“Jangan panggil aku ’Ning’, hanya karena aku istri seorang ’Gus’.
Buat apa dikenal sebagai ’Ning’ jika tidak melakukan perubahan yang berarti
untuk orang lain.”
Pernyataan Najma, lengkapnya Najmatul Millah di atas nyatanya bukanlah sekedar pemanis bibir belaka. Anak kedua dari tiga bersaudara pasangan KH. Abdul Ghoni Halim dan Nyai Hj. Ummu Hannah, yang lahir di Lumajang 10 Maret 1983 ini, benar-benar telah berbuat sesuatu untuk orang lain di sekitarnya. Uniknya lagi, ia memadukan perubahan tersebut dengan tidak meninggalkan kearifan lokal yang telah ada.
Tahun 2006, bersama sang suami, Gus Abdul Muhaimin, Najma membangun Pesantren Bustanul Ulum yang baru. Disebut ’baru’ karena sebelumnya telah ada Pesantren Salaf Bustanul Ulum yang dikelola oleh keluarga besar Gus Muhaimin. Sementara pesantren yang ’baru’, mengombinasikan model pendidikan salaf dengan pendidikan formal, khususnya SMP. Jenjang pendidikan lanjutan yang sebelumnya tidak pernah ada di Sumber Wringin, Jember. Selain ingin menyukseskan program Pemerintah melalui Wajar Dikdas (Wajib Belajar Pendidikan Dasar) 9 tahun, perempuan yang ketika kuliah sangat aktif di berbagai organisasi intra dan ekstra kampus ini percaya pendidikan formal sangatlah penting untuk membangun generasi yang lebih baik bagi masyarakat sekitar.
SMP itu kemudian diberi nama SMP Islam (SMPI) Bustanul Ulum. Pada Tahun Ajaran (TA) 2008-2009 lalu, muridnya berjumlah 40 siswa dengan 10 guru bidang studi. Meski terhitung baru, acungan dua jempol rasanya tidaklah berlebihan ditujukan kepada Alumni STAIN Sunan Ampel Malang (sekarang UIN Maulana Malik Ibrahim, red) ini. Betapa tidak, pada TA yang baru saja usai kemarin itu, SMPI Bustanul Ulum berhasil seratus persen mengentaskan 9 siswa kelas tiganya (4 laki-laki dan 5 perempuan) dari UAN (Ujian Akhir Nasional). Kesuksesan tersebut, ternyata berhasil merubah cara pandang masyarakat sekitar. Anak-anak mereka lalu disekolahkan ke sana, dengan harapan dapat mengaji sambil bersekolah. Sehingga pada TA 2009-2010 ini, jumlah muridnya meningkat sebanyak 30 persen.
***
Dalam mengelola santri-santrinya, Najma dan Gus Muhaimin saling bahu membahu. Ketika ditanyakan model menejemen semacam apa yang diterapkan, cucu buyut dari Pendiri Pesantren Syarifudin, Lumajang ini menyebutnya sebagai menejemen kekeluargaan yang berkesetaraan. ”Saya dan suami menerapkan pola relasi yang setara baik di dalam pembagian kerja domestik maupun publik. Pengambilan keputusan juga dilandasi oleh nilai kebersamaan, saling menghargai dan memahami,” ujar alumni pelatihan CO, Community Organizer Rahima (2007) ini.
”Kepada keduapuluh satu santri, kami menerapkan model kelas campuran baik di forum-forum diskusi, maupun dalam kajian kitab. Kesempatan yang sama juga kami berikan terutama dalam hal bertanya dan memperoleh ilmu pengetahuan. Belum lama ini, saya menyampaikan materi tentang Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) kepada mereka. Atas kedekatan relasi yang sudah seperti keluarga besar, keterbukaan untuk mencurahkan problem pribadi terkait isu KRR yang lazim dialami remaja tersampaikan. Dengan demikian kami jadi bisa mengambil langkah yang tepat untuk jalan keluarnya,” terang perempuan yang juga aktif di Kepengurusan Fatayat NU Jember ini.
Menyadari latar belakang ekonomi sebagian besar santrinya yang berasal dari kalangan kurang mampu, tak menyurutkan langkah Asisten Peneliti Rahima untuk isu Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi bagi Santri dan Majlis Taklim di Bondowoso dan Jember (2008) ini, untuk konsisten mendampingi santri-santrinya. ”Tak sepeser pun biaya untuk operasional pesantren dipungut dari para santri. Untuk makan, jika santri mampu, mereka cukup membawa secangkir beras tiap kali makan untuk ditukar dengan nasi dan lauk pauk. Tetapi jika tak mampu, santri tetap diperbolehkan makan,” tutur Ibu dari Hilya Majda (2 tahun) yang mewajibkan semua santrinya untuk bersekolah di SMPI Bustanul Ulum itu.
***
Perempuan yang hidup di lingkungan yang masih sangat kental dengan kultur salafi dan sarat dengan pembatasan terhadap kaum perempuan ini, nyatanya tidak juga berhenti di sini. Najma juga merangkul ibu-ibu muda dan lanjut usia untuk belajar agama di majlis talim yang baru 5 bulan ia dirikan. ”Aku beranggapan, jika kita telah diberi amanat oleh masyarakat dengan sebutan kyai atau nyai, yang notabene dianggap memiliki keilmuan, maka seharusnyalah kita lebih mendekatkan diri dan berbagi pemahaman agama juga lainnya dengan mereka,” ungkapnya tegas.
Maka, di forum-forum itulah, perempuan yang sedang menyelesaikan S2-nya di STAIN Jember ini berusaha mengaplikasikan semua pengetahuan yang dimilikinya. Tampaknya, masyarakat sekitar sangat menghargai atas ikhtiar yang nyata-nyata dilakukan oleh keluarga kecil teladan ini. Partisipasi dalam berbagai bentuk dukungan selalu mereka lakukan ketika Pesantren Bahrul Ulum mengadakan kegiatan seperti pengajian maupun ketika perayaan wisuda siswa kelas tiga yang dirayakan secara meriah bulan Juli kemarin.
Dengan demikian, panggilan ’Ning’, ataupun ’Nyai’ telah amat layak disandang oleh perempuan mungil bertekad baja itu. Teruslah berjuang sahabat, jadikan tantangan sebagai kekuatanmu. [ ] AD. Eridani