Oleh: Agus Khotibul  Umam

Tak seperti di Pasundan atau di Jawa, karakter pesantren di Banten sangat berbeda.  Terutama bila dilihat dari keberadaan kyai dan pesantren itu sendiri. Kyai Banten tampaknya kurang perhatian terhadap pengkaderan penerusnya. Sehingga ketika sang kyai wafat, pesantren yang dibangunnya juga ikut lenyap. Rupanya, sang kyai jarang mendamba anak dan santrinya untuk menggantikan posisinya. Apalagi pesantren tradisional di Banten tak memiliki banyak santri, sehingga tidak begitu menekankan kuantitas, namun lebih pada kualitas.

Selain itu, para Kyai pesantren tradisional di Banten ini sering dianggap menutup diri dengan arus perkembangan informasi. Sebab khawatir, kehadiran teknologi akan meruntuhkan nilai-nilai yang sejak dulu ditanamkan di pesantren. Benarkah demikian?

Benih An-Nizhomiyyah         

Di tahun 1930, pada mulanya adalah cita-cita luhur seorang kyai bernama Yusuf Syamaun. Cita-cita itu tentang membentuk masyarakat yang memiliki ilmu agama, ketakwaan dan keimanan kepada Allah swt., dan bisa memberi manfaat bagi yang lainnya, sebagaimana ditetuahkan Nabi saw. Perlahan, cita-cita itu diwujudkan di tanah sempit berukuran kurang lebih 800 meter di Kampung Jaha, Desa Sukamaju Kecamatan Labuan, Pandeglang – Banten.

Di tanah itu lalu dibangunlah beberapa kamar tidur kecil dari anyaman kobong (bambu-red) berukuran 3×3 meter, yang diisi tiga atau empat orang. Para santri yang mengisi kamar-kamar kecil itu berasal dari berbagai daerah sekitar Banten dan Lampung. Tak jauh dari tempat itu, dibangun masjid berukuran sederhana sebagai tempat santri-santri melakukan aktivitas rutin, seperti pengajian dan sorogan kitab kuning. Dengan penuh kesabaran dan ketekunan, sang kyai mengerahkan segala kemampuan dan isi pengetahuannya.

Pesantren itu tak bernama, sebab bagi sang pendiri, nama atau sebutan tidaklah terlalu penting. Kesuksesan dan kemajuan santri-santri dalam meraih ilmu adalah hal yang paling diutamakan sang kyai. Dan sang kyai membuktikannya. Beberapa santri yang diasuhnya menyebar di sekitar Banten dan melanjutkan cita-citanya.

Sepeninggal sang kyai, aktivitas di pesantren perlahan tak berjalan. Satu persatu santri yang mukim meninggalkan pesantren. Kondisi itulah yang memotivasi putri sang kyai, Hj. Siti Masitoh untuk meneruskan jejak sang ayah mengelola pesantren bersama suaminya KH. Asnawi Sodiq. Dalam perjalanannya, mereka lebih fokus pada pendidikan formal hingga membangun sekolah Madrasah Wajib Belajar (MWB). Itulah cikal bakal madrasah yang kini berdiri kokoh di sekitar pesantren.

Bangkitnya An-Nizhomiyyah

Tahun 1963, KH. TB. Rafe’i Ali, menantu Hj. Siti Masitoh, melanjutkan pengelolaan pesantren. Ia berupaya membangun kembali apa yang telah dirintis pendahulunya. Kemudian ia memberi nama pesantren itu Pondok Pesantren An-Nizhomiyyah. Nama ini diadopsi karena kekagumannya pada salah satu madrasah di Baghdad, Nizamiyyah yang didirikan Wazir Nizam al-Mulk. Di mana salah satu filsuf besar Islam, Al-Ghazali ra. pernah belajar di sana dan menjadi guru besar (1090) di madrasah itu.

Tak seperti di pesantren modern dan tradisional kini, PP. An-Nizhomiyyah tidak menganut model manajemen sistem. Pesantren ini tidak ada struktur kepemimpinan yang pasti. Tak ada ceritanya, kyai merasa dirinya sebagai pemilik dan penguasa pesantren. Kyai hanya menjadi pendamping dan pembimbing santri-santri, dan meminta mereka mengatur diri sendiri serta turut bertanggung jawab pada pesantren yang ditempatinya.

Sampai sekarang, ada dua aktivitas rutin yang dijalankan di PP. An-Nizhomiyyah. Pertama, aktivitas pengajian untuk para santri. Pengajian setelah shalat Ashar ini membahas kitab-kitab dasar seperti Jurumiyyah, Awamil, Imrithi, Matan Bina, dan Kailani, yang dibimbing para ustadz dan ustadzah. Setelah shalat Isya’ santri-santri juga belajar kitab-kitab lain, seperti Alfiyah, Fathul Muin, dan Jalalain, yang dipimpin langsung oleh pimpinan pesantren. Setiap Kamis malam diadakan pula muhadorohan, sebuah ajang bagi santri meningkatkan kemampuan orasi/pidato.

Kedua, aktivitas pengajian untuk umum. Pengajian ini dilaksanakan setiap malam Jumat. Pengajian mingguan ini dihadiri masyarakat sekitar dan luar pesantren. Biasanya yang dikaji kitab tasawuf seperti Minhajul Abidin karangan Al-Ghazali dan Tafsir Munir karangan Imam Nawawi. Selain membahas kitab tersebut, kyai yang memandu pengajian pun membahas persoalan-persoalan yang tengah dialami masyarakat.

***

Sejalan dengan tuntutan perubahan, KH. TB Rafe’i Ali bersama saudaranya H. Saifuddin Asnawi bersama-sama mendirikan madrasah yang sudah dirintis pendahulunya. Pada tahun 1964, di pesantren ini berdiri Madrasah Ibtidaiyyah, yang kini siswanya berjumlah 135 anak. Lalu tahun 1965 didirikan Madrasah Tsanawiyah, dan sekarang siswanya 376 anak. Menyusul tahun 1975 didirikan Madrasah Aliyah, dengan 220 siswa. Tahun 2000 berdiri Taman Kanak-kanak dengan siswa 75 anak. Madrasah tersebut, kesemuanya berada dalam naungan Yayasan Syekh Yusuf Syamaun. Tahun 2002 di pesantren ini juga pernah berdiri sekolah tinggi Islam, tapi pada perjalanannya ia kandas di tengah jalan.

An-Nizhomiyyah kini juga mengembangkan pendidikan dan ekonomi masyarakat melalui lembaga Banten Learning Center (BLC). Lembaga ini beberapa kali mengadakan seminar bertema pendidikan dan pelatihan komputer untuk masyarakat. Setiap malam Minggu, lembaga ini mengadakan pemutaran film edukatif untuk santri dan masyarakat, seperti Denias, Narnia, Freedom Writers, Ron Clark Story, dan Laskar Pelangi. Selain itu, juga mengadakan diskusi tentang pendidikan, ekonomi, politik, dan kemasyarakatan satu minggu sekali, yang diikuti santri-santri, mahasiswa, dan guru-guru di lingkungan pesantren. Di luar itu, lembaga ini pun mengembangkan unit usaha santri dan masyarakat

Seiring perkembangan teknologi dan informasi, pesantren ini dipercaya oleh International Center for Islam and Pluralism (ICIP) menjalankan program Open Distance dan E-learning (ODEL). Program ini selain untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pendidikan, juga menjembatani hubungan antara pesantren dan masyarakat. Dalam program ini, pesantren mengadakan pendidikan gratis (setara paket B dan C) bagi masyarakat yang tidak mampu dan tidak berkesempatan melanjutkan sekolah formal. Kini, dengan program ODEL, santri dan masyarakat memperoleh banyak manfaat lagi tentang teknologi dan internet.

An-Nizhomiyyah kini selalu menjalin kerjasama dengan berbagai kalangan. Selain pernah menjadi tuan rumah kegiatan “Live in Pemuda Lintas Iman”, pesantren inipun mendapat kunjungan 15 calon pastur dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Tiap usai Idul Fitri, pesantren ini selalu dikunjungi salah satu ordo Katholik. Ini menunjukkan, pesantren ini sangat membuka pintu kepada siapapun, termasuk kepada umat non-Muslim.

An-Nizhomiyyah ini juga seringkali menjadi tempat pengaduan bagi perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Sebab kyai di sini turut pula menekankan pentingnya menghormati hak-hak kaum perempuan. Tidak ada pemisahan kelas maupun pengajian di sini. Mereka senantiasa menumbuhkan iklim diskusi di kalangan santri-santri baik lelaki maupun perempuan. Meski telah menghasilkan ribuan alumni, PP. An-Nizhomiyyah hingga kini masih terus berbenah diri. []

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here