Oleh: Faqihuddin Abdul Kodir
Majlis Fatwa Mesir pada sekitar bulan Juni-Juli 2007 sesungguhnya sudah mengeluarkan fatwa haram bagi khitan perempuan. Fatwa ini didasarkan pada keburukan (dharar) yang diakibatkan dari praktik khitan yang selama ini dilakukan masyarakat. Sementara dalam kaidah fiqh Islam dinyatakan, segala bentuk kerusakan dan keburukan harus dihapuskan (la dharara wa la dhirar). Dalam pandangan Majlis Fatwa ini, khitan perempuan bukan termasuk persoalan ibadah atau agama. Tapi persoalan tradisi dan adat kebiasaan manusia, sehingga bisa dilarang karena kepastian medis atas keburukan praktik tersebut.
Fatwa ini menuai protes dari beberapa ulama yang berbasis Salafi-Wahabi. Fatwa ini dianggap sebagai kecerobohan dan mencederai syari’ah Islam. Menurut beberapa ulama tersebut, berbagai teks hadis telah membolehkan dan tidak melarang khitan perempuan sama sekali. Bagi mereka sesuatu yang dibolehkan dan tidak dilarang Nabi saw. tidak bisa dilarang siapapun, termasuk ulama Mesir atau al-Azhar. Persoalan khitan perempuan adalah persoalan syari’ah atau agama, yang tidak bisa dicampuri urusan manusia. Apalagi khitan juga terbukti bermanfaat bagi penangkalan HIV-AIDS. Sayangnya, khitan yang dicontohkan untuk penangkalan HIV-AIDS adalah khitan laki-laki bukan khitan perempuan.[1]
Logika yang sama, juga digunakan Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam membahas persoalan khitan perempuan. Ketua MUI Bidang Remaja dan Perempuan, Prof. Dr. Chuzaimah Y. Tanggo, ketika mengomentari larangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan himbauan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) untuk tidak mengkhitan perempuan, menganggap mereka telah mencampuri urusan agama yang bukan wewenang manusia sama sekali.[2] Dalam rubrik Tanya Jawab Agama, MUI pun hanya menghimbau untuk tidak berlebihan dalam hal mengkhitan perempuan. Dalam rubrik tersebut, MUI menegaskan khitan perempuan sebagai syari’ah, di mana salah satu manfaatnya adalah mengurangi nafsu birahi perempuan.[3] MUI sepertinya enggan untuk memastikan pelarangan khitan perempuan, tidak sebagaimana ketegasan pengharaman yang difatwakan Majlis Fatwa Mesir dan ulama-ulama al-Azhar, Kairo.
Bacaan terhadap beberapa teks hadis di bawah ini, mungkin bisa memperjelas sejauh mana ijtihad manusia memasuki persoalan khitan perempuan. Sebagaimana dalam kajian fiqh hadis, tidak semua perbuatan atau yang ditetapkan Nabi saw. diputuskan sebagai ibadah atau syari’ah. Ada hal-hal dari perbuatan Nabi saw. yang dianggap syari’ah dan ada hal-hal yang dianggap sebagai perbuatan keseharian manusia. Apalagi jika teks-teks hadis mengenai hal tertentu, justru masih dipersoalkan berbagai kalangan ulama seperti pada teks hadis mengenai khitan perempuan.
Sumber Teks Hadis Khitan Perempuan
Seperti dilaporkan Imam Ibn al-Atsir (Abu Sa’adat Mubarak bin Muhammad. W 606H/1210M), kitab-kitab hadis utama, atau yang disebut dengan kitab enam (kutub as-sittah), tidak meriwayatkan teks-teks hadis mengenai khitan perempuan kecuali Sunan Abu Dawud (Sulayman bin al-As’ats as-Sijistani, W. 275H/889M). Imam Abu Dawud sendiri menyatakan, teks hadis mengenai khitan perempuan tersebut adalah lemah (dha’if). Hadis yang dimaksud adalah teks yang dikenal dengan riwayat Umm ‘Athiyyah.[4]
Dari Umm ‘Athiyah ra. berkata, “Bahwa ada seorang perempuan juru khitan para perempuan Madinah. Rasullah saw. bersabda kepadanya, “Jangan berlebihan, karena hal itu adalah bagian (kenikmatan) perempuan dan kecintaan suami”. Dalam suatu riwayat Nabi saw. bersabda, “Potong ujung saja dan jangan berlebihan, karena hal itu penyeri wajah dan bagian (kenikmatan) suami”.[5]
Imam Ibn Hajar al-‘Asqallani (Ahmad bin ‘Ali bin Hajar, W. 852H/1422M) menyebutkan beberapa perawi lain terhadap teks Umm ‘Athiyyah dalam kitab-kitab hadis selain kitab Sunan Abu Dawud. Yaitu kitab-kitab hadis yang ditulis Imam al-Hakim (Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdillah an-Naisaburi, W. 405H/1014M), al-Bayhaqi (Ahmad bin Husayn, W. 458H/1066M), dan ath-Thabrani (Abu al-Qasim Sulayman bin Ahmad, W. 360H/971M). Ada lagi, kitab hadis yang ditulis Abu Na’im (Ahmad bin ‘Abdillah al-Ishfihani, W. 430H/1038M) dan al-Bazzar (Ahmad bin ‘Amru bin ‘Abd al-Khaliq, W. 292H/905M). Dalam riwayat al-Bazzar, redaksinya berbeda. Yaitu, bahwa Nabi saw. bersabda kepada perempuan-perempuan Anshar, “Berkhitanlah sedikit saja, jangan berlebihan, karena bagian itu (bisa menyenangkan) suami kalian”.[6]
Ibn Hajar sendiri sepertinya tidak puas dengan semua riwayat mengenai khitan perempuan dalam kitab-kitab hadis tersebut. Di setiap riwayat yang disampaikan, Ibn Hajar selalu mengakhiri dengan komentar para ulama hadis yang bernada miring; ada riwayat yang dianggap bermasalah (ma’lul), ada yang dianggap lemah (dha’if) dan ada yang perawinya dianggap tidak dikenal (munkar). Bahkan Ibn Hajar mengakhiri pembahasan riwayat-riwayat hadis mengenai khitan perempuan dengan pernyataan Ibn al-Mundzir, bahwa tidak ada satupun teks hadis yang bisa menjadi rujukan dan tidak bisa diikuti.[7]
Teks hadis lain mengenai khitan perempuan, adalah sabda Nabi saw., “Bahwa khitan itu sunnah bagi laki-laki dan mulia bagi perempuan”. Teks hadis ini diriwayatkan Imam Ahmad (Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani, W. 241H/855M) dan Imam al-Baihaqi.[8] Tapi kedua riwayat ini, sebagaimana dinyatakan Ibn Hajar al-‘Asqallani, adalah lemah (dha’if).[9]
Komentar-komentar yang melemahkan teks-teks hadis mengenai khitan perempuan, juga bisa ditemukan dalam kitab Nayl al-Awthar min Ahadits Sayyid al-Akhbar, karangan Imam asy-Syawkani (Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad, W. 1250H/1834M). Kemungkinan Imam asy-Syawkani hanya mengutip dari Imam Ibn Hajar al-‘Asqallani yang sudah lebih dulu menyatakan demikian. Tapi setidaknya, Imam asy-Syawkani menyetujui teks-teks hadis khitan perempuan memiliki banyak masalah. Dari ulama kontemporer yang menegaskan hal ini adalah Syekh Sayyid Sabiq, penulis ensklipodi Fiqh al-Sunnah yang terkenal di kalangan masyarakat dunia Islam. Dinyatakan dalam kitab tersebut bahwa, “Semua hadis yang berkaitan dengan perintah khitan perempuan adalah dla’if (lemah), tidak ada satupun yang sahih”.[10]
Atas komentar-komentar ulama pada teks hadis ini, Syekh Muhammad Syaltut (W. 1963), guru besar Universitas al-Azhar dan ulama terhormat pada awal abad dua puluh di Mesir, dengan tegas menyatakan, khitan perempuan bukan termasuk agama atau syari’ah. Pernyataan ini disampaikan jauh hari sebelum keputusan Majlis Fatwa Mesir bahwa khitan perempuan memang tidak masuk katagori ritual maupun syari’ah. Khitan perempuan lebih tepat dikatagorikan sebagai tradisi dan kebiasaan manusia. Sehingga ijtihad kemanusiaan lebih leluasa memasuki hal tersebut.
Baca Juga:
Dirasah Hadis 2: Ijtihad Pelarangan Khitan Perempuan
Dirasah Hadis 3: Strategi Budaya
[1] Baca: http://v.3bir.com/46561/
[2] Baca: http://www.surya.co.id/web/Headline/PBB_Larang_Sunat_Wanita.html
[3] Baca: http://www.mui.or.id/mui_in/konsultasi.php?id=7
[4] Lihat: Ibn al-Atsir, Jami’ al-Ushul, juz V, h. 348, no. Hadis: 2936
[5] Sunan Abu Dawud, kitab al-Adab, no. hadis: 5271, juz IV, h. 368
[6] Lihat: Ibn Hajar, Talkhish al-Habir, th. 1964, juz IV, h. 83
[7] Lihat: Ibn Hajar, Talkhish al-Habir, th. 1964, juz IV, h. 83
[8] Musnad Ahmad, juz: V, hal. 75, no. Hadis: 20738 dan Sunan al-Baihaqi, juz: VIII, hal. 325, no. Hadis: 17344
[9] Lihat: Ibn Hajar, Talkhish al-Habir, th. 1964, juz IV, h. 82
[10] Sabiq, Fiqh al-Sunnah, th. 1987, juz I, h. 26