Jauh sebelum Rasulullah saw., kisah tentang pekerja rumah tangga sesungguhnya telah muncul dalam kisah perjalanan Nabi Musa as., ketika ia meninggalkan negeri Mesir untuk menyelamatkan diri dari kekejaman Fir’aun, menuju negeri Madyan. Dalam perjalanannya, Musa bertemu dengan dua orang perempuan yang ternyata adalah putri Nabi Syu’aib as. yang tengah berdesakan turut antrian panjang untuk memberi minum ternaknya. Serta merta Nabi Musa pun menolongnya. Atas jasa Musa itu, Nabi Syu’aib lalu mengundangnya ke rumah. Usai mereka bercerita, salah seorang putri Nabi Syu’aib mengusulkan agar Nabi Musa diterima sebagai orang yang bekerja pada mereka. Katanya, ” Ya bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. (QS. Al-Qashash: 26)

Nabi Syu’aib as. menyambut baik usulan putrinya tersebut, bahkan ia membuat kontrak perjanjian dengan Nabi Musa, yang isinya, apabila Nabi Musa as. bersedia bekerja kepadanya selama delapan tahun berturut-turut, maka Nabi Syu’aib as. akan menikahkannya dengan salah seorang putrinya. Nabi Musa as. menyanggupi dan menambahkan dua tahun masa kerja, “Itulah perjanjian antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah swt. adalah Saksi atas apa yang kita ucapkan”. (QS. al-Qashash: 27-28)

Demikianlah kontrak kerja yang dijalankan Nabi Musa as. dengan Nabi Syu’aib as. Sebagai pekerja rumah tangga yang juga bertugas menggembalakan ternak, Nabi Musa menepati perjanjian kerja yang telah disepakati. Demikian pula, Nabi Syu’aib as. sebagai pengguna jasa, tak sedikitpun mengingkari apa yang telah dijanjikannya. Ia mengambil Nabi Musa as. sebagai menantu sekaligus putra kesayangannya, yang diperlakukan dengan penuh hormat dan kasih sayang.

Dalam sejarahnya, Nabi Muhammad sendiri pernah jadi pekerja bagi saudagar kaya, Siti Khadijah, yang kelak juga menjadi istrinya. Sebagai pekerja, Nabi dikenal sangat amanah dan pekerja keras. Sedang Khadijah, adalah seorang majikan yang tidak pernah mengurangi hak-hak Muhammad sebagai pekerjanya. Selain itu Nabi saw. pernah pula memiliki khodim seorang pemuda beragama Yahudi. Pemuda itu meminta Nabi agar mengijinkan melayaninya. Lalu Nabi pun mengijinkannya meski pemuda itu tetap dalam agamanya. Pemuda itu juga melayani Nabi sepenuh hati, dan Nabi tak pernah memaksanya memeluk Islam.[1]

Tampaknya, hubungan yang dicontohkan Rasulullah dengan para pekerja rumah tangganya, adalah suatu hubungan yang saling memberikan penghargaan atas hak-hak dasar PRT sebagai pekerja, dan Nabi sendiri selaku pengguna jasa. Tak hanya terhadap diri sendiri, Nabi juga menyeru kepada setiap anggota keluarganya untuk memperlakukan PRT-nya secara manusiawi dan penuh kasih sayang. Hal inilah yang dilakukan Siti Aisyah ra., terhadap PRT-nya bernama Barirah, yang awalnya seorang hamba-sahaya. Aisyah bersama Nabi memperlakukan Barirah dengan lemah-lembut. Nabi melarang memperlakukannya secara tidak manusiawi, menganiaya, menyakiti, atau mendiskriminasi, karena hal itu menyerupai perilaku jahiliyah.

Dalam sebuah riwayat dikisahkan, “Dari Al-Marur bin Suwaid berkata, ”Aku pernah melihat Abu Dzar Al-Ghifary ra. sedang mengenakan sepotong baju jubah, juga budaknya yang mengenakan baju serupa. Kemudian aku menanyakan hal itu kepadanya. Jawabnya, “Aku pernah mencaci-maki seseorang (pembantu), lalu orang itu mengadukanku kepada Rasulullah saw. dan Rasul bersabda, “Apakah kamu menghinanya karena ibunya? Sesungguhnya kamu adalah seseorang yang pada dirimu terdapat jiwa jahiliyah.” (HR. Bukhari Muslim)

Umar bin Khattab ra. juga memberi contoh saat dalam perjalanan dari Madinah ke Baitul Maqdis, Jerusalem, bersama khodimnya. Dikisahkan, sahabat Umar dengan sukarela bergantian menunggang unta dengan sang khodim. Hal tersebut dipertanyakan oleh sahabat lain yang menyaksikan kejadian itu. Lalu Sayyidina Umar berkata, “Sejak kapan kalian menjadikan manusia sebagai budak? Sedang mereka lahir dari rahim ibunya dalam keadaan merdeka?”

Berbagai hak PRT yang dicontohkan para Nabi dan Sahabat Rasulullah saw. tersebut sesungguhnya diatur dalam fiqh dengan konsep kontrak kerja yang disebut aqdu al-ijarah, yaitu kontrak atau kesepakatan kerja antara kedua belah pihak tentang kewajiban dan hak masing-masing. Sehingga keberadaan kontrak kerja ini pun dihukumi wajib adanya untuk kemaslahatan bersama, utamanya PRT.[2]  Di dalam kontrak kerja inilah, Islam mengatur untuk mencantumkan berbagai hak dasar PRT sebagai pekerja yang akan mengerjakan pekerjaan domestik tertentu, dengan jam kerja yang manusiawi, upah yang jelas besarannya, dan waktu penggajian yang pasti.  Bahkan Islam menganjurkan agar mengupah pekerja sebelum kering keringatnya. Artinya, sesegera mungkin gaji itu dibayarkan sebagai hak mereka setelah bekerja.

Tampaknya, Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin telah banyak mencontohkan bagaimana seharusnya memperlakukan seorang pekerja rumah tangga. Cara bagaimana memanusiakan PRT ini telah banyak disinggung baik dalam hadis Rasulullah maupun Alquran. Dalam Alquran, dijelaskan tak ada diskriminasi atas pekerjaan PRT. Sebab dengan tegas Allah swt. berfirman, “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10)

Ayat tersebut menjelaskan, apapun pekerjaan yang dipilih seorang hamba, tidaklah dipersoalkan Tuhan, asalkan itu pekerjaan yang baik, yang dimulai dengan niat mencari karunia-Nya di muka bumi. Itu berarti, pekerjaan PRT bukanlah pekerjaan “murahan” yang bisa dipandang remeh, sehingga pekerjanya pun dapat diperlakukan semena-mena, digaji murah, dan diperlakukan seperti seorang budak. Bukankah hadis Nabi juga menjelaskan, “Tidaklah seorang di antara kamu makan suatu makanan lebih baik daripada memakan dari hasil keringatnya sendiri.” (HR. Baihaqi) Sebab itu, tak ada yang remeh atau pun buruk dengan pekerjaan PRT. Mereka bekerja untuk nafkah diri dan keluarga, dengan jerih payahnya sendiri.

Demikianlah, selayaknya kita memanusiakan mereka sebagai “Pekerja Rumah Tangga”. Dan terus memberikan hak-hak dasar mereka, sebagai bukti refleksi atas puasa Ramadhan dan segala amalan ibadah yang kita laksanakan. Semoga akan ada perubahan baik ke depan. Wallahua’lam. [ ] Dari Berbagai sumber, Hafidzoh Almawaliy

 

Baca Juga:

Fokus 1: Memanusiakan Pekerja Rumah Tangga (PRT)

Fokus 2: Akar Historis dan Kultural PRT

Fokus 3: Hak PRT dalam Hukum dan Undang-undang Kita

Fokus 4: Minim Perlindungan

 

 

[1] Mustafa Ahmad, Hak-hak PRT dalam Islam, Lembar Jum’at, No. 14, Mei 2009.

[2] Baca selengkapnya di rubrik OPINI, Imam Nakha’i, Islam Wajibkan Negara Lindungi Hak-hak PRT, Swara Rahima, edisi 28

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here