Nama Rahmah El Yunusiah bagi banyak kalangan di Indonesia barangkali masih terkesan asing. Apalagi jika dikaitkan dengan perjuangan dan pemikiran keislaman terkait pendidikan bagi perempuan. Boleh jadi nama Amina Wadud, Asghar Ali Engginer, Nawal el Sadawi, Khaled Aboul Fadl, yang notabene berasal dari luar Indonesia lebih akrab ditelinga para aktifis dibanding Rahmah El Yunusiah. Paling banter ingatan kolektif bangsa Indonesia tentang perjuangan perempuan untuk pendidikan hanya sampai pada sosok Kartini.
Rahmah adalah putri asli Indonesia kelahiran Padang Panjang. Lahir pada 29 Desember 1900 dan wafat pada 26 Februari 1969. Secara geneologi (keturunan) ia berasal dari keluarga terpandang dan religius. Ayahnya adalah seorang qadhi (hakim agama) dan tercatat memiliki pertalian darah dengan Tuanku Nan Pulang Di Rao, seorang ulama besar pada zaman Paderi. Ia tercatat pernah belajar pada Haji Abdul Karim Amrullah (Ayahanda dari Buya HAMKA), seorang ulama besar pada zamannya.
Rahmah dikenal teguh dan konsisten dalam prinsip, termasuk penolakannya atas poligami. Bahkan, Rahmah memilih bercerai dalam usia yang relatif muda (22 tahun) daripada dipoligami. Setelah perceraian itu Rahmah tidak menikah lagi hingga akhir usia dan mewakafkan hidupnya untuk pendidikan perempuan.
Pendidikan Perempuan
Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia sikap apriori terhadap perempuan yang bersekolah masih merupakan domain utama kehidupan sehari-hari. Lihat saja, bagaimana istilah dapur-sumur-kasur begitu populer dikalangan masyarakat. Ungkapan ini ingin menegaskan bahwa sehebat dan secerdas apapun seorang perempuan, pada akhirnya kodrat dan takdir perempuan akan kembali pada kehidupan rumah tangga yang hanya mengurusi urusan memasak, mencuci, dan seks.
Anggapan demikian sudah berlangsung sejak ratusan tahun dan bukan merupakan hal baru. Dalam masyarakat matrilinial sekalipun, seperti Sumatera Barat tempat kelahiran dan perjuangan Rahmah, asumsi bahwa perempuan tidak layak belajar kerap diperbincangkan.
Rahmah merupakan satu dari sedikit perempuan yang menolak stereotype demikian. Baginya, perempuan memiliki hak belajar dan mengajar yang sama dengan laki-laki. Bahkan, dibanding laki-laki perempuan juga mampu memiliki kecerdasan yang tak kalah hebat. Persoalan terletak pada akses pendidikan. Saat itu, jauh sebelum Indonesia merdeka, sistem pendidikan di Nusantara masih sangat jauh dari yang diharapkan dan perempuan belum memiliki akses pendidikan yang sama dengan laki-laki.
Baginya, seorang perempuan sekalipun hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, tetap memiliki tanggung jawab sosial atas kesejahteraan masyarakat, agama, dan tanah airnya. Tanggung jawab itu dapat diberikan melalui pendidikan, baik di lingkungan keluarga (domestik) maupun di sekolah (publik).
Barangkali, seandainya Rahmah masih hidup ia akan sepakat dengan gagasan masa kini yang menyebutkan bahwa membangun masyarakat tanpa melibatkan perempuan bagaikan seekor burung yang terbang dengan satu sayap. Mendidik seorang perempuan berarti mendidik semua manusia. Karena, sebagaimana diyakini oleh banyak orang, pendidikan dapat memberikan sumbangan yang besar bagi upaya memodernisasi suatu masyarakat. Dan nampaknya Rahmah telah bekerja untuk itu.
Dengan berpegang teguh pada Q.S. al-Mujadilah [58]: 11, ia begitu yakin bahwa pendidikan pada akhirnya akan membawa masyarakat pada kesejahteraan dan derajat kehidupan yang baik. Menurutnya, perempuan harus bisa berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari), mandiri, dan tidak menjadi beban hidup laki-laki (ayah atau suami). Dan semua itu hanya bisa dicapai dengan cara belajar dan sekolah. Dengan mengutip Q.S. al-Taubah [9]: 122, ia menegaskan bahwa perempuan dan laki-laki mendapatkan perintah yang sama untuk belajar.
Untuk mengimplementasikan gagasannya, pada 1 November 1923 Rahmah mendirikan sekolah khusus perempuan yang diberi nama Madrasatud Diniyah lil Banat atau yang juga dikenal dengan Diniyah School Poeteri. Sekolah ini merupakan sekolah khusus perempuan pertama yang ada di Sumatera Barat. Nampaknya, Rahmah yang hidup di Sumatera memiliki kesamaan gagasan dengan Kartini yang hidup di Jawa. Melalui buku Habis Gelap Terbitlah Terang Kartini menggagas tentang perempuan sekolah dan mengimplementasikan lewat sekolah khusus perempuan. Namun, Rahmah lebih beruntung karena diberi umur panjang untuk menyaksikan keberhasilan perjuangannya, sementara Kartini harus wafat di usia muda sebelum meyaksikan keberhasilannya.
Saat itu, di Sumatera Barat terdapat sekolah yang diberi nama Tawalib, yang menjadi kiblat pendidikan di Sumatera. Sayangnya, dengan berbagai alasan –termasuk alasan teologis (keagamaan)- Tawalib tidak menerima murid perempuan. Lewat sekolah khusus perempuan sejatinya Rahmah telah melawan dominasi pendidikan yang hanya untuk laki-laki. Inilah sesungguhnya jasa terbesar Rahmah, ia menyadarkan masyarakat bahwa perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam memperoleh akses pendidikan tanpa ada diskriminasi jenis kelamin.
Pendirian sekolah khusus perempuan saat itu bukanlah hal mudah. Kendala utama yang dihadapi adalah cemoohan dari masyarakat. Bagi banyak kalangan saat itu, sekolah perempuan dengan tenaga pengajar yang juga perempuan merupakan hal aneh, tabu, dan melanggar adat. Untuk menampik ejekan ini Rahmah membuktikan dengan menampik bantuan dari masyarakat (yang masih memandang miris perempuan) dan menggunakan cara sendiri untuk membangun sekolah. Bahkan, ia merelakan rumahnya “disulap” menjadi ruang kelas.
Inilah Rahmah El Yunusiah, seorang perempuan intelektual asli Indonesia yang gagasan keislamannya diimplementasikan lewat kerja nyata. Bahkan, yang sangat membagakan dan luar biasa bagi bangsa ini, pada tahun 1956 Rahmah diundang oleh Universitas Al-Azhar Kairo Mesir untuk diberi gelar kehormatan. Saat itu ia diberi gelar Syaikhah, sebuah gelar yang sebelumnya tidak pernah diberikan kepada perempuan manapun selain kepada Rahmah El Yunusiah, seorang perempuan asli Indonesia. (ahmad dicky sofyan)