Oleh : Husein Muhammad
Tanggal 24 Juni 2007, hampir semua surat kabar Mesir menulis berita yang cukup kontroversial, menyusul pernyataan Mufti Mesir Syeikh Ali Gom’ah terkait khitan perempuan. Sang Mufti mengeluarkan fatwa khitan bagi perempuan adalah haram. Fatwa ini dikeluarkan menyusul kematian bocah perempuan yang meninggal dunia setelah dikhitan seorang dokter perempuan di Propinsi Elmania Selatan, Kairo. Nama anak perempuan ini adalah Budur Ahmad Syakir. Organisasi dokter Mesir saat itu menegaskan, kematian anak perempuan ini akibat khitan. Sementara orang tuanya mengajukan gugatan ke pengadilan terhadap dokter yang mengkitan anaknya.
Fatwa ini langsung mendapat reaksi beragam dari para ulama al-Azhar. Sebagian ulama mengecam dan sebagian lain mendukung. Al-Syeikh al-Akbar (Grand Syeikh) Al-Azhar University, Muhammad Sayyed Thanthawi sendiri, mendukung pendapat Mufti tersebut. Thanthawi bahkan menyatakan dirinya sudah lama mengemukakan hal tersebut. Ia mengatakan tidak ada alasan agama untuk membenarkan khitan perempuan. Tidak ada teks Alquran maupun Hadis yang sahih mengenai khitan perempuan. Khitan dalam Islam hanya berlaku bagi laki-laki. Meski demikian, Sayed Thanthawi menyerahkan sepenuhnya penilaian bermanfaat tidaknya khitan bagi kesehatan perempuan pada para ahli medis. Salah satu surat kabar menyebutkan:
“Dr. Muhammad Sayed Thanthawi, Syeikh al-Azhar, dalam konferensi yang diselenggarakan organisasi Hak-hak Asasi Manusia German, mengatakan tidak terdapat alasan agama untuk khitan perempuan. “Khitan perempuan” tambahnya, “tidak disebutkan baik dalam Alquran maupun Hadis Nabi. Islam hanya membenarkan khitan bagi laki-laki”. Tapi Sayed Thanthawi mengatakan keputusan terakhir (untuk masalah ini) harus berdasarkan pendapat para ahli medis, karena boleh jadi ada perlunya”.
Definisi Khitan
Khitan secara literal berarti memotong. Sementara dalam terminologi ahli fiqh Islam adalah “memotong kulit yang menutup kepala penis (hasyafah) atau memotong daging bagian ujung klitoris perempuan”.[1]
Sayed Sabiq, dalam Fiqh al-Sunnah, mendefinisikan khitan sebagai, “pemotongan kulit hasyafah agar tidak menyimpan kotoran, mudah dibersihkan ketika kencing dan merasakan nikmat dalam hubungan seks. Ini untuk khitan laki-laki. Sementara untuk perempuan adalah memotong bagian ujung farji (kemaluan). Khitan adalah tradisi masyarakat kuno (sunnahqadimah)”.[2]
Pertanyaan kita adalah, “Adakah ayat dalam Alquran yang membicarakan tentang khitan?” Jawabnya, pasti tidak. Alquran tidak menyediakan jawaban untuk isu ini baik secara eksplisit maupun implisit. Tidak ada satupun ayat yang menyebutkan khitan baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Sementara, para ahli fiqh mengatakan, Alquran memang tidak menyebutkannya secara eksplisit, tapi kitab suci ini memberi isyarat mengenainya dalam pernyataan umum. Yaitu, “Tsumma Auhaina ilaik an ittabi’ millah ibrahim Hanifa”. Artinya, “Kemudian Kami wahyukan kepadamu agar mengikuti millah Nabi Ibrahmi.” (QS. Al-Nahl: 123)
Ayat tersebut menurut para ahli fiqh, menegaskan agar Nabi saw. dan umatnya mengikuti millah (agama) Nabi Ibrahim as. Salah satu millah itu adalah khitan. Mereka merujuk pada sebuah hadis Abu Hurairah:
“Dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw. Berkata, “Ibrahim as. berkhitan setelah berusia 80 tahun”.[3] (HR. Bukhari – Muslim)
Syeikh Yusuf al-Qardhawi, ulama kontemporer terkemuka, mengkritik argumen ini. Katanya, “merujuk ayat ini sebagai dasar hukum khitan adalah mengada-ada. Ayat tersebut sesungguhnya bicara lebih luas dan lebih prinsipil dari sekedar bicara soal khitan. Ajakan atau perintah mengikuti agama Ibrahim adalah ajakan kepada keyakinan Tauhid dan menjauhi kekafiran atau kemusyrikan kepada Tuhan melalui argumen rasional dan ilmiyah (al hikmah wal hujjah)”. Maksud ini sejalan dengan ayat yang lain:
“Katakanlah (wahai Muhammad), “sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar; agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim bukanlah termasuk orang yang musyrik. Katakanlah, “sesungguhnya, shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. Al-An’am: 161-162)
Dengan begitu, jelas sekali tidak ada dasar teologis dari Alquran mengenai khitan, tidak untuk khitan laki-laki apalagi khitan perempuan.
Lalu dari mana sumber legitimasi khitan baik laki-laki maupun perempuan? Jawabannya adalah, hadis Nabi Muhammad saw. Antara lain:
“Dari Umi Athiyyah ra. bahwa seorang perempuan mengkhitan para perempuan di Madinah. Nabi saw. Mengatakan, “Jangan berlebihan, karena ia (bagian yang dipotong) menyenangkan bagi perempuan (isteri) dan paling disukai suami. Pada riwayat lain Nabi mengatakan, “potong ujungnya saja dan jangan berlebihan, karena ia sangat menyenangkan dan bagian yang disukai suami”. (HR. Abu Daud)
Hadis ini menarik dianalisis pada beberapa sisi. Pertama, kata-kata ”la tanhaki”, (jangan berlebihan). Yaitu jangan berlebihan memotong klitorisnya. Pernyataan ini sebenarnya menunjukkan kritik Nabi terhadap praktik khitan perempuan yang biasa dilakukan masyarakat Arabia dan tradisi di berbagai tempat lain di dunia pada masa itu.
Pada beberapa kebudayaan dunia lama, praktik khitan perempuan dilakukan dengan menghilangkan sebagian atau bahkan seluruh kulit klitoris (clitoridectomy). Lebih buruk lagi adalah praktik khitan perempuan pada masa Fir’aun yang disebut ”Pharaonic Circumcision”. Tradisi khitan perempuan masa ini dilakukan dengan memotong sejumlah jaringan kelamin dan menghilangkan semua labia minora-nya. Jauh lebih kejam dari khitan perempuan ala Fir’aun adalah apa yang disebut ”Infibulation”. Ini sebuah praktik khitan perempuan dengan menghilangkan seluruh bagian alat kelamin, klitoris, labia minora dan labia mayora.
Dengan pernyataan tersebut, Nabi Muhammad sebenarnya sedang melakukan proses transformasi kultural melalui pendekatan gradual (bertahap) dalam bentuk reduksi atas tradisi atau budaya tersebut. Ada kesan kuat dari pernyataan itu bahwa Nabi menginginkan penghapusan praktik khitan perempuan ini, bahkan untuk cara yang paling sederhana sekalipun (misalnya hanya dengan memotong bagian kecil dari klitorisnya). Tapi Nabi menyadari sepenuhnya, tradisi khitan perempuan tidak mudah dihapuskan seketika, karena praktik itu telah jadi tradisi yang mengakar di masyarakat. Penghapusan seketika atas praktik budaya ini, tentu akan menimbulkan resistensi dan reaksi keras masyarakat, bahkan boleh jadi penentangan terhadap misi utamanya, yakni Tauhid.
Metode transformasi gradual dalam bentuk reduksionis ini selalu dipakai dalam Alquran untuk banyak kasus yang bernuansa kekerasan terhadap manusia, khususnya perempuan, seperti pemukulan isteri dan poligami, untuk menyebut beberapa contoh saja. Pemukulan terhadap isteri yang nusyuz (menolak ajakan seks suami) dalam tradisi Arabia sebelum Islam, adalah cara pertama dan utama dalam tradisi mereka. Perempuan dipandang sebagai makhluk kelas dua dan rendah. Islam datang untuk mengkritik cara ini. Meskipun dengan tetap mengakomodasi ”pemukulan” itu, tapi ia ditempatkan sebagai cara terakhir, dengan sejumlah catatan krusial, yang intinya menghindari cara kekerasan. Lalu pada banyak kesempatan Nabi melarang pemukulan tersebut dan menyatakannya sebagai tindakan yang buruk. ”Suami yang memukul isterinya bukanlah suami yang baik”. Poligami juga bukan tradisi Islam. Ia telah ada secara mengakar dalam kebudayaan Arabia dan kebudayaan lain sebelum Islam, dengan tanpa batas. Islam hadir untuk mereduksi praktik ini hanya sampai empat tapi dengan catatan agar berlaku adil terhadap para isteri, seraya menganjurkan agar monogami saja. Sebab monogami lebih memungkinkan seseorang (suami) untuk terhindar dari kezaliman.
Pernyataan ”makarumah”, juga merupakan bahasa yang mengesankan langkah akomodatif Nabi atas tradisi atau budaya, dalam bentuk reduksi dari praktik khitan perempuan yang berlangsung sebelumnya yang jelas merupakan pelukaan sekaligus penindasan terhadap tubuh dan psikologi perempuan. Pemukulan yang diakhirkan, poligami yang dibatasi dan penggunaan kata ”makrumah” (penghormatan), merupakan, mengambil istilah Jamal al Bana manthiqah al iltiqa (wilayah pertemuan). Yakni pertemuan budaya lama dan budaya baru. Tapi dalam waktu yang sama ia juga merupakan manthiqah al Jisr atau wilayah penyebrangan. Dengan arti lain langkah akomodasi tersebut meski tetap ada dan ditolerir, tapi ia hanyalah merupakan kondisi transisi belaka yang pada gilirannya perlu diseberangkan atau dihapuskan. Hal ini mengingat bahwa segala bentuk kekerasan tidaklah sejalan dengan visi Islam. Mempertahankan kekerasan terhadap manusia, dengan dalih apapun, sama artinya dengan membenarkan kekerasan oleh agama.
Kedua, kata ”al ba’l”. Dalam terjemahan bahasa Indonesia kata ini dimaknai sebagai suami. Padahal ia tidak sama dengan kata ”al zawj” yang juga diartikan ”suami”. Secara bahasa ”ba’l” berarti ”malik”, (pemilik), ”sayyid” (tuan) dan ”rabb” (pendidik).
Menurut Khalil Abdul Karim, kata ”ba’l” yang digunakan untuk ”suami” mengandung fungsi psikologis perempuan dalam posisi sangat rentan, terutama berkaitan dengan organ-organ reproduksinya, kenikmatan seksual dan pelayanan seksual. Ia menggambarkan posisi perempuan (isteri) dalam konteks masyarakat Arab, yaitu posisi pelayanan dan subordinat. Alquran memang masih menggunakan kata ini. Tapi di tempat lain Alquran banyak memperkenalkan kata lain yang lebih ramah dan menghargai kesetaraan, yaitu ”zawj” yang berarti pasangan.
Dalam ayat penciptaan manusia misalnya disebutkan, ”Dan daripadanya, Dia menciptakan pasangannya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”. (QS. al Nisa: 1). Atau ayat tentang tujuan pernikahan, ”Dan di antara tanda-tanda kemahakuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu pasanganmu dari jenismu sendiri, supaya kamu tertarik dan merasa tenteram, dan dijadikan-Nya rasa saling mengasihi dan menyayangi”. (QS. al Rum: 21). Kata ”zawj” atau ”azwaj” ini memiliki konotasi hubungan dan posisi kesetaraan. Pengenalan kata ”zawj”, di samping kata ”ba’l” tersebut, merupakan metodologi transformasi kultural yang sangat indah yang dilakukan Alquran.
Ketiga, kalimat ”fa innahu ahzha li al mar’ah wa ahabb li al ba’l”, yang artinya klitoris adalah organ yang menguntungkan perempuan dan menyenangkan laki-laki (suami). Identik dengan makna kalimat ini adalah ”fa innahu anwar li al wajh wa ahzha ’ind al Rajul”. Artinya, klitoris adalah sesuatu yang menyenangkan perempuan dan menguntungkan laki-laki. Dari sini tampak jelas, Nabi sebenarnya sedang mengingatkan masyarakat bahwa klitoris perempuan adalah bagian tubuhnya yang berharga. Sebab, ia memberikan kenikmatan seksual bagi kedua pihak, laki-laki (suami) dan perempuan (isteri). Seharusnya bahasa ’sindiran’ Nabi yang indah tersebut dapat dipahami sebaik-baiknya, dengan membiarkan bagian tubuh perempuan yang jadi sumber kenikmatan kedua jenis kelamin tersebut tumbuh apa adanya, tanpa dipotong atau digores oleh benda tajam apapun.
Hadis lain yang lebih tegas menjelaskan hukum khitan perempuan adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal:
“Dari Abu Hurairah ra. Nabi saw. bersabda: “Khitan adalah sunah bagi laki-laki dan kehormatan bagi perempuan”. (HR. Ahmad dan al Baihaqi)
Hadis ini secara eksplisit menegaskan, khitan bagi laki-laki adalah sunnah, sementara bagi perempuan adalah “kehormatan”. Sangat menarik mengapa Nabi tidak secara tegas menyebut katagori hukum untuk khitan perempuan. Dengan kata lain, mengapa Nabi tidak menyebut misalnya wajib, sunnah, mandub (dianjurkan), atau paling tidak mubah (boleh, pilihan).
Syeikh Yusuf al Qardhawi menyampaikan pandangan yang menarik mengenai tafsir kata “makrumah li al Nisa”. Menurutnya:
ومعنى أنه مكرمة للنساء: أنه شيء مستحسن عُرفا لهنَّ، وأنه لم يجئ نصٌّ من الشارع بإيجابه ولا استحبابه. وهذا أمر قابل للتغير، فما يعتبر مكرُمة في عصر أو قطر، قد لا يعتبر كذلك في عصر أو في قطر آخر … ولهذا رأينا عددا من أقطار المسلمين لا تختَّن نساؤهم، مثل بلاد الخليج العربي، وبلاد الشمال الأفريقي كلِّها.
“Arti kehormatan bagi perempuan adalah ia merupakan sesuatu (praktik) yang menurut tradisi dipandang baik bagi perempuan. Tidak terdapat teks agama yang mewajibkan maupun yang menganjurkan (mensunnahkan). Ini merupakan perkara yang bisa berubah-ubah. Tradisi yang dipandang terhormat dalam suatu masa atau tempat, tidak selalu terhormat untuk masa atau tempat yang lain. Sebab itu, kita melihat wlayah-wilayah kaum muslim tidak mengkhitankan kaum perempuannya, seperti negara-negara Teluk Arabia dan semua negara bagian utara Afrika”.
Pandangan Syeikh al Qardhawi ini makin jelas menunjukkan kepada kita bahwa khitan perempuan adalah tradisi belaka, bukan ketentuan agama, yang sifatnya kondisional dan kontekstual. Jadi, khitan perempuan bukan praktik yang tetap dan universal.
Baca juga:
Tafsir Alquran 2: Pandangan para Ahli Fiqh
[1] Al-Asqallani, Fath al Bari fi Syarh al Bukhari, juz XI, h. 530
[2] Fiqh al Sunnah, Juz I, h. 36
[3] Al-Syawkani, Nail al Awthar, I, h. 138