Secara umum, keberadaan PRT di Indonesia memang belum mendapat penghargaan sehingga tidak mendapatkan perlindungan baik hukum maupun sosial secara layak. Padahal sebagai pelaku kerja kerumah tanggaan mereka memiliki peran reproduktif sekaligus produktif yang penting dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Akibatnya mereka rentan menghadapi berbagai bentuk kekerasan, baik fisik, psikis, seksual, maupun ekonomis.
Praktik kekerasan tersebut biasanya meliputi ancaman, pembantasan ruang gerak dan pergaulan, pembatasan bersosialisasi dan berkomunikasi, pembatasan hak berekspresi dan mengeluarkan pendapat. Lebih dari itu, hak berorganisasi, berserikat, dan berkumpul bagi PRT juga sering terabaikan. Bahkan mereka kadang mendapat cacian, hardikan, pelecehan seksual, perkosaan, penganiayaan, penyiksaan, sampai pembunuhan.
Selain kekerasan itu, PRT kerap mengalami pula diskriminasi hak-hak pekerja. Hak-hak PRT yang diterabas itu seperti waktu istirahat yang kurang, tidak adanya hari libur dan cuti, jam kerja yang tidak terbatas, serta beban kerja yang berat, sebagaimana tersebut di atas. Ironisnya, negara ini belum memiliki aturan setingkat undang-undang yang mengatur dan melindungi profesi PRT.
Undang-undang mengenai kekerasan dalam rumah tangga atau UU PKDRT tahun 2004 saja, belum cukup melindungi PRT dari tindak kekerasan. Selain karena undang-undang tersebut belum diimplementasikan secara keseluruhan, sosialisasi yang baik tentang keberadaan UU ini belum ada. Sehingga kebanyakan orang tidak menyadari bahwa perlindungan hukum dari UU tersebut, berlaku pula bagi para PRT. Oleh sebab itu, lembaga Amnesty International (AI) pernah menyerukan agar negara Indonesia beserta aparat hukumnya mempublikasikan UU tersebut kepada para PRT, para pengguna jasa dan agen-agen perekrut PRT, termasuk melalui media.
AI menyerukan pula agar PRT dilindungi undang-undang yang saat ini menjamin hak-hak pekerja di Indonesia. Terutama, UU tentang Ketenagakerjaan tahun 2003 yang saat ini sedang direvisi, dan menjamin hak-hak pekerja lain seperti, upah minimum, ketentuan jam kerja sebanyak 40 jam perminggu, serta standar mengenai waktu istirahat rutin serta hari-hari libur. Tanpa perlindungan hukum yang sama para PRT sangat rentan terhadap eksploitasi.[i]
Baca Juga:
Fokus 1: Memanusiakan Pekerja Rumah Tangga (PRT)
Fokus 2: Akar Historis dan Kultural PRT
Fokus 3: Hak PRT dalam Hukum dan Undang-undang Kita
Fokus 5: Islam dan Pekerja Rumah Tangga
[i] Eksploitasi dan Pelanggaran: Situasi Sulit PRT Perempuan, Amnesty International, Februari 2007.