Nia Sjarifuddin, di dunia aktivis ia telah banyak mengenyam asam dan garam. Semenjak bertemu aktivis Taty Krisnawati jelang Deklarasi Beijing 1995, Ibu dari Omar Rolihlala Hakim (9) dan Putri Malahayati Hangkalea Zakia Burgiba (4) ini, mengaku mulai punya perhatian pada isu perempuan. Saat itu ia bergabung dengan Solidaritas Perempuan, lalu Gerakan Pemberdayaan Suara Perempuan (GPSP), dan Gerakan Perempuan Peduli Indonesia (GPPI). Istri dari Bambang Widopramono, mantan aktivis pemuda dan mahasiswa di Surabaya ini, kini menjadi Koordinator Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI). ANBTI adalah lembaga jaringan yang lahir karena keprihatinan atas rasa nasionalisme dan kemajemukan yang mulai terkikis, dan mengancam keberagaman masyarakat Indonesia. Oleh karena itu berlangsunglah pertemuan konsolidasi nasional Bhineka Tunggal Ika tahun 2006 di Surabaya Jawa Timur. Saat itu RAHIMA dan ratusan lembaga swadaya masyarakat lainnya juga bergabung dalam pertemuan ini. Beberapa waktu lalu jelang disahkannya UU Pornografi (30 Oktober 2008), Swara Rahima mewawancarai Nia Sjarifuddin terkait tema Kemajemukan dan Realitas Perempuan. Bagaimana opininya? Berikut petikannya.
Bagaimana Anda memaknai kemajemukan?
Kemajemukan itu realitas kehidupan, di Indonesia dan seluruh dunia. Kemajemukan ini bisa kita sebut sebagai keberagaman, mulai dari warna kulit yang berbeda, bahasa, suku, bangsa, ras, bahkan politik, dan sebagainya.
Kemajemukan itu kodrat kehidupan. Sebagai sebuah negara yang dibangun dengan susah payah melepaskan diri dari penjajahan, tanpa sadar kita telah dianugerahi kemajemukan yang luar biasa. Mulai dari Sabang sampai Merauke, ada berapa jenis warna kulit yang berbeda? Berapa ribu suku anak bangsa? Berapa bahasa yang berbeda, dari mulai logat sampai strata bahasanya? Tapi kita tetap mengatakan Indonesia. Itulah kemajemukan yang jadi realitas hidup bangsa ini.
Bagaimana kemajemukan dalam realitas hidup perempuan?
Perempuan itu sendiri adalah bagian dari kemajemukan. Sebab perbedaan jenis kelamin itu hal yang ragam pula. Perempuan juga memiliki bahasa yang berbeda-beda, warna kulit yang beda, dan sebagainya. Majemuk itu kan lebih dari satu. Itu artinya soal jenis kelamin perempuan yang berbeda dengan laki-laki juga jadi bagian dari kemajemukan.
Apa persoalan yang dihadapi perempuan dalam kemajemukan ini?
Persoalannya adalah problem politik yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Sejak lahir perempuan sudah mengalami diskriminasi. Mereka dilarang bicara soal ras, dilarang keluar malam, dilarang bergaul dengan bebas, dan lainnya. Hal itu membuat peluang perempuan berada di publik lebih kecil dibanding lelaki. Artinya peluang berorganisasi dan memiliki pengalaman politik yang luas lebih sedikit dimiliki perempuan.
Namun demikian, kalau melihat pengalaman tentang konflik permasalahan bangsa yang bermunculan, tampak perempuan-lah yang paling banyak berinisiatif segera menyelesaikan persoalan dengan damai. Misalnya saja konflik di Ambon dan Poso. Ketika situasi konflik terjadi, perempuan-lah yang lebih punya inisiatif berdamai. Sebab, pertama, perempuan bukan pihak pencetus konflik; Kedua, perempuan yang paling merasakan jadi korban konflik itu. Sehingga contoh bahwa perempuan di sana lebih berinisiatif mendamaikan konflik ini bisa jadi cermin, sebenarnya perempuan punya keberanian berpendapat dan bersuara.
Bisakah konsep kemajemukan jadi titik temu mencapai keadilan bagi perempuan?
Tergantung perempuan dan orang lain memandang diri perempuan dan lingkungannya yang sangat beragam. Saya pribadi memandang diri berbeda dengan orang lain. Tapi kembali pada saya dan orang di sekitar saya, bagaimana melihat perbedaan itu? Seperti perbedaan warna kulit, bentuk tubuh, bahasa, ras, dan lainnya. Apakah saya dan orang-orang itu akan melawan kodrat Tuhan yang menjadikan diri saya berbeda? Kalau saya tidak akan melawan kodrat yang diberikan pada saya dan seluruh lingkungan saya. Sebab begitu melawan, itu artinya kita berkonflik dengan diri sendiri, orang lain, dan alam sekitar.
Bagaimana seharusnya perempuan bersikap dalam kemajemukan ini?
Kalau saya sebagai manusia berusaha sadar dan memahami kemajemukan adalah realitas dalam kehidupan saya, keluarga, rumah tangga, dan juga bangsa. Di sana ada kemajemukan, people to people, bangsa dengan bangsa, dan seharusnya-lah kita berusaha menempatkan diri sebaik mungkin. Tentunya sebagai bagian dari kemajemukan supaya terhindar konflik dan pergesekan yang tidak perlu. Kalau kita peduli perdamaian, tentu kita tidak akan melawan kemajemukan.
Terkait Rancangan Undang-undang Pornografi (RUU Pornografi), bagaimana kemajemukan perempuan dimaknai?
Dari isi RUU ini tampak jelas tubuh perempuan dipersalahkan. Seolah perempuan adalah sumber adanya kejahatan pornografi dan pornoaksi. Sebetulnya RUU Pornografi ini awalnya disebut RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Di masa Presiden Habibi tahun 1999, RUU APP sempat ditolak. Masa Presiden Gus Dur rancangan itu juga ditolak. Tapi masa Presiden Megawati, RUU itu dibahas kembali. Dari awal kelompok perempuan selalu kritis menyikapinya.
Ternyata tahun 2006, RUU APP muncul lagi tanpa proses prolegnas (program legislasi nasional) yang sewajarnya. Kita melihat, mengapa rancangan undang-undang ini tidak dibahas sesuai jalur-jalur yang harus dilalui? Ini seolah menunjukkan adanya satu kepentingan tertentu yang dibawa ke legislatif lalu dibiarkan Panitia Khusus (Pansus) membahasnya, walau undang-undang itu bukan prioritas prolegnas. Oleh sebab itu kelompok perempuan tetap merasa penting menolakan RUU tersebut. Sebab, pertama RUU itu tidak asing bagi mereka karena telah dibahas berkali-kali sejak tahun ’99; kedua, rancangan yang baru ini tetap mendiskriminasi perempuan; ketiga, rancangan ini berbahaya bagi kebudayaan yang majemuk di Indonesia.
Secara spesifik, apa kaitannya dengan realitas kemajemukan perempuan?
Hal itu bertentangan dengan realitas kemajemukan perempuan. Sebab di dalam RUU ini jelas sekali ada sebuah paham yang tampak dipaksakan, dan tidak mencerminkan penghargaan atas kemajemukan. Misalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan pernyataan – saya masih ingat betul tanggal 13 Maret 2006 di Kompas Cyber – bahwa RUU ini penting terutama untuk persoalan adat budaya. Ketika itu MUI menyinggung pakaian adat yang tidak menutup aurat menurut paham ulama muslim. Menurut MUI pakaian-pakaian adat Indonesia itu dimuseumkan saja. Komentar ini menandakan RUU tersebut sangat terkontaminasi paham kelompok muslim. Tapi persoalannya muslim yang mana?
Sebetulnya, adanya perda-perda bernuansa agama juga sama mengkhawatirkannya bagi kemajemukan perempuan Indonesia. Misalnya perda bernuansa syari’ah Islam yang mewajibkan perempuan berbaju muslim; berjilbab; wajib bisa baca tulis Alquran; tidak boleh keluar malam; atau wajib ini dan itu yang alasanya berdasarkan moral dan pendidikan. Tapi ternyata hal itu berpotensi membuat diskriminasi bagi perempuan yang beragama lain. Lalu untuk mengimbanginya, muncul sebagai respon Ranperda (Rancangan Peraturan Daerah) Kota Injil di Kabupaten Manokwari. Di sana misalnya, orang Islam tidak boleh adzan sembarangan; tidak bisa berpakaian muslim, dan sebagainya. Kalau kondisinya seperti ini, besar kemungkinan nilai toleransi dan penghargaan atas perbedaan yang termaktub dalam ideologi Pancasila akan tergeser dengan sendirinya.
Bagaimana mengakhiri kondisi yang tidak menguntungkan ini, khususnya bagi perempuan?
Sebetulnya perda-perda itu muncul untuk mengekang perempuan. Sebab kewajiban menjalankan isi perda-perda itu lebih banyak dibebankan pada perempuan. Perempuan harus menggunakan identitas baju muslim dan sebagainya. Kemudian pertanyaannya adalah: Begitu pentingkah identitas agama melalui berpakaian? Kalau saya pribadi tidak setuju kalau jilbab dilarang, tapi saya juga tidak setuju kalau jilbab dipaksakan.
Bagaimana dengan realitas kelompok perempuan yang sepakat dan yang menolak peraturan itu diterapkan?
Menurut saya persoalannya bukan pada pro dan kontra. Dalam kehidupan bernegara kita memiliki konstitusi. Kalau kita mau membuat undang-undang seharusnya konstitusi itu-lah yang harus diikuti. Tampaknya dalam konstitusi, kita tidak pernah sadar negara kita adalah negara yang memisahkan agama dari persoalan publik. Urusan agama telah dikembalikan pada individu dan institusi agama, bukan pada hukum positif. Kalau sampai jadi hukum positif, itu bisa jadi pemaksaan, karena undang-undang berlaku bagi semua orang tanpa memperhatikan kebutuhan dan hak asasinya. Seharusnya kita konsisten pada kesepakatan awal konstitusi yang menjamin hak-hak asasi individu, termasuk hak kebebasan beragama dan menjalankannya.
Inilah menurut saya, sebetulnya konteks budaya patriarki sangat bahaya, karena budaya ini telah mempengaruhi dan jadi dogma-dogma di masyarakat. Kemudian perempuan yang lebih banyak diatur dan dibebani kewajiban-kewajiban. Tampaknya pemahaman keadilan gender itu belum jadi sebuah itikad baik dari semua pelaksana negara, sekalipun konvensi CEDAW dan proyeksi pembangunan pengarus-utamaan gender sudah ada. Itu baru sebatas di atas kertas. Belum jadi implementasi yang dilaksanakan bersama dan jadi pemahaman yang benar.
Tampaknya realitas perempuan yang terbagi dalam kelompok pro dan kontra, ini juga memiliki implikasi. Apa pendapat Anda?
Kita menyadari hal itu, termasuk tentang pro-kontra RUU Pornografi. Memang ada kelompok perempuan yang kadang didorong seolah-olah jadi ada kubu antara kelompok yang satu dengan lainnya. Sebab masih banyak orang yang bingung menentukan identitas dirinya sebagai perempuan di tengah dogma agama yang terkontaminasi budaya patriarki.
Ada baiknya jika kita membaca lagi bagaimana Rasulullah saw. tidak tabu, ketika istri pertamanya adalah perempuan luar biasa. Siti Khadijah adalah perempuan yang tidak dibatasi oleh hal-hal yang mengekang. Sebab ia adalah pengusaha; perempuan yang berkiprah di masyarakat; mapan dan sebagainya. Namun itu dianggap biasa oleh Nabi. Itu artinya tiap-tiap agama tidak ada diskriminasi terhadap perempuan, hanya penafsirannya yang berbeda-beda.
Bicara kemajemukan, apa latar belakang berdirinya ANBTI, adakah kaitannya dengan realitas kemajemukan perempuan?
ANBTI lahir dari kesepakatan hasil pertemuan konsolidasi nasional Bhineka Tunggal Ika, 22-25 Juni 2006 di Surabaya, Jawa Timur. Pertemuan ini dihadiri 300 orang lebih perwakilan dari 225 lembaga dan individu dari seluruh Indonesia. Ini sebagai respon keprihatinan masyarakat sipil atas kebijakan-kebijakan inkonstitusional yang menyalahi kontrak politik konstitusi kita dan mengancam realitas keberagaman masyarakat Indonesia. Kaitannya dengan perempuan, kebijakan-kebijakan itu mengancam kemajemukan perempuan. Selain itu, kebijakan semacam RUU Pornografi berpotensi konflik yang mengakibatkan perempuan dan anak menjadi kelompok utama yang rentan sebagai korban. Belum lagi dalam kebijakan-kebijakan tersebut posisi perempuan selalu dijadikan obyek untuk dimarjinalkan.
Bagaimana sebetulnya potensi menyimpang RUU Pornografi yang dikhawatirkan mendiskriminasi perempuan?
Dengan rancangan perundangan tersebut kemajemukan perempuan tidak diakui. Mereka lagi-lagi dijadikan korban, diatur dan dibebani berbagai kewajiban yang mengabaikan hak-haknya sebagai perempuannya. Tampaknya kita harus cerdas belajar dari peristiwa Ambon, Poso, dan di manapun ketika ada konflik agama yang muncul. Sudah cukup korban jiwa dan trauma yang belum sembuh. Kini saatnya memikirkan bagaimana kehidupan yang beragam ini bisa berjalan harmonis.
Bukankah setiap agama punya nilai-nilai yang baik dan universal? Ini harus kita kembangkan supaya kita bisa hidup dengan menghargai orang lain. Menghargai pendapat orang lain, bukan dengan memaksakan menjadi eksklusif. Seseorang dengan agama tertentu tidak boleh jadi merasa eksklusif, merasa lebih baik dari orang lain, lalu merasa berhak merubah orang lain berdasarkan keyakinannya.
Lalu bagaimana sebaiknya RUU Pornografi ini?
Seharusnya tidak perlu ada RUU Pornografi yang mendiskriminasi perempuan atau kelompok-kelompok minoritas. Tidak boleh ada pemaksaan ideologi tertentu selain ideologi negara, baik secara implementasi maupun de jure atau defacto. Sebab kalau kita dipaksa memiliki ideologi agama tertentu maka tidak akan ada lagi Indonesia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, mengakui lima agama dan keyakinan.
Untuk perempuan, apa yang diupayakan ANBTI sendiri agar bisa keluar dari masalah ini?
Kita, khususnya yang mendeklarasikan ANBTI bersama kawan-kawan perempuan bertekad melawan situasi ini, tentunya tidak dengan cara-cara kekerasan. Kita berusaha berargumentasi dengan kondisi realitas kehidupan bangsa ini yang majemuk dan heterogen. Kita akan mengingatkan kembali bahwa kita punya konstitusi yang harus dihormati. Bagi kawan-kawan perempuan sendiri yang penting kita meyakini tidak ada lagi ideologi yang menyatukan bangsa kecuali Pancasila. Tidak saja sebagai ideologi, Pancasila dan konstitusi ’45 adalah warisan yang harus dihormati, dan itu jadi harga mati untuk bangsa ini.
Terkait masalah ini, bagaimana sebaiknya penyelenggara negara bersikap?
Negara tidak boleh mencampur persoalan kebijakan-kebijakan publik dengan agama. Persoalan relijiusitas harus dihormati sebagai privasi seseorang yang tidak bisa diganggu orang lain. Negara wajib melindungi, tapi tidak boleh mencampurnya dengan kebijakan publik yang berlaku bagi seluruh bangsa yang majemuk ini.
Apa pesan Anda pada penyelenggara negara untuk kemajemukan perempuan?
Pada pelaksana negara secara sadar saya ingin menyampaikan fakta kemajemukan bangsa ini tidak usah dilawan. Bagaimana pun UUD ’45 meski selalu ada penyempurnaan melalui amandemen, janganlah dijadikan tameng untuk mengusik kemajemukan baik agama, budaya maupun lainnya. Pancasila dan UUD adalah titipan yang luar biasa dari Tuhan. Jangan sampai anak-cucu kita hanya akan mendengar kisah tentang negara Indonesia.
Hal terpenting kini bagaimana kita bisa mempertahankan Bhineka Tunggal Ika. Sebab kesepakatan politik yang paling baik dan bisa diikuti bangsa dari Sabang sampai Merauke hanyalah UUD ’45. Kalaupun ada penyempurnaan itu bagian dari upaya melindungi dan memenuhi kebutuhan masyarakat, bukan untuk melarang atau membatasi privasi mereka.
Usia 63 tahun merdeka, telah matang untuk berefleksi. Mari kita berpikir saja bagaimana pengangguran bisa diatasi? bagaimana Sumber Daya Alam (SDA) yang banyak dieksploitasi bisa dikelola dengan baik untuk kepentingan masyarakat sebagaimana pasal 33 UUD ’45? Sebagai masyarakat kita harus punya kesadaran, demikian juga pelaksana negara, mereka harus berkesadaran tinggi memikirkan rakyatnya. UUD ’45 harus dijalankan dengan amanah. Dan perempuan harus ikut mendorong situasi ini jadi lebih baik.
Terkait dengan kemajemukan?
Sudah saatnya bangsa ini berefleksi. Masyarakat harus berpikir kembali bagaimana menghargai diri sendiri melalui penghargaan atas orang lain, alam dan kemajemukan. Sebab kekuatan terbesar bangsa ini memang kemajemukannya, bukan dari persamaannya. Perbedaan itu yang membuat indah sekaligus tantangan yang harus dipelihara dengan baik. Sebetulnya tidak ada problem dalam suatu perbedaan. Anak-anak saja di rumah kecil kita, mereka berbeda, mengapa harus pusing dengan perbedaan.
Bagaimana cara berefleksi yang manjur itu?
Saya pribadi, ada peta Indonesia di rumah, dengan begitu saya bisa berefleksi. Setiap hari yang terpikir ketika melihat peta adalah jangan sampai peta itu terpecah-belah. Tidak boleh ada negara Sunda atau negara Sumatera, itu saja. [ ] Hafidzoh Almawaliy