Penganiayaan pekerja rumah tangga di negeri Jiran, bukanlah hal yang baru. Fenomena yang seperti gunung es ini, seringkali ditutup-tutupi dengan alasan menjaga hubungan baik dengan negara tetangga. Persis ketika zaman penjajahan ketika Jepang mengaku “saudara tua” dari Asia.
Sebut saja kasus Nirmala Bonat yang disiksa majikannya, Yim Pek Ha pada 2004. Lalu Ceriyati binti Dapin, tenaga kerja Indonesia asal Brebes, Jawa Tengah, yang nekat kabur lewat jendela lantai 15 Apartemen majikannya di Tamarind, Sentul, Kuala Lumpur, Malaysia, Sabtu (16/6). Bahkan, jelang Pilpres 2009, Indonesia masih diwarnai tragedi yang menimpa Siti Hajar, TKI perempuan asal Garut, Jawa Barat. Berdasarkan rekonstruksi di rumah bekas majikannya di Kuala Lumpur, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), Jumhur Hidayat menyatakan memang telah terjadi penganiayaan berat terhadap Siti Hajar. Ketiga kasus tersebut hanyalah contoh kasus dari banyaknya kekerasan yang menimpa buruh migran kita di luar negeri.
Ironisnya, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans), Erman Suparno justru mengeluarkan surat keputusan terkait penghentian tenaga kerja Indonesia (TKI) dari sektor informal ke Malaysia. Upaya ini diyakini dapat menghentikan kasus penganiayaan TKI di negara tersebut.
Fenomena ini telah menjadi keprihatinan masyarakat di dalam negeri serta organisasi non pemerintah yang ditulis dalam laporan independen NGO kepada Komite CEDAW PBB di New York. Kondisi ini diperparah adanya Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah Indonesia dan Malaysia yang membenarkan majikan memegang paspor TKI. Laporan ini telah membuat Komite CEDAW mengeluarkan pernyataan khusus dalam komentar akhirnya (concluding observation/comments) atas laporan pemerintah dalam Sidang ke 39 tanggal 27 Juli 2007 lalu, dalam butir 33 sebagai berikut:
“ Komite mendesak Negara Pihak untuk melanjutkan pengembangan perjanjian bilateraral dan memorandum kesepahaman dengan negara-negara di mana perempuan Indonesia bermigrasi untuk mencari kerja sambil memastikan perjanjian-perjanjian tersebut sepenuhnya merefleksikan hak-hak perempuan sebagai manusia selaras dengan Konvensi. Komite selanjutnya mendesak negara pihak untuk memastikan dihapusnya ketentuan-ketentuan diskriminatif dari memorandum kesepahaman atau perjanjian bilateral termasuk ketentuan yang membolehkan majikan menahan paspor orang yang dipekerjakannya.”
Dari sini, untuk melindungi para buruh migran sebenarnya PBB telah memiliki konvensi khusus mengenai Perlindungan Hak-hak Semua Buruh Migran dan Keluarganya (1990). Sebagai sebuah negara yang mengirimkan banyak tenaga kerja ke luar negeri (lebih dari 600.000 orang per tahun), mestinya pemerintah lebih serius untuk melindungi warganya. Salah satunya adalah dengan melaksanakan apa yang telah dimandatkan oleh Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (RAN HAM) 2004-2009 dan pelaksanaan UU No.7 tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Upaya tersebut adalah dengan segera meratifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran. Kapan lagi kalau bukan sekarang? Tak perlu lagi jatuh lebih banyak korban. [ ] AD. Kusumaningtyas
Sumber Tulisan :
http://nasional.vivanews.com/news/read/67973-siti_hajar_senasib_dengan_nirmala_bonat
http://opini.wordpress.com/2007/06/19/pelajaran-terakhir-dari-ceriyati/
http://www.republika.co.id/berita/56125/Majikan_Siti_Hajar_Diancam_15_Tahun_Penjara
Komentar Akhir (Concluding Comments) Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Komite CEDAW) atas laporan ke-4 dan ke-5 Indonesia, yang disampaikan dalam sesi ke-39 Sidang Umum CEDAW pada 27 Juli 2007, di New York, Amerika Serikat. Diterjemahkan dan dicetak oleh CEDAW Working Group Initiative (CWGI), UNIFEM, dan CIDA, Februari 2009.