Layaknya pekerja lainnya, bila PRT dituntut untuk trampil mengerjakan pekerjaan rumah tangga, selayaknya mereka juga dipenuhi hak-haknya sesuai tanggung jawabnya. Semisal, memperoleh upah yang layak, jam kerja yang jelas, jaminan sosial, perlindungan untuk tidak mendapatkan kekerasan, ataupun hak berpartisipasi. Namun sayang, belum ada aturan pasti di negara ini yang melindungi hak-hak dasar tersebut.

Dalam Pasal 1 Undang-undang/UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan misalnya, belum memasukkan PRT dalam pengertian pekerja atau buruh dan memenuhi unsur hubungan kerja layaknya pengusaha dengan pekerjanya, yang tidak harus selalu diikat dengan perjanjian tertulis. Padahal mestinya, negara wajib melindungi hak PRT sebagai pekerja. Tapi tampaknya, dalam praktiknya, negara tidak pernah netral. Semisal jika dikaitkan dengan kepentingan PRT, negara tak dengan segera mengesahkan posisi PRT sebagai bagian dari kelas pekerja yang seharusnya juga mendapat perlindungan hak-hak pekerja yang mendasar, seperti pengaturan jam kerja dan jam istirahat serta libur dan cuti, atau pengaturan mekanisme dalam menyelesaikan perselisihan. Melihat realita yang demikian, dapat dikatakan kaum pekerja terutama PRT telah mensubsidi sektor industri atau pemilik modal dan negara dalam hal ini pemerintah yang menikmati lepasnya tanggung jawab untuk mensejahterahkan warga negaranya. Bukankah ini yang harusnya jadi tanggungjawab negara seperti bunyi UUD ’45 pasal 27 ayat 2 dan pasal 28D ayat 2-nya?[i]

Memang, melahirkan sebuah undang-undang bukanlah pekerjaan mudah, terlebih bila belum ditemukan definisi yang tepat mengenai sesuatu yang akan diatur. Dan PRT sendiri hingga saat ini masih mengalami perdebatan dalam pendefinisian. Apakah mereka masuk bagian dari pekerja sesuai dengan undang-undang ketenagakerjaan atau bukan? Terlepas dari perdebatan tersebut, patut diapresiasi PRT merupakan pekerja. Mengingat unsur-unsur adanya pemberi dan penerima kerja, adanya pekerjaan dan juga adanya upah. Sayangnya, anggapan kerja PRT sebagai pekerjaan yang mudah dilakukan dan bisa dilakukan meski tanpa ketrampilan, pendidikan, pengalaman, sangat menguat di kalangan masyarakat kita. Akibatnya upah dan penghargaan yang diberikan pada mereka juga kecil.

Di tengah masyarakat kita, pihak yang tidak sepakat PRT sebagai bagian integral dari definisi pekerja sesuai undang-undang merupakan pihak mayoritas. Hal inilah yang telah mendorong para penggiat Hak Asasi Manusia, khususnya yang konsern pada isu PRT, semisal Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND) Yogyakarta, Rumpun Gema Perempuan atau Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) Jakarta, untuk mengusulkan pembuatan peraturan tentang PRT mengingat resiko pekerjaan yang dihadapi relatif sama besar dengan profesi lainnya. Tapi sampai saat ini, RUU PRT masih sebatas usulan pembuatan dan penyusunan draft akademik meski telah diusulkan sekitar sepuluh tahun lalu. Ketidakjelasan posisi PRT dalam pendefinisian secara materiil tidak hanya menimpa PRT di dalam negeri, tapi juga mereka yang di luar negeri.

Lahirnya Undang-undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri (UU PPTKILN) No. 39 tahun 2004, juga belum memberi kemajuan dalam pendefinisian siapakah yang termasuk pekerja informal. Namun bukan hal itu masalah utama dalam UU PPTKILN tersebut, masalah utama adalah bagaimana perlindungan negara terhadap warga negaranya yang hidup dan bekerja di luar negeri? Tapi itupun juga belum terpenuhi. Hanya ada 8 pasal perlindungan terhadap TKI dari 108 pasal yang ada. UU tersebut lebih banyak mengatur tentang penempatan TKI. Padahal menurut data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) tahun 2004, jumlah TKI yang bekerja di sektor informal ada dua kali lipat daripada TKI yang bekerja di sektor formal. Dan lebih dari 90 persen pekerja sektor informal adalah perempuan.

Melihat permasalahan tersebut, memberikan gambaran kepada kita betapa urusan ketenagakerjaan di Indonesia yang berkaitan dengan pekerja domestik dan juga buruh migran masih belum selesai. Negara belum sepenuhnya memberi perlindungan terhadap pekerja sektor domestik (PRT).

Penyusunan dan pengesahan peraturan yang berkaitan dengan PRT bukannya belum pernah diupayakan. Para pembuat kebijakan khususnya di tingkat daerah, beberapa sudah ada yang mengupayakan lahirnya produk hukum yang melindungi PRT. Sebut saja Peraturan Daerah (perda) dan Surat Keputusan (SK) yang mengatur tentang PRT. Di Yogyakarta misalnya, telah ada SK Gubernur yang berkaitan dengan isu PRT.[ii] Atau Perda DKI Jakarta No. 6 Tahun 1993 tentang Pramuwisma, juga pernah ada. Namun dalam perda DKI ini masih banyak permasalahan, mulai dari penggunaan istilah pramuwisma yang tadinya dimaksudkan memperhalus istilah “PRT- Pembantu Rumah Tangga” yang sudah populer di masyarakat, justru berpotensi mengaburkan permasalahan PRT. Seharusnya istilah yang dipakai adalah “Pekerja Rumah Tangga” karena istilah ini lebih tegas maknanya, bahwa PRT atau Pekerja Rumah Tangga adalah salah satu jenis pekerjaan yang seharusnya masuk dalam hukum ketenagakerjaan. Dalam aturan ini belum ada definisi tegas untuk pemakaian istilah “Pekerja”, atau “Pekerjaan”, “hubungan kerja”, serta “perjanjian atau kontrak kerja”, yang kesemuanya mencerminkan hak-hak dasar PRT.[iii]

Bagaimana dengan bilateral agreement yang juga diharapkan sama-sama melindungi hak-hak PRT dan majikan? Indonesia misalnya, meski sudah melakukan perjanjian kesepakatan dengan pemerintah Malaysia, dalam praktiknya pasal-pasal dalam kesepakatan tersebut masih banyak yang merugikan para pekerja kita. Dalam bilateral agreement tentang PRT tahun 1997 dan non PRT tahun 1998 tersebut, diatur mengenai kewajiban paspor TKI disimpan oleh majikan. Artinya mobilitas PRT dan non PRT menjadi terbatas. Hal ini menyerupai praktik penyanderaan terhadap pekerja itu sendiri. Untuk itu, pasal-pasal seperti inilah yang seharusnya dihilangkan dalam bilateral agreement.[iv]

Faktanya, memang masih jauh panggang dari api. Kondisi kerja yang layak bagi PRT masih jauh dari harapan. Jangankan untuk memperoleh hak-haknya secara layak, yang kerap terjadi pada PRT adalah tindak kekerasan dan pengurangan hak-hak dasarnya sebagai pekerja sekaligus manusia. Baik mereka PRT dewasa, maupun anak-anak, tak terkecuali masih menerima perlakuan timpang dari majikan. Padahal jelas, bagi anak-anak, kerja sebagai PRT adalah juga melanggar konvensi ILO yang telah diratifikasi Indonesia, yaitu konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimum untuk diperbolehkan bekerja, Konvensi ILO No. 182 Tahun 2000 tentang bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, dan juga UU No. 1 Tahun 2000 tentang Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.[v] Sayangnya, tak sedikit anak-anak di bawah umur yang terpaksa harus bekerja sebagai PRT akibat tekanan ekonomi, dirayu calo, atau sekedar ikut teman, mencari pengalaman di kota, ataupun mencari kepuasan untuk punya uang sendiri. Jika demikian, mutlak dibutuhkan aturan yang ketat, agar PRT tetap mendapatkan haknya sebagai seorang anak, seperti hak pendidikan, jam kerja yang tidak lebih dari lima jam sehari, serta tidak mengerjakan pekerjaan yang berbahaya bagi anak, seperti bekerja dengan naik ke atap genting, atau bekerja dengan bahan-bahan kimia.

Secara umum, Aida Milasari telah menjelaskan hak-hak dasar bagi PRT. Namun secara detil, dalam Kertas Posisi usulan revisi Perda DKI Jakarta No. 6 Tahun 1993, hak-hak tersebut diuraikan berikut ini.[vi]

Pertama, PRT harus mendapatkan perlindungan dari eksploitasi kerja yang terus-menerus dengan adanya pembatasan waktu kerja.

Kedua, PRT berhak mendapatkan waktu istirahat atau libur.

Ketiga, khusus bagi PRT perempuan baik dewasa maupun remaja berhak mendapatkan perlindungan terhadap hak-hak reproduksinya.

Keempat, PRT juga berhak mendapatkan gaji dengan standar upah minimum bagi pekerja di tingkat daerah.

Kelima, secara ideal semua pekerja termasuk PRT juga berhak mendapatkan jaminan atas hari tua, jaminan sosial, bantuan sosial, dan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat.

Keenam, sebagai salah satu kebutuhan mendasar individu, PRT memiliki hak pula untuk berorganisasi, dan membentuk serta menjadi anggota serikat pekerja.

Ketujuh, meski bekerja dalam lingkup kecil yang rumah tangga atau sebuah keluarga, PRT juga berhak mendapatkan rasa aman dan keselamatan di lingkungan kerja.

Kedelapan, sebagai individu apalagi yang seringkali menjadi korban, PRT berhak atas bantuan hukum baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata.

Kesembilan, terkait kebutuhan beragama PRT berhak menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan atau kepercayaannya masing-masing.

Kesepuluh, PRT berhak mendapatkan pendidikan, pelatihan atau bimbingan sesuai dengan pekerjaannya tanpa mengurangi hak-haknya yang lain.

Kesebelas, PRT berhak mendapatkan Kartu Tanda Penduduk atau KTP seperti halnya warga musiman. Hal ini telah diberlakukan di kota-kota besar seperti Jakarta.

Keduabelas, PRT berhak atas perlakuan non diskriminasi.

 

Baca Juga:

Fokus 1: Memanusiakan Pekerja Rumah Tangga (PRT)

Fokus 2: Akar Historis dan Kultural PRT

Fokus 4: Minim Perlindungan

Fokus 5: Islam dan Pekerja Rumah Tangga

 

                                     

[i] http://rumpuntjoetnjakdien.blogspot.com/search/label/Artikel

[ii] Buyung Ridwan Tanjung, Menunggu Malaysia Membuat Aturan Pekerja Informal, dalam http://rumpuntjoetnjakdien.blogspot.com

[iii] Kertas Posisi Usulan Revisi Perda DKI Jakarta No. 6 Tahun 1993 Tentang Pramuwisma, selengkapnya di http://www.lbh-apik.or.id/prt-posper.htm – _ftn1

[iv] Buyung Ridwan Tanjung, Menunggu Malaysia Membuat Aturan Pekerja Informal, dalam http://rumpuntjoetnjakdien.blogspot.com

[v] Konvensi-konvensi ILO tentang Kesetaraan Gender di Dunia Kerja, Organisasi Perburuhan Internasional, Jakarta, 2006

[vi] Kertas Posisi Usulan Revisi Perda DKI Jakrta No. 6 Tahun 1993 Tentang Pramuwisma, Tabel: Usulan-usulan Revisi atas Perda, hlm. 16-17.

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here