39 Tahun 2004.
- Ratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya sekarang juga.
- Tetapkan biaya maksimum satu bulan gaji dan hapus biaya training.
- Hapuskan terminal khusus TKI.
Dengan berbagai kesempatan yang ada, tidak sedikit di antara aktifis-aktifis BMI yang juga PRT ini fasih berbicara bahasa Inggris dan mengerti dengan baik aturan perundang-undangan tentang ketenaga-kerjaan di Indonesia, pemerintah setempat, maupun konvensi PBB yang terkait. Jika beruntung mempunyai majikan sesama aktifis, tak jarang mereka diundang ke berbagai even internasional berkaitan dengan ketenaga kerjaan sebagai pembicara.
Meskipun Hong Kong memang mempunyai payung hukum yang memungkinkan PRT Indonesia di sana berada dalam kondisi yang jauh lebih baik bahkan dari PRT di tanah air, namun problem tetap saja terjadi. Menurut catatan KJRI Hong Kong, kasus perselisihan antara TKW dengan majikan atau agen menjadi kasus yang paling banyak terjadi, lalu pemotongan hubungan kerja sepihak, kriminal berat dan ringan, overstay, gaji di bawah standar, dan tidak diberi hari libur.
Beberapa kendala yang dihadapi PRT kita di Hong-Kong dalam memanfaatkan payung hukum pemerintah setempat antara lain:
- Tidak mengetahui hak-haknya dengan baik. Terutama mereka yang baru menjalani kontrak kerja pertama kali. Bahkan tidak sedikit mereka yang tidak mengerti isi kontrak, siapa agennya, dan apa tugas yang menjadi kewajibannya.
- Tidak mengetahui bagaimana cara memperkarakannya secara hukum.
- Dari jumlah PRT yang ada, baru sekitar 10 persen yang aktif dalam organisasi.
Keberadaan organisasi yang banyak dari kalangan PRT sendiri memberikan harapan akan terjadinya proses penyadaran yang terus berjalan di kalangan mereka sendiri. Pengaruh kesadaran ini diharapkan bisa sampai ke tanah air. Jika sejumlah kalangan yang menaruh perhatian terhadap masalah BMI melihat Hong Kong sebagai penggerak bagi lahirnya kesadaran pekerja migran, maka kita dapat memberi harapan yang sama pada pengaruh gerakan tersebut di tanah air terhadap nasib PRT yang bekerja di negara sendiri. Tak semestinya warga negara yang bekerja di Luar Negeri mendapatkan perlindungan hukum yang lebih baik dari negara asing melebihi perlindungan pemerintah sendiri pada PRT yang bekerja di tanah air. Dari negara bagian Cina ini, kita dapat belajar banyak bagaimana memandang PRT sebagai pekerja mulia yang mesti dihargai dan dihormati hak-haknya. [ ]