Pernyataan-pernyataan di atas, secara jelas menyiratkan betapa Nabi Muhammad saw. telah mengenalkan suatu perubahan besar pada masyarakat Arab dalam memandang dan memperlakukan mereka yang bekerja sebagai PRT. Nabi telah mengubah ‘nama panggilan’, melarang tindakan zalim kepada mereka dan mengenalkan bagaimana seharusnya seorang majikan bisa duduk dan makan bersama dengan para PRT mereka. Tentu saja, ajaran ini merupakan perubahan yang tidak mudah bisa diterima siapapun pada saat itu.

Bagi masyarakat yang feodal dan paternal, perubahan cara pandang dan perliku terhadap para PRT tentu saja tidak mudah dan mungkin mengalami hambatan sosial dan budaya yang cukup besar. Sebab itu, kita bisa saksikan jikapun ajakan Nabi saw. diterima masyarakat muslim, perubahan perilaku yang terjadi masih terbatas pada kebaikan individual sebagaimana pesan-pesan kemanusiaan yang lain yang disampaikan Nabi Muhammad saw. Tentu saja, kebaikan perilaku yang bersifat individual adalah baik dan harus diapresiasi, karena akan menjadi pilar awal dari kebaikan sosial. Tetapi, ketika kontrol terhadap kebaikan individu sangat lemah, maka kemungkinan para PRT akan mengalami kekerasan masih sangat terbuka karena mereka berada pada relasi yang sangat rentan.

Untuk itu, kita memerlukan perubahan kelembagaan sosial yang memberikan jaminan dan kepastian mereka yang bekerja pada sektor-sektor “yang dianggap rendah oleh masyarakat” agar terlindungi hak-haknya sebagaimana diwasiatkan Nabi Muhammad saw. Kita perlu menerjemahkan wasiat-wasiat ini dalam sistem pendidikan kita yang membebaskan dan menyetarakan, sistem hukum yang memberikan jaminan dan perlindungan, serta budaya sosial yang memberikan penghargaan pada setiap pekerjaan yang memberikan manfaat pada masyarakat, yang dilakukan siapapun untuk jenis apapan. Termasuk dalam hal ini adalah para Pekerja Rumah Tangga.

Kita patut bersyukur, Indonesia telah melakukan lompatan budaya, yang mungkin belum dilakukan negara-negara muslim yang lain, ketika berani merubah istilah “Pembantu Rumah Tangga” menjadi “Pekerja Rumah tangga”. Ini hampir mirip dengan teladan Nabi saw. ketika melakukan perubahan panggilan ‘hamba sahaya” menjadi “anak muda”. Istilah “Pekerja Rumah Tangga” tidak hanya berhenti pada istilah, tetapi juga martabat, penghargaan dan hak-hak. Mereka adalah pekerja sebagaimana pekerja-pekerja yang lain, yang berhak atas segala yang menjadi hak pekerja. Mereka bukanlah pembantu yang secara gratis dan seenaknya tergantung pada para majikan.

Sebagai proses budaya, mungkin masih perlu waktu panjang untuk menumbuhkan kesadaran kesetaraan relasi kerja antara PRT dan majikan yang mempekerjakan mereka. Kesadaran ini menjadi tumpuan utama untuk memastikan perlindungan hak-hak mereka yang menjadi korban ketimpangan relasi ini. Salah satu media penumbuhan kesadaran adalah pendidikan dan pemahaman keagamaan. Karena itu dalam hal ini, tokoh agama atau institusi keagamaan dituntut untuk memainkan peran-peran signifikan untuk mempercepat perubahan pola kesadaran masyarakat dalam penghormatan dan perlindungan hak-hak para PRT. Tuntutan awal bagi kepastian perlindungan mereka adalah jaminan negara dengan kebijakan yang dikeluarkan atau produk hukum yang diundangkan.

Dalam beberapa hal, kita patut bersyukur ketika hasil pendidikan kita sedikit banyak telah merubah kesadaran masyarakat yang sementara ini biasa bekerja di sektor rumah tangga. Daerah Gunung Kidul Yogyakarta misalnya, yang dulu dikenal sebagai pemasok PRT, saat ini cukup sulit menemukan perempuan yang bersedia begitu saja (tanpa syarat) bekerja sebagai PRT. Banyak dari mereka sudah mulai menuntut dan mengajukan pertanyaan mengenai gaji, kesediaan alat mesin cuci, setrika, vacuum cleaner atau yang lain. Ini perkembangan menarik tentu saja dari sisi kesadaran hak-hak para pekerja atau calon pekerja rumah tangga, sekalipun organisasi Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND) yang bergerak pada advokasi para PRT masih mencatat tingginya kekerasan yang dialami para PRT di Yogyakarta.[1]

Kesadaran seperti ini juga perlu diimbangi dengan kesadaran para majikan, atau calon majikan untuk memandang mereka secara setara, sebagai manusia dan pekerja yang bermartabat, sebagaimana manusia pekerja-pekerja yang lain. Negara dan para pengambil kebijakan menjadi yang paling bertanggung jawab, untuk mendorong melalui alat-alat, institusi dan infrastruktur yang dimiliki agar terjadi percepatan sistim hukum dan sosial bagi kepastian dan jaminan perlindungan para PRT, serta kesetaraan relasi sebagaimana yang diwasiatkan Nabi Muhammad saw. Wallahu a’lam. [ ]

Baca Juga:

Dirasah Hadis 1: Menerjemahkan Keberpihakan terhadap Pekerja Rumah Tangga

 

 

 

[1]Sumber: Kedaulatan Rakyat, 6/07/2009.

 

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here