Atas Hendartini Habsjah, perempuan kelahiran Jakarta 26 November 1951 ini adalah lulusan Master dalam Antropologi Medis dari Universiteit Van Amsterdam, Belanda. Di bawah naungan lembaga pusat penelitian Unika Atmajaya, selama kurang lebih 23 tahun ia telah banyak melakukan riset kesehatan di kelompok-kelompok masyarakat miskin kota di sekitar DKI Jakarta. Pada tahun 2001 bersama rekan-rekannya, ia mendirikan Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), sebuah lembaga swadaya yang fokus pada tuntutan pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan. Bersama yayasan tersebut hingga saat ini, istri dari Irwan Habsjah, ekonom, telah banyak mendorong masyarakat dan pemerintah baik daerah maupun pusat untuk mengupayakan pengembangan pelayanan kesehatan reproduksi bagi perempuan secara terpadu. Seperti halnya, pilot project YKP di kabupaten Kebumen, Jawa Tengah dan daerah Kabupaten Kampar, Riau, yang telah banyak memberikan perubahan signifikan pada tingkat kesehatan reproduksi kaum perempuan. Kali ini dalam wawancaranya bersama Swara Rahima, nenek dari Amelie (4 tahun) ini, akan banyak mengungkap masalah sunat perempuan di Indonesia. Bagaimana bentuk-bentuk sunat perempuan yang terjadi di Indonesia? Apa bahayanya bagi kesehatan reproduksi maupun kesehatan seksual perempuan? Berikut adalah komentar-komentarnya.

Apa pengertian sunat perempuan menurut Anda?

Sunat adalah pemotongan atau pengelupasan sebagian dari alat kelamin perempuan, di bagian klitoris saja atau bahkan sampai pada bagian labia mayora atau bibir kemaluan besar perempuan.

 

Bagaimana bentuk-bentuk praktik sunat perempuan yang terjadi di Indonesia?

Praktik sunat perempuan di Indonesia itu bermacam-macam. Kalau menurut WHO (organisasi kesehatan dunia), praktik sunat ini ada yang sampai memotong atau memutilasi klitoris sekaligus labia mayora. Jenis ini banyak terjadi di Afrika.

 

Di Indonesia sunat perempuan umumnya dilakukan dengan menyayat atau mengelupas bagian klitoris atau menusuk bagian tengahnya. Namun ada juga yang dilakukan secara simbolis dengan menggunakan kunyit yang diruncingkan untuk ditorehkan pada bagian klitoris. Praktik ini banyak terjadi di pulau Jawa. Tapi, pada salah satu penelitian Kajian Wanita Universitas Indonesia, yang bertujuan mengetahui dampak sunat, terbukti beberapa perempuan yang bersedia membuat foto dirinya sendiri, ternyata di antara mereka ada juga yang hilang sama sekali bagian klitorisnya.

 

Apakah itu berarti praktik sunat perempuan secara ekstrim juga terjadi di Indonesia?

Saya kira tidak termasuk definisi mutilasi atau Female Genital Mutilation (FGM) seperti yang terjadi di Afrika. Sebab bentuk sunat ekstrim itu ada yang sampai benar-benar memotong habis klitoris dan labia mayora lalu menyatukan kedua sisi dengan menjahitnya dan hanya meninggalkan lubang kecil untuk keluarnya darah menstruasi.

 

Di Indonesia, pada usia berapakah sunat perempuan umumnya dilakukan?

Usia sunat perempuan sangat variatif. Sebagian masyarakat melakukannya pada usia bayi 3-7 hari, tapi ada juga yang mempraktikkannya pada usia anak perempuan sekitar 6 atau 7 tahun. Ini seperti yang terjadi di daerah Sumatra Barat atau Sulawesi Selatan.

 

Biasanya, siapa yang dipercaya masyarakat untuk melaksanakan sunat perempuan ini?  

Di Indonesia seperti di daerah Sumatera Barat, pelaksana sunat perempuan bisa seorang dukun, tapi juga bisa tenaga medis seperti bidan atau dokter. Kalau di Yogyakarta para dukun Sunat perempuan itu biasanya dipanggil untuk datang ke rumah orang tua dari si anak untuk melaksanakan sunat perempuan ini dan diakhiri dengan acara selamatan.

 

***

 

Menurut Anda, apa alasan praktik sunat perempuan yang terjadi di masyarakat?

Alasan yang digunakan masyarakat ada banyak sekali. Tapi yang paling ideologis adalah alasan kontrol terhadap seksual perempuan. Dan ini yang paling berbahaya.

 

Kalau di Sunda, ada masyarakat yang meyakini bahwa kalau menggendong bayi yang belum disunat, bayinya itu najis. Itu berarti, mereka seperti menggendong setan, jadi si bayi perempuan harus disucikan terlebih dulu dengan menjalani ritual sunat perempuan.

 

Di Jawa, khususnya Jawa Tengah, hampir serupa keyakinannya. Praktik sunat yang disebut titisan atau tetesan dilakukan karena anggapan seorang anak laki-laki maupun perempuan harus dimurnikan. Bahkan ada beberapa keluarga yang bukan beragama Islam melakukan ritual tetesan. Dalam Islam sebenarnya, bayi lahir memang diakui suci, namun tetap saja harus disunat supaya diakui benar-benar menjadi Islam.

 

Apakah itu berarti pula, sunat perempuan adalah ajaran agama?

Tidak, praktik ini sudah ada jauh sebelum Islam. Sunat perempuan itu adalah budaya, lalu belakangan baru masyarakat mengaitkan praktik ini dengan ajaran agama. Sebab itu kita harus kembalikan dalam hukum agama, sunat perempuan itu tidak diwajibkan. Kalau itu hanya karena alasan tradisi, tidak usah karena tidak terbukti manfaatnya.

 

Tapi di Indonesia sendiri, banyak masyarakat yang menggunakan alasan ajaran Islam dalam mempraktikkan sunat perempuan. Apa pendapat Anda?

Dari penelitian yang pernah saya lakukan yang sebagian besar bersifat kuantitatif berdasarkan data quisioner, dari sekitar 500 responden, ada tiga orang non-muslim yang juga ikut disunat. Itu artinya, anggapan bahwa sunat perempuan diajarkan Islam, itu tidak terbukti. Sunat perempuan adalah tradisi yang dijalankan kelompok masyarakat, bukan ajaran agama itu sendiri.

 

Lalu apa sesungguhnya dampak negatif sunat bagi perempuan?

Selain bentuk penganiayaan, secara medis sunat perempuan dapat merusak jaringan syaraf maupun otot di sekitar organ vital perempuan.

 

Dalam jangka panjang sunat perempuan juga mengakibatkan disfungsi seksual perempuan dan memang dari studi-studi tentang dampak sunat perempuan, inilah yang paling sering dialami perempuan, di luar negeri ataupun di Indonesia. Seperti halnya sunat perempuan di Sumatera Barat yang dilakukan secara ekstrim, mereka rata-rata cenderung bermasalah dalam kehidupan seksualnya.

 

***

 

Dalam persoalan penyebaran praktik sunat perempuan ini, siapa sebenarnya yang turut berperan mensosialisasikannya? 

Sebetulnya para bidan di kota maupun di desa itulah yang mendukung penyebaran sunat perempuan di masyarakat. Medikalisasi sunat perempuan ini tidak pernah diajarkan dalam pendidikan kesehatan, tapi beberapa bidan tiba-tiba mempraktikkan hal itu. Seperti halnya yang terjadi di Kalimantan, awalnya praktik sunat perempuan ini tidak ada di sana, namun para bidan dari Jawa atau Sumatera yang ditugaskan di sana yang menyebarkan praktik ini.

 

Bagaimana dengan peran para dukun sunat sendiri?

Para dukun sunat itu sudah ada sejak dulu. Lalu tradisi yang mereka lakukan ini dilanjutkan oleh bidan-bidan yang mengatakan layanan sunat perempuan diberikan karena permintaan masyarakat. Sebab sunat yang dilakukan bidan dianggap lebih steril dari pada dukun. Padahal, para bidan sendiri, sesungguhnya hanya bermodal keberanian saja untuk melakukan praktik sunat perempuan karena sunat perempuan ini tidak pernah diajarkan pada mereka. Para bidan justru menggunakan alat-alat medis yang tajam dan berbahaya, seperti gunting atau pinset untuk melakukannya. Tidak seperti para dukun-dukun di kampung-kampung Jawa, di mana mereka hanya menggunakan kunyit untuk menggores bagian klitoris.

 

Apakah itu berarti Anda setuju dengan praktik sunat perempuan ala “kunyit”?

Saya sepakat dengan pendapat yang mengatakan, apapun bentuknya praktik sunat perempuan harus ditinggalkan.

 

Lalu bagaimana cara menghentikan praktik sunat perempuan ini di kalangan bidan ataupun para dukun itu?

Di kalangan bidan memang masih terdapat perbedaan pendapat tentang praktik sunat perempuan. Mereka masih ada yang menolak pelarangan praktik sunat perempuan ini. Sedang di kalangan dukun, menurut saya memang susah sekali mengendalikannya, tidak hanya karena secara hirarki kelembagaan tidak ada yang berwenang mengatur, tapi keberadaan dukun ini juga sulit diidentifikasi berapa jumlahnya.

 

Barangkali peran ulama yang berada di satu komunitas itulah yang bisa melakukan pendekatan, berinteraksi, dan mensosialisasikan pelarangan praktik sunat perempuan pada dukun-dukun bayi. Tapi sayangnya, para ulama sendiri juga berbeda pendapat dalam menyikapi sunat perempuan. Di tengah masyarakat, ulama masih banyak mendukung pelaksanaannya. Sebab sunat perempuan memang harus diakui masih terjebak pada wilayah antara agama dan tradisi budaya.

 

Bicara soal tradisi atau kebiasaan, bagi sebagian orang sunat perempuan jadi obyek komersialisasi. Apa pendapat Anda?

Memang kelihatannya di masyarakat telah terjadi komersialisasi sunat perempuan. Sebab hal ini sudah menjadi satu paket biaya dengan melahirkan, tindik dan akte kelahiran. Bahkan di Bandung ada sunat massal perempuan.

 

Akte juga sebenarnya tidak boleh dikomersilkan. Sekarang kita punya Undang-undang Perlindungan Anak, dimana untuk membuat akte kelahiran tidak boleh dipungut biaya. Tapi dari penelitian saya di sebuah Rumah Bersalin PUSKESMAS di Jakarta Utara, saya temukan pengumuman yang terpasang di sana bahwa untuk pembuatan akte kelahiran, harus bayar Rp 50.000,-. Sejak saat itu saya bersama kawan-kawan ikut aktif mensosialisasikan Undang-undang Perlindungan Anak tahun 2003 ini.

 

***

 

Dari perspektif gender dan seksualitas, apa pendapat Anda tentang sunat perempuan?

Menurut saya, dari sisi seksualitas kita selama ini terlalu menilai perempuan itu harus dikendalikan potensi seksualnya, sampai-sampai bayi yang baru lahir pun harus dikontrol tubuhnya dengan disunat organ vitalnya.

 

Dari sisi gender, kelihatannya kita telah salah kaprah dalam memahaminya, sehingga kalau bicara gender seolah semuanya harus di-sama-kan antara laki-laki dan perempuan. Kalau laki-laki disunat, perempuan juga seolah harus disunat. Padahal tidak demikian cara memahami gender.

 

Seks merujuk perbedaan secara biologis, di mana antara laki-laki dan perempuan secara biologis keduanya memang berbeda. Mulai dari hormon perempuan, sampai fungsinya untuk melahirkan dan mengeluarkan air susu. Sementara gender itu adalah pembagian peran. Kalau pembagian peran memang tidak boleh dibeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan.

 

Menurut Anda, apakah sunat perempuan ini melanggar HAM?

Saya kira, kita semua tidak setuju dengan praktik sunat perempuan karena melanggar HAM (Hak Asasi Manusia). Dalam nilai-nilai HAM, praktik ini dianggap torture atau tindakan aniaya karena menyakiti serta merusak organ vital perempuan. Selain itu, banyak kalangan seperti KH. Husein Muhammad atau Ibu Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, mereka tidak melihat perintah itu baik di Hadis ataupun Alquran yang menyatakan dengan tegas kewajiban sunat perempuan ini.

 

Di Indonesia, adakah larangan praktik sunat perempuan yang berlaku?

Tentu saja ada. Bahkan saat itu saya juga terlibat dalam inisiasinya melalui penyelenggaraan workshop yang menampilkan semua studi-studi tentang sunat perempuan sehingga pada akhirnya di tahun 2005 dikeluarkanlah surat edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat yang melarang semua petugas kesehatan, baik dokter maupun bidan untuk mempraktikkan sunat perempuan.

 

Bukankah mereka tenaga medis, mengapa dilarang juga mempraktikkannya?

Selama ini praktik sunat perempuan tidak pernah diajarkan pada dokter dan bidan. Sementara mereka biasanya memakai alat-alat seperti jarum suntik, gunting ataupun pinset untuk menoreh atau memotong bagian klitoris bayi dan harus keluar darahnya sebagai tanda telah sah disunat. Praktik ini tentu akan sangat rentan menimbulkan infeksi atau keloid, yaitu semacam daging yang tumbuh di bekas goresan itu. Bagi perempuan dengan kecenderungan memiliki keloid ini akan merasakan kebal/tidak sensitif lagi saat menjalani kegiatan seksualnya, bahkan dapat pula merusak syarafnya.

 

Bagaimana mengenai kerangka hukum dalam menyikapi sunat perempuan?

Saya melihatnya ada tiga hukum mendasar di sini, yaitu hukum Negara, hukum Agama dan hukum adat. Inilah yang harus kita luruskan dalam rangka menghapus praktik sunat perempuan. Kalau dalam ranah internasional, sunat perempuan menurut konvensi CEDAW harus dikategorikan dalam penghapusan terhadap segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Sebab praktik sunat perempuan telah melanggar pasal-pasal yang ada di dalamnya. Sementara CEDAW sendiri sudah diratifikasi Indonesia ke dalam Undang-undang No. 7 tahun 1984. Jadi tampaknya harus ada harmonisasi antara hukum Islam, Adat tradisi, dengan hukum-hukum HAM yang telah diratifikasi.

 

Sebetulnya, adakah dampaknya bagi perempuan yang tidak disunat?

Tidak ada dampaknya. Tokoh-tokoh kita seperti Ibu Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid tidak menyunat cucu-cucu perempuannya.

 

Secara sosial, tidakkah berdampak pada pengucilan perempuan ketika tidak disunat?

Menurut saya, kita harus berani bersama-sama menjadi satu gerakan untuk mendukung perempuan agar tidak lagi mempraktikkan sunat perempuan. Dengan begitu, mereka tidak perlu lagi merasa berdosa atau melanggar ajaran agama atau tradisi ketika mereka tidak bersunat. Kita harus memberikan informasi secara benar tentang bahaya sunat perempuan. Dengan demikian, kerja kita akan cepat terlaksana dalam rangka pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi perempuan. Mesir telah melarang sunat perempuan sejak tahun 2007 dan Bangladesh akan menyusul. Bahkan, negara Suriah juga tidak mengenal praktik sunat perempuan ini.

 

Lalu, apa harapan Anda terkait isu sunat perempuan ini?

Saya ingin melihat sunat perempuan ke depan tidak ada lagi. Saya sendiri dan teman-teman akan selalu mengupayakan hal ini sampai batas kemampuan kami. Sebab kita sendiri juga memiliki anak-anak perempuan dan cucu-cucu perempuan, yang ke depannya jangan sampai orang-orang yang kita sayangi organ vitalnya turut terpotong yang berdampak pada kehidupan seksualnya. [] Hafidzoh Almawaliy

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here