Klaim bahwa khitan perempuan sebagai syari’ah atau agama, sesungguhnya tidak dasarkan pada ayat Alquran maupun teks hadis. Pernyataan ini lebih didasarkan pada pandangan ulama fiqh mengenai khitan perempuan. Dalam beberapa kitab fiqh ensiklopedis disebutkan, ada ulama yang menyatakan khitan perempuan itu wajib sebagaimana laki-laki, ada yang menyatakan hanya sunnah saja dan ada yang menyatakan hanya sebatas ‘kemuliaan’ (makramah).

Mengenai pandangan ulama mazhab fiqh dalam hal khitan perempuan, Wahbah al-Zuhayli mendiskripsikan, “Khitan bagi lelaki, mengikuti madzhab Hanafi dan Maliki, adalah sunnah mu’akkadah (sunnah yang dekat kepada wajib), dan bagi perempuan adalah suatu kemuliaan (yang kalau dilaksanakan) disunnahkan tidak berlebihan sehingga tidak terpotong bibir vagina, agar ia tetap mudah merasakan kenikmatan jima’ (hubungan seksual). Menurut Imam Syaf’i, khitan adalah wajib bagi lelaki dan perempuan. Sedangkan Imam Ahmad berkata, bahwa khitan wajib bagi lelaki dan suatu kemuliaan bagi perempuan yang biasanya dilakukan di daerah-daerah yang panas”.[1]

Argumentasi yang disampaikan mengenai kewajiban atau kemuliaan khitan perempuan adalah analogi hukum (qiyas). Yaitu, bahwa sebagaimana laki-laki diwajibkan atau disunnahkan khitan, maka perempuanpun demikian adanya. Khitan perempuan pun dimasukkan sebagai amalan Nabi Ibrahim as. (al-fithrah al-hanifiyyah). Diriwayatkan, Nabi Ibrahim as. diperintah khitan pada umur 80 tahun. Ditambah dengan berbagai teks-teks hadis, yang sebagaimana disampaikan di atas, tidak ada satupun yang kuat (sahih) sebagai landasan hukum. Jadi, teks-teks hadis yang dipakai landasan kebolehan atau kesunnahan khitan perempuan adalah teks-teks hadis untuk khitan laki-laki.

Tentu saja, analogi teks ini tidak bisa diterima. Sebab, khitan bagi laki-laki adalah untuk kebaikan, kebersihan, kesehatan dan manfaat biologis yang dirasakan laki-laki. Sementara khitan perempuan justru sebaliknya, akan mendatangkan keburukan, kerusakan biologis dan perempuan bisa sulit memperoleh manfaat (orgasme) dari hubungan seksual dengan suaminya. Dalam bahasa Ushul Fiqh, analogi ini justru bersebrangan (qiyas ‘ala al-fariq) dan karena itu tidak bisa diterima.

Seharusnya, jika alasan (‘illat) khitan laki-laki untuk memudahkan kenikmatan seksual bagi laki-laki, alasan yang sama juga dipakai untuk hukum khitan perempuan. Ketika pada praktiknya, perempuan yang dikhitan klitorisnya lebih sulit merasakan orgasme daripada perempuan yang tidak dikhitan, maka khitan perempuan harus dilarang. Agar perempuan mudah merasakan manfaat hubungan seksual (orgasme) sebagaimana laki-laki mudah merasakanya. Apalagi Alquran mengakui kesetaraan hubungan seksual antara suami istri ini dengan ungkapan “hunna libasun lakum wa antum libasun lahunn” (istri adalah pakaian bagi suami, dan sebaliknya suami juga pakaian bagi istri).

Ada logika hukum lain yang digunakan Syekh Muhammad Syaltut untuk hukum khitan perempuan. Menurutnya, melukai anggota tubuh (jarh), pada prinsipnya adalah haram, kecuali jika ada manfaat yang lebih besar atau karena ada kebutuhan yang mendesak (dharurah). Khitan perempuan termasuk dalam katagori ‘melukai tubuh’, karena itu haram hukumnya. Apalagi jika dipastikan tidak ada manfaat sama sekali yang bisa jadi alasan pembolehan, dan justru mendatangkan kerusakan dan keburukan.[2] Berarti, pengharaman atau pelarangan khitan perempuan sesungguhnya pengembalian pada hukum asal (istishhab al-ashl) dalam Islam yang melarang melukai tubuh.

Sementara, ulama yang tergabung dalam Majlis Fatwa Mesir menggunakan logika utama, yaitu pengharaman sesuatu yang mendatangkan kerusakan (la dharara wa la dhirar). Logika ini diakui semua ulama fiqh dan dinyatakan dalam sebuah teks hadis. Dalam keputusanya, Majlis Fatwa menganggap persoalan khitan perempuan tidak masuk dalam urusan agama. Sebab itu, ia harus tunduk pada logika ‘jika merusak’ harus diharamkan. Syekh Yusuf al-Qaradhawi juga termasuk orang yang berpendapat khitan perempuan hanya sebatas hukum mubah atau dibolehkan saja dalam fiqh. Dan hal-hal yang dibolehkan syari’ah, bisa dilarang jika nyata-nyata mendatangkan kerusakan. Khitan perempuan termasuk yang mendatangkan kerusakan dan keburukan (dharar) dan hukumnya menjadi dilarang, atau haram.[3]

 

Baca Juga:

Dirasah Hadis 1: Menegaskan Pelarangan Khitan Perempuan

Dirasah Hadis 3: Strategi Budaya

 

[1] Lihat: al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, th. 1989, juz III, h. 642

[2] Lihat: Muhammad Syaltut, al-Fatawa, h. 333

[3] Baca: http://www.islamonline.net, terutama yang versi Bahasa Arab

 

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here