Judul Buku : Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis, dan NU
Penulis : M. Muhsin Jamil, Musahadi, Choirul Anwar, Abdul Kholiq
Penerbit : Fahmina Institute
Tahun Terbit : Maret 2008
Jumlah Halaman : 504 halaman
Oleh: Ahmad Dicky Sofyan
Dalam sejarah Nusantara, Organisasi Masyarakat (Ormas) memiliki peran aktif dalam menghimpun kekuatan massa sekaligus melakukan pendidikan umat yang diharapkan akan memperjuangkan prinsip Ormas tersebut. Tanpa keberadaannya, sulit mengatakan Islam di Indonesia bisa berkembang seperti sekarang ini.
Buku ini menyebut empat Ormas yang menjadi Objek penelitian; Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis, dan NU. Pemilihan keempat Ormas ini sebagai Ormas keagamaan yang dinilai berpengaruh terhadap perkembangan keislaman di Indonesia dilandasi beberapa hal.
Pertama, Ormas-ormas ini memiliki akar Jama’ah yang sangat kuat hingga ke akar rumput yang secara sosiologis berbeda antar satu dengan yang lainnya. Kedua, mereka memiliki rasion d’etre (alasan rasional) sendiri atas kehadirannya di Indonesia. Ketiga, organisasi-organisasi ini telah memiliki aset dan infrastruktur hingga ke tingkat pedesaan dan bahkan lebih kecil dari itu. Keempat, ini merupakan hal terpenting, mereka menggunakan “nalar” yang berbeda satu sama lain dalam memahami sumber ajaran Islam, Alquran dan Hadis.
Konsekuensi logis dari banyaknya Ormas di Indonesia adalah keragaman pemikiran keislaman Nusantara. Keragaman ini mengindikasikan kuatnya kecenderungan pemikiran keislaman yang tidak monolitik. Dengan diwakili Ormas yang ada, Islam Nusantara mencoba meretas zaman dalam menghadapi gejolak dan perkembangan sosial-politik negeri ini. Bahkan, keseragaman berpikir dalam satu Ormas nyaris tidak ditemukan.
Sebut saja NU, sebagai Ormas keagamaan terbesar di dunia, pemikirannya terbentang dari konservatif hingga liberal. Muhammadiyah-pun demikian, organisasi ini kini tidak lagi representasi salah satu sayap pemikiran Islam yang lain, Islam Modernis. Dalam buku ini setidaknya ada empat varian yang meliputi Muhammadiyah. Keempat varian dalam sosiologi Muhammadiyah itu biasa diidentifikasi dengan Muhammadiyah ‘puritan’, Muhammadiyah toleran, Muhammadiyah NU, dan Muhammadiyah abangan.
Al-Irsyad dan Persis memiliki pengalaman yang berbeda. Sekalipun di awal perkembangannya kedua organisasi ini mengalami pergerakan pemikiran keislaman yang signifikan, namun beberapa tahun belakangan kedua Ormas ini mengalami stagnasi pemikiran. Keduanya masih berkonsentrasi pada pengembangan institusi pendidikan dengan tetap mempertahankan purifikasi lama.
Secara gamblang buku ini mencoba membuktikan, dari sekian banyak keragaman yang ada semuanya tidak lepas dari landasan epistemologis yang sama, Alquran dan Hadis. Kesimpulan yang berbeda antar Ormas merupakan bagian dari ijtihad dan pergulatan organisasi-organisasi tersebut dengan realitas sosial, ekonomi, politik, budaya, dan keagamaan di Indonesia. Tentunya dengan dibatasi ruang-waktu dan juga bergantung pada siapa yang membawa lokomotif pemikiran dalam Ormas tersebut. Tidak mengherankan jika sebuah Ormas bisa bersikap lunak terhadap satu masalah dan juga bisa sebaliknya.
Nalar Perempuan Islam Nusantara, di mana?
Sayangnya, buku ini tidak banyak bercerita tentang Nalar Perempuan Islam yang ada dalam pemikiran ormas-ormas besar Nusantara. Padahal, seluruh ormas keagamaan Indonesia yang tersebut dalam buku ini memiliki sayap organisasi ke-perempuan-an.
Sebut saja Muslimat dan Fatayat yang lahir dari rahim NU, begitu pula Aisyiah dan Nasyiatul Aisyiah dari Muhammadiyah. Sementara al-Irsyad dalam struktur ke-organisasiannya memiliki Majlis Wanita dan Putri. Demikian juga dengan Persis yang memiliki struktur organisasi ke-perempuan-an.
Peran perempuan sesungguhnya sangat mewarnai pola pikir dan perkembangan nalar sebuah ormas keagamaan di Indonesia. Paling tidak, isu tentang “nasib” perempuan (kalau tidak peran perempuan itu sendiri) tetap menjadi “bola panas” yang kapanpun bisa menimbulkan konflik internal dalam organisasi.
Ketika bercerita tentang kelahiran al-Irsyad buku ini mencatat, isu tentang “nasib” perempuan telah menimbulkan perpecahan di dalam tubuh Jami’at al-Khoir yang pada gilirannya melahirkan barisan oposan dengan mendirikan al-Irsyad.
Berawal dari sebuah diskusi tentang nasib perempuan Arab keturunan Nabi Muhammad (Syarifah) yang menikah dengan lelaki pribumi yang kemudian menimbulkan polemik antara keturunan ‘alawiyyin. Mereka yang membolehkan menegaskan, kafa’ah (kesepadanan dalam menikah) hanya bagian tradisi Arab bukan Islam, yang tidak memiliki landasan epistemologisnya dalam Alquran dan Hadis. Sementara yang mewajibkan kafa’ah, sebaliknya.
Buku ini juga bercerita tentang respon NU terhadap isu kesetaraan jender. Namun, sayangnya argumentasi yang digunakan NU dan juga Ormas Islam lainnya dalam membahas isu ini hanya berputar pada keniscayaan perkembangan masyarakat dan tuntutan demokratisasi di berbagai bidang, sekaligus memberikan penghargaan yang proporsional terhadap prestasi perempuan.
Dalam penilaian para penulis buku, kajian Ormas Islam terhadap isu kesetaraan gender hanya sampai pada pendekatan (pencarian) teks yang berwawasan jender, dengan tanpa mendamaikan ayat-ayat “juxta posisi” (ayat yang berlawanan). Dengan membandingkan langkah yang telah dilakukan Mahmoud Taha, Fazlur Rahman, dan Asghar Ali Engginer, buku ini mencoba menawarkan pendekatan lain untuk menyelesaikan atau menyiasati ayat-ayat yang ambigu dan paradoks.
Kesimpulan
Bagi pemerhati kesetaraan laki-laki dan perempuan, buku ini laik dibaca sekalipun isinya miskin tentang isu gender yang notabene dihadapi semua sayap organisasi perempuan di Indonesia. Paling tidak dengan membaca buku ini, pembaca dapat memetakan geneologi keilmuan yang menjadi landasan perjuangan Ormas perempuan Indonesia melalui corak pemikiran yang dibawa oleh induk semang-nya (baca: organisasi induk).
Harapannya, di kemudian hari penelitian ini secara khusus berusaha memotret fenomena gerakan Ormas sayap perempuan dalam meramaikan bursa Nalar Islam Nusantara. Atau bisa saja secara ekslusif akan terbit “Nalar Islam Perempuan Nusantara”. Semoga.