Hari ini, kisah tentang rodi dan romusa seolah sudah terpatri dalam buku sejarah. Kenyataannya, terkadang keduanya masih bercokol dalam kehidupan di rumah kita sendiri, menitis dalam pekerjaan Pekerja Rumah Tangga (PRT) kita. Padahal di bulan Ramadhan seperti sekarang ini, orang biasanya ramai berlomba berbuat baik pada siapapun. Lalu, apakah kita juga sudah berbuat baik dan telah memenuhi hak-hak dasar para pekerja rumah tangga kita? Bukankah PRT selama ini adalah orang yang paling dekat dan banyak berjasa karena menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga kita? Tetapi mengapa, ”mereka diperlakukan tak ubahnya budak,” kata Siti Musdah Mulia, aktivis perempuan yang juga guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, dalam diskusi tentang PRT, setahun lalu. Tudingan Musdah itu, bukannya tanpa dasar. Menurutnya, andai kita merujuk aturan Organisasi Buruh Dunia (International Labour Organization atau ILO), segalanya bakal tampak benderang. Mulai dari durasi kerja yang tak wajar, yang mestinya hanya delapan jam perhari, sampai jumlah dan jenis kerja yang tak terdefinisikan banyaknya.[i] Ini semua berseberangan dengan Konvensi ILO nomor 105 yang diratifkasi Indonesia pada 1999 tentang Penghapusan Kerja Paksa.[ii] Selain itu, ditambah lagi PRT tak dapat fasilitas apa-apa, mulai tak ada waktu libur, cuti, dan juga tak ada jaminan sosial sama-sekali. Terang saja bila unsur-unsur tersebut tak ada, akibatnya jadi kerja paksa, kata Aida Milasari, Direktur Rumpun Gema Perempuan.[iii] Sudah banyak contoh kasus yang menimpa PRT kita. Sebut saja Merry (27 tahun), adalah korban ”perbudakan” itu. Selama empat tahun merantau sebagai PRT di Jakarta, tak sekalipun ia pernah pulang ke kampungnya di Kupang, NTT. Alasannya, ongkos pulang ke Kupang setara upahnya sebulan. Kini, beginilah siklus hidup Merry, harus terjaga sebelum setengah lima subuh. Dua tangan kurusnya kemudian harus dikerahkan untuk segepok pekerjaan rumah, mulai menyapu, mengepel, mencuci, memasak hingga merawat dua anak majikannya, hingga pukul sepuluh malam. Totalnya, Merry banting tulang kurang lebih 17 jam per hari atau dua kali standar ILO. Tanpa hari libur. Di negeri ini ada jutaan Merry, sekitar 2,6 juta PRT. Kesemuanya bagai menyodorkan lehernya di ketiak majikan atau pengguna jasa. Umi Munawaroh (22) misalnya, sempat merasakan pahitnya kelakuan majikan zalim. Upahnya tak dibayarkan selama tiga bulan, sejak November tahun lalu, hingga ia gagal mudik lebaran ke Madiun. Nasib Yati (30) lebih dramatis lagi. Menurut catatan Dwi Cahyani dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), gajinya tidak dibayar selama 18 tahun. Inilah kekerasan ekonomi terhadap PRT, kekerasan domestik yang kerap tertutup rapat di balik tembok rumah-rumah asri para majikan.
PRT (22) lain yang bekerja sejak usia 13 tahun juga mengaku mendapat kekerasan seksual oleh majikannya. Kondisi kerja yang dialami sungguh tak manusiawi. “Saya membereskan rumah, memasak, menyapu lantai, serta menjaga anak-anak”, tuturnya. “Setiap hari dari pukul 5 pagi sampai tengah malam”. Ia tidak mendapatkan waktu istirahat dan hanya diperbolehkan keluar rumah sekali seminggu untuk menjemur pakaian. Sebagaimana yang dialami banyak PRT perempuan dan anak, ia tidak memiliki kamar untuk dirinya sendiri. “Saya tidur di dapur tanpa alas, di atas lantai. Saya merasa kedinginan dan ketakutan,” katanya. “Terkadang majikan saya juga mengunci saya di dapur, katanya itu untuk keamanan saya. Saya jadi tidak bisa pergi ke kamar mandi pada malam hari”.[iv]
Kondisi PRT kita di dalam negeri ini, hampir setali tiga uang dengan kebanyakan para pekerja migran kita di luar negeri. Hal ini karena kebanyakan pekerja migran kita bekerja di sektor domestik sebagai pekerja rumah tangga. Di Arab Saudi misalnya, sebagai negara penempatan TKI terbesar kedua setelah Malaysia, sedikitnya ada 1 juta TKI dengan 96 persen adalah Pekerja Rumah Tangga (PRT). Faktor lain, terkait kultur sosial yang berbeda, kerap membuat mereka rentan mengalami kekerasan seperti dianaya majikan maupun dikriminalisasikan seperti kasus Yanti Iriyanti asal Cianjur, Jawa Barat, yang dihukum tembak pada 11 Januari 2008 lalu, karena dituduh membunuh majikannya.[v]
Kasus-kasus pelanggaran hak-hak dasar yang demikian memang tidak sedikit yang diproses oleh pihak-pihak yang berwajib. Tapi tampaknya, di negeri ini sendiri, masih belum ada aturan perlindungan yang jelas untuk para PRT kita. Banyak PRT yang terisolasi dari keluarga dan teman, serta tidak memiliki jaminan hukum dalam pekerjaannya. Mereka terancam kehilangan pekerjaan bila mereka berani bicara. Lalu bagaimana sesungguhnya posisi PRT dalam dunia kerja? Apa saja yang mestinya menjadi hak-hak dasar PRT? Bagaimana pula agama sebagai rahmat bagi semesta alam memberikan pembelaan terhadap mereka?
Baca Juga:
Fokus 2: Akar Historis dan Kultural PRT
Fokus 3: Hak PRT dalam Hukum dan Undang-undang Kita
Fokus 4: Minim Perlindungan
Fokus 5: Islam dan Pekerja Rumah Tangga
[i] Musdah Mulia, Revolusi Pembantu Rumah Tangga, Februari 2008 dalam http://www.mail-archive.com/keluarga-islam@yahoogroups.com/msg17486.html
[ii] Baca: Konvensi-konvensi ILO tentang Kesetaraan Gender di Dunia Kerja, Organisasi Perburuhan Internasional, Jakarta, 2006
[iii] Baca selengkapnya di rubrik OPINI, Aida Milasari, Hargai Hak-hak PRT sebagai Pekerja, Swara Rahima, edisi 28
[iv] http://asiapacific.amnesty.org/apro/APROweb.nsf/pages/BAHDW
[v] Kompas Cetak, edisi 24 Juli 2009
[vi] Yuli Eko Nugroho, Gerakan Perempuan, PRT, dan Buruh Harus Beraliansi, dalam Seminar “Mau Kemana Gerakan PRT?”, di Rumpun Tjout Njak Dien (RTND), Yogyakarta, Mei 2009
[vii] http://www.lbh-apik.or.id/prt-posper.htm
[viii] Prof. Dr. Damardjati Supajar, Biyung Emban, dalam Seminar “Mau Kemana Gerakan PRT?”, di Rumpun Tjout Njak Dien (RTND), Yogyakarta, Mei 2009
[ix] Umar Kayam, Para Priyayi, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1992
[x] http://www.apakabar.ws/content/view/1281/888888889/
[xi] Hasil wawancara Redaksi dengan salah satu mantan TKI asal Pati, Jawa Tengah yang bekerja di Hongkong sebagai baby sitter, pada awal Agustus 2009. Baca pula rubrik Teropong Dunia, Dr. Nur Rofi’ah, Belajarlah ke Negeri Cina untuk Menghargai PRT, Swara Rahima edisi 28
[xii] http://anton-djakarta.blogspot.com/2007_11_01_archive.html