Imam Nakha’i, M.H.I., lahir 12 Februari, 1970 di Malang, Jawa Timur. Ia memulai pendidikannya di Sekolah Dasar Negeri, lalu melanjutkannya ke Tsanawiyah dan Aliyah Negeri. Menurut pengakuannya, sejak tahun 1990 sampai sekarang, ia nyantri di Pondok Pesantren (Ponpes) Salafiyah Syafi’iyyah, Sukorejo-Situbono. Di sela-sela nyantrinya itu, ayah dari tiga orang anak ini juga nyambi kuliah S1 di perguruan tinggi yang dimiliki Ponpes tersebut. Usai S1, ia pun melanjutkan ke Pasca Sarjana UNISMA Malang, dengan mengambil konsentrasi Hukum Islam. Rasa dahaga akan ilmu agama yang dimilikinya, juga membawanya nyantri di Ma’had Aly, Situbondo. Tapi setelah 3 tahun pertama sebagai santri, di tahun berikutnya ia kemudian dituntut untuk menjadi pendidik di sana, sampai sekarang. Kiprahnya yang mendalam tentang kajian agama juga membawanya ke forum-forum kajian nasional, di antaranya forum Pendidikan Kader Ulama Majlis Ulama Indonesia atau PKU-MUI. Dalam wawancaranya bersama Swara Rahima ini, ia akan menuturkan pendapatnya tentang bagaimana sesungguhnya Islam menempatkan profesi Pekerja Rumah Tangga (PRT), serta bagaimana kewajiban negara dalam pemenuhan hak-hak PRT? Selengkapnya, berikut kutipan wawancaranya.

Siapakah PRT dalam pandangan Islam?

Pekerja Rumah Tangga atau PRT adalah manusia seutuhnya seperti manusia pada umumnya. Tidak ada perbedaan antara PRT dengan Pengguna Jasa atau majikan dari sisi kemanusiaannya. Sebab itulah PRT juga memiliki hak-hak dasar sebagai manusia yang dijamin oleh Agama.

Siapakah PRT dalam pandangan Islam?

Pekerja Rumah Tangga atau PRT adalah manusia seutuhnya seperti manusia pada umumnya. Tidak ada perbedaan antara PRT dengan Pengguna Jasa atau majikan dari sisi kemanusiaannya. Sebab itulah PRT juga memiliki hak-hak dasar sebagai manusia yang dijamin oleh Agama.

Bagaimana relasi PRT dengan pengguna jasa dalam Islam?

Dalam Islam relasi PRT dengan pengguna jasa adalah relasi yang seimbang dan sederajat. Artinya, pengguna jasa membutuhkan jasa PRT dan PRT membutuhkan pemenuhan kebutuhan hidupnya yang dibangun atas prinsip tolong menolong (at-ta’awun) dan kasih sanyang (ar-rahmah). Sebab itulah, dalam fiqh term yang digunakan untuk mengambarkan relasi itu adalah al-ajir dan al-musta’jir. Dua kata itu berasal dari akar kata yang sama “ajara” yang salah satu artinya adalah “saling memberi balasan setimpal” atau mukafa’ah.

Bagaimana menurut Anda relasi yang terbangun antar PRT dan Pengguna Jasa, saat ini?

Islam menggambarkan relasi PRT dan pengguna jasa sebagai “alaqatun ma’nawiyah imaniyah“, atau hubungan kemanusiaan yang dibangun atas nilai-nilai keimanan. Relasi PRT dan pengguna jasa bukan relasi “atas-bawah” yang dibangun di atas dasar kekuasaan (siyadiyah), materialistik (madiyah), dan eksploitatif, sebagaimana fenomena yang terjadi saat ini. Dalam relasi seperti ini, PRT berada pada posisi yang lemah (dha’if) dan dilemahkan (mustadh’afin). Itulah relasi jahiliyah yang dibangkitkan kembali oleh sistem perekonomian modern dan  gaya hidup hedonis.

Bagaimana dengan hak-hak PRT dalam pandangan Islam?

Dalam sejarah kemanusiaan, PRT berada dalam pihak yang lemah dan dilemahkan. Sebab itulah Islam hadir untuk melindungi dan sekaligus memberikan hak-haknya sebagai manusia dan secara khusus sebagai Pekerja Rumah Tangga. Hal ini sejalan dengan misi Islam untuk meyelamatkan harkat dan martabat manusia dari kezaliman, penistaan, penindasan, dan eksploitasi antar sesama.

Apa saja hak-hak dasar PRT yang dijamin dalam Islam?

Dalam tataran praktis Islam memberikan beberapa hak-hak khusus pada PRT. Hak-hak tersebut antara lain, adalah hak untuk mendapatkan informasi. Semisal informasi tentang jenis pekerjaan, ketentuan upah dan jaminan-jaminan sosial lainnya.

Dalam pandangan fiqh, transaksi ijarah (perburuhan) menjadi batal (gugur) jika tidak terpenuhi syarat-syarat yang melindungi kedua belah pihak. Seperti informasi jenis pekerjaan yang harus dikerjakan PRT, ketentuan upah dan jaminan-jaminan sosial tersebut.

Bagaimana dengan hak upah bagi PRT?

PRT berhak untuk mendapatkan upah yang adil yang harus segera dibayarkan. Hak inilah yang sejak dulu seringkali dilanggar oleh pihak perusahaan atau pengguna jasa sebagai pihak musta’jir yang berada dalam posisi kuat.

Apa dasar Hadis atau Alquran tentang hak upah ini?

Dalam sebuah hadis, Nabi bersabda, “Barang siapa yang mengupah buruh maka hendaklah dijelaskan upahnya”. Dalam teks yang lain Nabi bersabda, “Berikanlah upah buruh sebelum kering keringatnya dan beritahukanlah ketika ia menjalankan tugas pekerjaannya berapa jumlah upah yang harus diterimanya”.

Sekalipun hadis ini dha’if (lemah) namun banyak memiliki syahid yang dapat menyebabkan hadis ini naik dalam posisi hasan lighairihi. Hadis ini dengan tegas meyatakan bahwa upah harus ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak sebelum bekerja dan diberikan sebelum keringatnya mengering.

Apa maksud memberi upah PRT sebelum kering keringatnya?

Tentu saja hadis ini tidak dapat sepenuhnya dipahami secara harfiyah. Yang dimaksud sebelum kering keringatnya adalah Nabi mewanti-wanti agar jangan sampai upah PRT ditunda-tunda pemenuhannya.

Bahkan dalam hadis lain Nabi juga bersabda, “Ada tiga kelompok yang Allah menjadikan musuh bagi-Nya, yaitu seorang yang diberi amanah kemudian ia menghianatinya; seorang yang menjual orang merdeka kemudian ia memakan hasil penjualannya; dan ketiga seorang yang mengupah buruh kemudian setelah buruh menunaikan tugasnya, ia enggan membayarkan upahnya”.

Bagaimana Nabi mengimplementasikan hal tersebut?

Rasulullah bukan tipe orang hanya hanya bicara saja, tapi Nabi mencontohkannya dengan tindakan nyata. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi tidak pernah menzalimi seorang PRT pun yang ada di rumahnya dengan tidak memberikan upah mereka.

Selanjutnya, apakah Islam juga mengatur hak istirahat bagi PRT?

Islam mengatur hak bagi PRT untuk mendapatkan kesempatan ibadah, istirahat, dan cuti. Sebab ibadah merupakan hak manusia yang paling mendasar. Tidak boleh pihak manapun atas nama apapun mengurangi atau menghapuskan hak ibadah orang lain. Karena Islam dengan ajaran-ajarannya sangat menjunjung tinggi hak beragama dan berkeyakinan. Sebab itulah dalam berbagai kitab fiqh dikatakan waktu-waktu pelaksanaan ibadah wajib, tidak dapat digannggu oleh pekerjaan apapun termasuk sebagai PRT. Dalam melaksanakan ibadah ini atau istirahat, PRT tidaklah mengurangi kwantitas kerjanya. Sebab itu, majikan tidak boleh mengurangi upah PRT yang telah disepakti hanya karena alasan dipotong waktu ibadah, istirahat, atau cuti.

Bagaimana dengan hak reproduksi PRT?

Istirahat dan cuti reproduksi juga merupakan hak PRT yang menjadi kewajiban pungguna jasa untuk memenuhinya. Dalam sebuah hadis dikisahkan, Abdullah Ibnu Amr adalah seorang sahabat yang gemar dan berlebihan dalam beribadah, puasa di siang hari dan bangun shalat di malam hari. Ia enggan makan bersama tamu yang dijamunya di siang hari. Hak-hak keluarga sering terabaikan dan kesehatan fisiknya tidak terjaga. Lalu Nabi bersabda, “Jiwamu, ragamu, keluargamu memiliki hak atas dirimu”. (HR. Bukhari)

Demikian pula dengan PRT. Mereka memiliki Jiwa yang berhak untuk mendapatkan ketenangan, kenyamanan, dan terhindar dari tekanan-tekanan dalam melakukan aktifitas. Raganya memiliki hak untuk tidak dieksploitasi bahkan oleh dirinya sendiri sekalipun. Dan keluarganya juga memiliki hak untuk mendapatkan nafkah, perlindungan dan mu’asyarah bi al-ma’ruf. Sebab itu dalam hadis lain Nabi bersabda, “Istirahatkan jiwa kalian, karena apabila kelelahan hati akan menjadi tumpul”. Hak untuk mendapatkan istirahat dan perlakuaan manusiawi ini juga telah ditetapkan dalam huququ al-insan fi al-islam.

Bagaimana dengan kerja PRT yang sangat banyak?

Dalam hal ini Islam sesungguhnya melindungi hak PRT untuk tidak dibebani pekerjaan di luar kemampuannya. PRT adalah manusia yang memiliki keterbatasan waktu, tenaga dan kemampuan, seperti yang lain. Islam mengajarkan agar memperlakukan mereka secara baik dan tidak membebani mereka di luar batas kemampuannya.

Dalam hadis Nabi diyatakan, “Suatu saat datanglah seorang majikan pada Nabi seraya bertaya: berapa kali kami harus memaafkan kesalahan PRT kami? Nabi menjawab: dalam setiap hari kalian harus memaafkan kesalahannya tujuh puluh kali”.

Hadis itu sangat luar biasa. Ini menunjukkan bagaimana perghormatan Nabi kepada para PRT. Tidak sebagaimana yang sering terjadi, hanya dengan satu kesalahan saja, penyiksaan dilakukan terhadap mereka. Padahal Nabi menandaskan seandainya PRT melakukan kesalahan sebanyak tujuh puluh kali dalam sehari, maka masih harus dimaafkan. Bahkan, dalam hadis lain dikisahkan, makan bersama PRT dalam satu meja merupakan simbol mukmin sejati yang dirindukan surga.

Tentang hak pendidikan dan pelatihan bagi PRT, bagaimana Islam mengupayakannya untuk pengembangan diri PRT?

PRT adalah warga negara yang memiliki hak-hak sebagai warga negara. Termasuk memperoleh lapangan pekerjaan dan pendididikan serta pelatihan untuk menunjang profesionalitasnya. Namun kewajiban pemenuhannya tidak dibebankan sepenuhnya pada majikan sebagai pengguna jasa, melainkan kewajiban setiap PRT untuk memiliki standar kemampuan kerja. Tetapi jika setiap individu PRT tidak mampu memenuhi hak itu dengan kemampuannya sendiri, maka menjadi kewajiban pemerintah untuk melayaninya.

Dalam hal ini pemerintah melalui pejabatnya berkewajiban mempersiapkan tenaga-tenaga kerja yang memiliki kemampuan cukup di bidang pekerjaannya. Ini supaya mereka tidak mengalami penistaan dan kekerasan. Sebab akar kekerasan antara lain disebabkan karena pandangan rendah terhadap PRT dan kurangnya kemampuan kerja.

Bagaimana sesungguhnya peran negara dalam memberikan hak-hak PRT?

Negara adalah pelayan masyarakat. Negara berkewajiban memenuhi seluruh hak-hak masyarakat yang tidak dapat diraihnya sendiri. Dalam konteks PRT, negara berkewajiban menyediakan lapangan pekerjaan, mengatur gaji, dan memberikan perlindungan keamanan serta jaminan sosial lainnya.

Pemerintah tidak boleh membiarkan warganya tidak punya pekerjaan dan kehilangan haknya. Pemerintah yang menelantarkan warganya dari memperoleh hak-haknya adalah pemerintahan yang dzalim (aniaya) dan menurut fiqh dapat di-ma’zulkan (dilengserkan).

Dalam hal ini, Sayyidina Umar Ibnu Al-Khattab telah mencontohkan sebagai kepala negara. Ia mengatakan, “Saya sangat menginginkan seluruh kebutuhan masyarakat dapat saya penuhi, jika kami tidak mampu maka kami akan pikul bersama-sama kesulitan itu”.

Menurut Anda, adakah keterkaitan konsep ”perbudakan” (terutama dalam kultur Arab Jahiliyah), dengan kekerasan yang dialami PRT yang di luar negeri?

Sebenarnya tidak juga, sebab kalau kita baca dengan cermat teks-teks Alquran, hadis dan fiqh, mungkin tidak akan kita temukan ajaran yang menistakan atau yang memerintahkan kekerasan terhadap hamba sahaya. Memang Islam masih mengakui kepemilikan hamba sahaya, namun di sisi lain Islam mengajarkan agar perbudakan yang jadi sejarah buram kemanusiaan dihapuskan dari muka bumi. Bukti bahwa Islam sangat berkeinginan agar perbudakan dienyahkan adalah adanya kewajiban memerdekaan hamba sahaya atas seseorang yang melakukan larangan-larangan Allah swt. Misalnya, pelanggaran senggama di siang hari bulan Ramadhan, dhihar, membunuh tidak sengaja, pelanggaran sumpah dan lainnya, akan dikenai sanksi berupa memerdekakan hamba sahaya.

Tapi sesungguhnya konsep kepemilikan hamba sahaya bukanlah ajaran Islam, melainkan terlahir dari sejarah kemanusiaan yang cukup panjang. Islam justru datang untuk meyelamatkan kemanusiaannya, dengan menggunakan cara-cara Islami, yaitu tadrij fi at-tasyri’ (mengubah budaya secara perlahan).

Jadi tidak ada hubungannya kekerasan terhadap PRT dengan konsep perbudakan dalam Islam. Bahkan, hampir seluruh kitab fiqh pasti diakhiri dengan bab Al-Itqu, yang dimaksudkan agar pembebasan perbudakan menjadi muara dari seluruh ketentuan fiqh. Jika muncul pemahaman bahwa konsep perbudakan dalam Islam ikut memberi andil terhadap perilaku kekerasan terhadap PRT, itu berarti belum tuntas pemahaman terhadap  ajaran Islam. 

Dalam hal ini, upaya apa yang perlu dilakukan untuk menghadapi konteks kultur yang berbeda?

Memang konteks fiqh ijarah dalam Islam berbeda dengan konteks perburuhan saat ini. Jika perburuhan saat di mana ketentuan fiqh disusun sangatlah sederhana, baik dilihat dari format kontraknya maupun wilayah kerjanya. Fiqh ijarah klasik tidak membayangkan terjadinya model perburuhan modern yang melibatkan banyak pihak, bukan hanya buruh dan pengguna jasa, melainkan melibatkan agen, calo, PJTKI, dan negara, baik negara tempat asal maupun negara tujuan. Dengan demikian diperlukan menyusun fiqh ijarah baru yang relevan dengan konteks kekinian. Karena fiqh ijarah klasik secara tekstual tidak lagi mampu menjawab kebutuhan buruh.

Kekurang-pedulian kaum santri terhadap hak-hak yang disuarakan buruh saat ini, sangat mungkin dipengaruhi oleh konsep fiqh ijarah klasik yang tidak relevan lagi dalam konteks negara modern. Rekontruksi fiqh ijarah ini harus dimulai dari penelusuran kembali terhadap prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Sebab fiqh mu’amalah tidak terlalu terikat dengan nash-nash tersurat yang mengatur secara detil. Berangkat dari prinsip-prinsip dasar syari’ah inilah fiqh ijarah dapat dikembangkan. Setidaknya terdapat tiga prinsip dasar syari’ah dalam fiqh mu’amalah, yaitu wujudu at-taradhi ( kerelaan kedua belah pihak); adamu ad-dharar ( tidak merugikan pada pihak lain); adamu al-gharar ( tidak mengandung unsur spekulatif); dan adamu ar-riba ( tidak mengandung riba). Di samping itu ada prinsip-prinsip kasih sayang, tolong-menolong, dan menghargai kemanusiaan.

Bagaimana menurut Anda, upaya membuat Kontrak Kerja antara PRT dan Pengguna Jasa? Apakah Kontrak Kerja juga terdapat dalam konsep Islam?

Dalam fiqh relasi pengguna jasa dengan PRT disebut aqdu al-ijarah. Al-aqdu itu artinya kontrak, yaitu kesepakatan antara kedua belah pihak tentang hak dan kewajiban masing-masing. Jadi dalam pandangan fiqh kontrak kerja hukumnya wajib.

Dalam kitab fiqh dikatakan, setidaknya dalam kontrak kerja dicantumkan jenis pekerjaannya apa; berapa lama masa bekerja; berapa besaran upahnya; waktu menjalankan ibadah wajib; dan hal-hal lain yang saling menguntungkan kedua belah pihak dan tidak merugikan pihak lain. Isi kontrak kerja sesungguhnya bisa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam sebuah hadis Nabi mengatakan, ”Kaum muslimin terikat dengan syarat yang mereka sepakati selama syarat tersebut sejalan dengan kebenaran”.

Dalam terminologi fiqh dikenal dua macam syarat, yaitu syarat syar’i dan syarat ja’li. Syarat syar’i adalah syarat yang ditetapkan oleh syari’ah. Seperti wudhu’ sebagai syarat keabsahan shalat. Sedangkan syarat ja’li adalah syarat yang dibuat seseorang atas dasar kesepakatan. Jadi isi kontrak kerja harus dibuat atas dasar kesepakatan antara PRT dan pengguna jasa. Namun ketika posisi PRT berada dalam posisi yang lemah, maka pemerintah wajib melakukan intervensi untuk menciptakan keseimbangan.

Terkait tradisi Ramadhan dan lebaran, bagaimana menurut Anda fenomena Ramadhan dan mudik lebaran bagi PRT?

Saya kira itu tradisi yang baik. Mudik lebaran, di samping sebagai hak menjalankan ibadah juga sebagai hak untuk mendapatkan istirahat atau cuti kerja, serta hak untuk berkumpul bersama keluarga. Hak ibadah dan hak istirahat kerja merupakan bagian dari hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi oleh pihak manapun. Pengguna jasa PRT wajib memberikan hak-hak itu. Persoalan hak itu mau diambil oleh PRT atau tidak (at-tanazul an al-haqqi) itu persoalan lain.

Terakhir, apa harapan Anda terkait pemenuhan hak-hak bagi PRT?

Sebagai bagian dari umat Islam, saya berharap tidak ada lagi kekerasan terhadap PRT  atas nama apapun termasuk atas nama agama. Sebab agama mengajarkan untuk saling  menghargai, mengasihi, dan saling membantu antar sesama. Kata Nabi, “Kasihanilah seluruh umat yang berada di muka bumi, maka kalian akan dikasihi seluruh mahluk yang ada di langit sana”. Relasi ”buruh-majikan” juga harus diposisikan sebagai relasi yang adil dan seimbang, bukan relasi atas-bawah. Tugas mulia ini adalah tugas seluruh masyarakat dan khususnya negara. [ ] Disarikan dari hasil wawancara oleh Hafidzoh Almawaliy

a relasi PRT dengan pengguna jasa dalam Islam?

Dalam Islam relasi PRT dengan pengguna jasa adalah relasi yang seimbang dan sederajat. Artinya, pengguna jasa membutuhkan jasa PRT dan PRT membutuhkan pemenuhan kebutuhan hidupnya yang dibangun atas prinsip tolong menolong (at-ta’awun) dan kasih sanyang (ar-rahmah). Sebab itulah, dalam fiqh term yang digunakan untuk mengambarkan relasi itu adalah al-ajir dan al-musta’jir. Dua kata itu berasal dari akar kata yang sama “ajara” yang salah satu artinya adalah “saling memberi balasan setimpal” atau mukafa’ah.

Bagaimana menurut Anda relasi yang terbangun antar PRT dan Pengguna Jasa, saat ini?

Islam menggambarkan relasi PRT dan pengguna jasa sebagai “alaqatun ma’nawiyah imaniyah“, atau hubungan kemanusiaan yang dibangun atas nilai-nilai keimanan. Relasi PRT dan pengguna jasa bukan relasi “atas-bawah” yang dibangun di atas dasar kekuasaan (siyadiyah), materialistik (madiyah), dan eksploitatif, sebagaimana fenomena yang terjadi saat ini. Dalam relasi seperti ini, PRT berada pada posisi yang lemah (dha’if) dan dilemahkan (mustadh’afin). Itulah relasi jahiliyah yang dibangkitkan kembali oleh sistem perekonomian modern dan  gaya hidup hedonis.

Bagaimana dengan hak-hak PRT dalam pandangan Islam?

Dalam sejarah kemanusiaan, PRT berada dalam pihak yang lemah dan dilemahkan. Sebab itulah Islam hadir untuk melindungi dan sekaligus memberikan hak-haknya sebagai manusia dan secara khusus sebagai Pekerja Rumah Tangga. Hal ini sejalan dengan misi Islam untuk meyelamatkan harkat dan martabat manusia dari kezaliman, penistaan, penindasan, dan eksploitasi antar sesama.

Apa saja hak-hak dasar PRT yang dijamin dalam Islam?

Dalam tataran praktis Islam memberikan beberapa hak-hak khusus pada PRT. Hak-hak tersebut antara lain, adalah hak untuk mendapatkan informasi. Semisal informasi tentang jenis pekerjaan, ketentuan upah dan jaminan-jaminan sosial lainnya.

Dalam pandangan fiqh, transaksi ijarah (perburuhan) menjadi batal (gugur) jika tidak terpenuhi syarat-syarat yang melindungi kedua belah pihak. Seperti informasi jenis pekerjaan yang harus dikerjakan PRT, ketentuan upah dan jaminan-jaminan sosial tersebut.

Bagaimana dengan hak upah bagi PRT?

PRT berhak untuk mendapatkan upah yang adil yang harus segera dibayarkan. Hak inilah yang sejak dulu seringkali dilanggar oleh pihak perusahaan atau pengguna jasa sebagai pihak musta’jir yang berada dalam posisi kuat.

Apa dasar Hadis atau Alquran tentang hak upah ini?

Dalam sebuah hadis, Nabi bersabda, “Barang siapa yang mengupah buruh maka hendaklah dijelaskan upahnya”. Dalam teks yang lain Nabi bersabda, “Berikanlah upah buruh sebelum kering keringatnya dan beritahukanlah ketika ia menjalankan tugas pekerjaannya berapa jumlah upah yang harus diterimanya”.

Sekalipun hadis ini dha’if (lemah) namun banyak memiliki syahid yang dapat menyebabkan hadis ini naik dalam posisi hasan lighairihi. Hadis ini dengan tegas meyatakan bahwa upah harus ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak sebelum bekerja dan diberikan sebelum keringatnya mengering.

Apa maksud memberi upah PRT sebelum kering keringatnya?

Tentu saja hadis ini tidak dapat sepenuhnya dipahami secara harfiyah. Yang dimaksud sebelum kering keringatnya adalah Nabi mewanti-wanti agar jangan sampai upah PRT ditunda-tunda pemenuhannya.

Bahkan dalam hadis lain Nabi juga bersabda, “Ada tiga kelompok yang Allah menjadikan musuh bagi-Nya, yaitu seorang yang diberi amanah kemudian ia menghianatinya; seorang yang menjual orang merdeka kemudian ia memakan hasil penjualannya; dan ketiga seorang yang mengupah buruh kemudian setelah buruh menunaikan tugasnya, ia enggan membayarkan upahnya”.

Bagaimana Nabi mengimplementasikan hal tersebut?

Rasulullah bukan tipe orang hanya hanya bicara saja, tapi Nabi mencontohkannya dengan tindakan nyata. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi tidak pernah menzalimi seorang PRT pun yang ada di rumahnya dengan tidak memberikan upah mereka.

Selanjutnya, apakah Islam juga mengatur hak istirahat bagi PRT?

Islam mengatur hak bagi PRT untuk mendapatkan kesempatan ibadah, istirahat, dan cuti. Sebab ibadah merupakan hak manusia yang paling mendasar. Tidak boleh pihak manapun atas nama apapun mengurangi atau menghapuskan hak ibadah orang lain. Karena Islam dengan ajaran-ajarannya sangat menjunjung tinggi hak beragama dan berkeyakinan. Sebab itulah dalam berbagai kitab fiqh dikatakan waktu-waktu pelaksanaan ibadah wajib, tidak dapat digannggu oleh pekerjaan apapun termasuk sebagai PRT. Dalam melaksanakan ibadah ini atau istirahat, PRT tidaklah mengurangi kwantitas kerjanya. Sebab itu, majikan tidak boleh mengurangi upah PRT yang telah disepakti hanya karena alasan dipotong waktu ibadah, istirahat, atau cuti.

Bagaimana dengan hak reproduksi PRT?

Istirahat dan cuti reproduksi juga merupakan hak PRT yang menjadi kewajiban pungguna jasa untuk memenuhinya. Dalam sebuah hadis dikisahkan, Abdullah Ibnu Amr adalah seorang sahabat yang gemar dan berlebihan dalam beribadah, puasa di siang hari dan bangun shalat di malam hari. Ia enggan makan bersama tamu yang dijamunya di siang hari. Hak-hak keluarga sering terabaikan dan kesehatan fisiknya tidak terjaga. Lalu Nabi bersabda, “Jiwamu, ragamu, keluargamu memiliki hak atas dirimu”. (HR. Bukhari)

Demikian pula dengan PRT. Mereka memiliki Jiwa yang berhak untuk mendapatkan ketenangan, kenyamanan, dan terhindar dari tekanan-tekanan dalam melakukan aktifitas. Raganya memiliki hak untuk tidak dieksploitasi bahkan oleh dirinya sendiri sekalipun. Dan keluarganya juga memiliki hak untuk mendapatkan nafkah, perlindungan dan mu’asyarah bi al-ma’ruf. Sebab itu dalam hadis lain Nabi bersabda, “Istirahatkan jiwa kalian, karena apabila kelelahan hati akan menjadi tumpul”. Hak untuk mendapatkan istirahat dan perlakuaan manusiawi ini juga telah ditetapkan dalam huququ al-insan fi al-islam.

Bagaimana dengan kerja PRT yang sangat banyak?

Dalam hal ini Islam sesungguhnya melindungi hak PRT untuk tidak dibebani pekerjaan di luar kemampuannya. PRT adalah manusia yang memiliki keterbatasan waktu, tenaga dan kemampuan, seperti yang lain. Islam mengajarkan agar memperlakukan mereka secara baik dan tidak membebani mereka di luar batas kemampuannya.

Dalam hadis Nabi diyatakan, “Suatu saat datanglah seorang majikan pada Nabi seraya bertaya: berapa kali kami harus memaafkan kesalahan PRT kami? Nabi menjawab: dalam setiap hari kalian harus memaafkan kesalahannya tujuh puluh kali”.

Hadis itu sangat luar biasa. Ini menunjukkan bagaimana perghormatan Nabi kepada para PRT. Tidak sebagaimana yang sering terjadi, hanya dengan satu kesalahan saja, penyiksaan dilakukan terhadap mereka. Padahal Nabi menandaskan seandainya PRT melakukan kesalahan sebanyak tujuh puluh kali dalam sehari, maka masih harus dimaafkan. Bahkan, dalam hadis lain dikisahkan, makan bersama PRT dalam satu meja merupakan simbol mukmin sejati yang dirindukan surga.

Tentang hak pendidikan dan pelatihan bagi PRT, bagaimana Islam mengupayakannya untuk pengembangan diri PRT?

PRT adalah warga negara yang memiliki hak-hak sebagai warga negara. Termasuk memperoleh lapangan pekerjaan dan pendididikan serta pelatihan untuk menunjang profesionalitasnya. Namun kewajiban pemenuhannya tidak dibebankan sepenuhnya pada majikan sebagai pengguna jasa, melainkan kewajiban setiap PRT untuk memiliki standar kemampuan kerja. Tetapi jika setiap individu PRT tidak mampu memenuhi hak itu dengan kemampuannya sendiri, maka menjadi kewajiban pemerintah untuk melayaninya.

Dalam hal ini pemerintah melalui pejabatnya berkewajiban mempersiapkan tenaga-tenaga kerja yang memiliki kemampuan cukup di bidang pekerjaannya. Ini supaya mereka tidak mengalami penistaan dan kekerasan. Sebab akar kekerasan antara lain disebabkan karena pandangan rendah terhadap PRT dan kurangnya kemampuan kerja.

Bagaimana sesungguhnya peran negara dalam memberikan hak-hak PRT?

Negara adalah pelayan masyarakat. Negara berkewajiban memenuhi seluruh hak-hak masyarakat yang tidak dapat diraihnya sendiri. Dalam konteks PRT, negara berkewajiban menyediakan lapangan pekerjaan, mengatur gaji, dan memberikan perlindungan keamanan serta jaminan sosial lainnya.

Pemerintah tidak boleh membiarkan warganya tidak punya pekerjaan dan kehilangan haknya. Pemerintah yang menelantarkan warganya dari memperoleh hak-haknya adalah pemerintahan yang dzalim (aniaya) dan menurut fiqh dapat di-ma’zulkan (dilengserkan).

Dalam hal ini, Sayyidina Umar Ibnu Al-Khattab telah mencontohkan sebagai kepala negara. Ia mengatakan, “Saya sangat menginginkan seluruh kebutuhan masyarakat dapat saya penuhi, jika kami tidak mampu maka kami akan pikul bersama-sama kesulitan itu”.

Menurut Anda, adakah keterkaitan konsep ”perbudakan” (terutama dalam kultur Arab Jahiliyah), dengan kekerasan yang dialami PRT yang di luar negeri?

Sebenarnya tidak juga, sebab kalau kita baca dengan cermat teks-teks Alquran, hadis dan fiqh, mungkin tidak akan kita temukan ajaran yang menistakan atau yang memerintahkan kekerasan terhadap hamba sahaya. Memang Islam masih mengakui kepemilikan hamba sahaya, namun di sisi lain Islam mengajarkan agar perbudakan yang jadi sejarah buram kemanusiaan dihapuskan dari muka bumi. Bukti bahwa Islam sangat berkeinginan agar perbudakan dienyahkan adalah adanya kewajiban memerdekaan hamba sahaya atas seseorang yang melakukan larangan-larangan Allah swt. Misalnya, pelanggaran senggama di siang hari bulan Ramadhan, dhihar, membunuh tidak sengaja, pelanggaran sumpah dan lainnya, akan dikenai sanksi berupa memerdekakan hamba sahaya.

Tapi sesungguhnya konsep kepemilikan hamba sahaya bukanlah ajaran Islam, melainkan terlahir dari sejarah kemanusiaan yang cukup panjang. Islam justru datang untuk meyelamatkan kemanusiaannya, dengan menggunakan cara-cara Islami, yaitu tadrij fi at-tasyri’ (mengubah budaya secara perlahan).

Jadi tidak ada hubungannya kekerasan terhadap PRT dengan konsep perbudakan dalam Islam. Bahkan, hampir seluruh kitab fiqh pasti diakhiri dengan bab Al-Itqu, yang dimaksudkan agar pembebasan perbudakan menjadi muara dari seluruh ketentuan fiqh. Jika muncul pemahaman bahwa konsep perbudakan dalam Islam ikut memberi andil terhadap perilaku kekerasan terhadap PRT, itu berarti belum tuntas pemahaman terhadap  ajaran Islam. 

Dalam hal ini, upaya apa yang perlu dilakukan untuk menghadapi konteks kultur yang berbeda?

Memang konteks fiqh ijarah dalam Islam berbeda dengan konteks perburuhan saat ini. Jika perburuhan saat di mana ketentuan fiqh disusun sangatlah sederhana, baik dilihat dari format kontraknya maupun wilayah kerjanya. Fiqh ijarah klasik tidak membayangkan terjadinya model perburuhan modern yang melibatkan banyak pihak, bukan hanya buruh dan pengguna jasa, melainkan melibatkan agen, calo, PJTKI, dan negara, baik negara tempat asal maupun negara tujuan. Dengan demikian diperlukan menyusun fiqh ijarah baru yang relevan dengan konteks kekinian. Karena fiqh ijarah klasik secara tekstual tidak lagi mampu menjawab kebutuhan buruh.

Kekurang-pedulian kaum santri terhadap hak-hak yang disuarakan buruh saat ini, sangat mungkin dipengaruhi oleh konsep fiqh ijarah klasik yang tidak relevan lagi dalam konteks negara modern. Rekontruksi fiqh ijarah ini harus dimulai dari penelusuran kembali terhadap prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Sebab fiqh mu’amalah tidak terlalu terikat dengan nash-nash tersurat yang mengatur secara detil. Berangkat dari prinsip-prinsip dasar syari’ah inilah fiqh ijarah dapat dikembangkan. Setidaknya terdapat tiga prinsip dasar syari’ah dalam fiqh mu’amalah, yaitu wujudu at-taradhi ( kerelaan kedua belah pihak); adamu ad-dharar ( tidak merugikan pada pihak lain); adamu al-gharar ( tidak mengandung unsur spekulatif); dan adamu ar-riba ( tidak mengandung riba). Di samping itu ada prinsip-prinsip kasih sayang, tolong-menolong, dan menghargai kemanusiaan.

Bagaimana menurut Anda, upaya membuat Kontrak Kerja antara PRT dan Pengguna Jasa? Apakah Kontrak Kerja juga terdapat dalam konsep Islam?

Dalam fiqh relasi pengguna jasa dengan PRT disebut aqdu al-ijarah. Al-aqdu itu artinya kontrak, yaitu kesepakatan antara kedua belah pihak tentang hak dan kewajiban masing-masing. Jadi dalam pandangan fiqh kontrak kerja hukumnya wajib.

Dalam kitab fiqh dikatakan, setidaknya dalam kontrak kerja dicantumkan jenis pekerjaannya apa; berapa lama masa bekerja; berapa besaran upahnya; waktu menjalankan ibadah wajib; dan hal-hal lain yang saling menguntungkan kedua belah pihak dan tidak merugikan pihak lain. Isi kontrak kerja sesungguhnya bisa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam sebuah hadis Nabi mengatakan, ”Kaum muslimin terikat dengan syarat yang mereka sepakati selama syarat tersebut sejalan dengan kebenaran”.

Dalam terminologi fiqh dikenal dua macam syarat, yaitu syarat syar’i dan syarat ja’li. Syarat syar’i adalah syarat yang ditetapkan oleh syari’ah. Seperti wudhu’ sebagai syarat keabsahan shalat. Sedangkan syarat ja’li adalah syarat yang dibuat seseorang atas dasar kesepakatan. Jadi isi kontrak kerja harus dibuat atas dasar kesepakatan antara PRT dan pengguna jasa. Namun ketika posisi PRT berada dalam posisi yang lemah, maka pemerintah wajib melakukan intervensi untuk menciptakan keseimbangan.

Terkait tradisi Ramadhan dan lebaran, bagaimana menurut Anda fenomena Ramadhan dan mudik lebaran bagi PRT?

Saya kira itu tradisi yang baik. Mudik lebaran, di samping sebagai hak menjalankan ibadah juga sebagai hak untuk mendapatkan istirahat atau cuti kerja, serta hak untuk berkumpul bersama keluarga. Hak ibadah dan hak istirahat kerja merupakan bagian dari hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi oleh pihak manapun. Pengguna jasa PRT wajib memberikan hak-hak itu. Persoalan hak itu mau diambil oleh PRT atau tidak (at-tanazul an al-haqqi) itu persoalan lain.

Terakhir, apa harapan Anda terkait pemenuhan hak-hak bagi PRT?

Sebagai bagian dari umat Islam, saya berharap tidak ada lagi kekerasan terhadap PRT  atas nama apapun termasuk atas nama agama. Sebab agama mengajarkan untuk saling  menghargai, mengasihi, dan saling membantu antar sesama. Kata Nabi, “Kasihanilah seluruh umat yang berada di muka bumi, maka kalian akan dikasihi seluruh mahluk yang ada di langit sana”. Relasi ”buruh-majikan” juga harus diposisikan sebagai relasi yang adil dan seimbang, bukan relasi atas-bawah. Tugas mulia ini adalah tugas seluruh masyarakat dan khususnya negara. [ ] Disarikan dari hasil wawancara oleh Hafidzoh Almawaliy

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here