Kamis 13 Agustus 2008 lalu, Rahima kedatangan 3 orang tamu manca negara. Mereka adalah Beena Sarwar (jurnalis dan aktivis hak-hak perempuan dari Pakistan), Najiba Ayubi (penulis, jurnalis, dan direktur The Killid Group/TKG Afghanistan), dan Prof. Dr. Asghar Ali Engineer (intelektual muslim India). Kedatangan mereka di Indonesia atas undangan Asia Calling Forum atau pengelelola program radio Asia Calling, Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), dan Kantor Berita Radio (KBR) 68H. Untuk menyambut kehadiran mereka, Rahima menyelenggarakan sebuah forum diskusi bertema ”Women Human Rights in Muslim Countries: Problem and Challenges” (Hak-hak Perempuan di Negeri Muslim: Problem dan Tantangan).

Acara ini dibuka dengan sambutan singkat Direktur Rahima, Aditiana Dewi Eridani dan sedikit perayaan kecil ulang tahun Rahima ke-8. Menurut Dani, ini adalah hari ulang tahun yang istimewa karena dirayakan dengan sebuah diskusi bersama para narasumber dari Asia Selatan.

Dalam pemaparannya, Beena menuturkan persoalan perempuan yang terjadi di  negerinya, Pakistan. Negeri yang dipenuhi perempuan bercadar dan pemakai burqa itu sebenarnya negeri plural. Penduduknya terdiri dari beragam etnis dan suku bangsa, serta bahasa. Kini, banyak perempuan yang bekerja sebagai dokter, guru, bahkan pilot dari maskapai penerbangan komersial.

Di Pakistan, menurut Beena masih ada kasus “nikah nama” (kawin lari) yang menjadi alasan praktik honour killing (pembunuhan atas alasan merusak kehormatan keluarga). Namun, di Lahore satu wilayah yang dikenal banyak menerapkan hukum rajam, juga telah memberi ruang bagi perempuan untuk menjadi polisi lalu lintas. Di sana, perempuan mengendari motor adalah hal biasa. Seorang aktivis hak perempuan bernama Asma Jahanggir, juga telah berupaya untuk menggunakan olahraga lari maraton sebagai ajang meraih hak perempuan di ruang publik.

Sementara Najiba Ayubi, dalam pemaparannya menyampaikan, di Afghanistan pelanggaran hak-hak perempuan yang terjadi pada masa Taliban telah membuka mata dunia akan situasi perempuan di sana. Selama ini, perempuan mengalami situasi yang buruk. Mereka buta huruf dan tidak mendapatkan kesempatan belajar. Untuk bisa keluar rumah dan belajar, mereka mendapatkan tantangan yang keras dari sisi keamanan. Ini terjadi karena situasi perang, baik pada masa pendudukan mujahidin Afghan maupun tentara Amerika Serikat. Selain itu, kehadiran pasukan dari negeri muslim lainnya seperti Iran dan Timur Tengah, turut mengobarkan kebencian dengan melontarkan tuduhan tengah terjadi pem-barat-an termasuk melalui pendidikan.

Asghar Ali sendiri, yang menulis buku Women’s Rights in Islam, dalam diskusi ini  menjelaskan tentang konsep hak-hak perempuan dalam Islam. Menurutnya, kebanyakan isu-isu tentang perempuan dalam Alquran lebih banyak dilihat dari kacamata “hak”. Tapi dalam masyarakat justru berkembang sebaliknya. Setiap kasus perlu dilihat konteksnya. Misalnya, bagaimana kita memaknai kata “ziinat” (perhiasan) dalam isu menutup aurat? Islam juga melihat hak seksualitas dalam membahas hak perempuan. Dalam hal menyusui bayi misalnya, tidak dilihat sebagai kewajiban karena dikembalikan pada kesediaan si Ibu. Bila si Ibu tidak bersedia, suamilah yang diminta mencarikan ibu susuan untuk anaknya.

Tampaknya masih banyak isu lain yang menarik dibahas dalam diskusi ini. Para peserta pun tampak antusias. Namun, karena singkatnya waktu, “dialog antarnegara” ini telah diakhiri menjelang senja tiba. (AD. Kusumaningtyas)

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here