Istilah NGO (Non Goverment Organization) atau Ornop (organisasi non pemerintah) sebenarnya telah dikenal masyarakat Indonesia sejak 1970-an. Istilah ini mengacu pada organisasi-organisasi yang mandiri (baca: tidak bergantung kepada pemerintah), baik dalam pendanaan maupun program. Saat itu, NGO lebih berkonsentrasi “hanya” pada bidang sosial. Pemerintah, kemudian melabelkannya dengan istilah baru, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), dengan maksud agar dapat mengkooptasi mereka.
NGO semakin berkembang pada medio 80-an. Kegiatannya pun melebar ke berbagai bidang. Meskipun demikian ciri kemandirian NGO tetap melekat. Dengan kemandiriannya, NGO dapat bersikap kritis tidak hanya pada program tapi juga kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Tak jarang, NGO dianggap sebagai pihak lawan (oposisi) pemerintah. Hal ini menyebabkan hubungan antara GO (pemerintah) dengan NGO menjadi kurang harmonis.
Secara umum, tujuan didirikannya NGO untuk mendidik masyarakat sipil berpikir kritis. Untuk itu, bersama para pemangku kepentingannya, dibuatlah program yang disesuaikan dengan visi, misi dan rencana strategis masing-masing NGO. Pendanaan program NGO, biasanya berasal dari penyandang dana (funding agency), yang kebanyakan berasal dari luar negeri. Dalam konteks ini, tentu saja ada kelebihan dan kekurangannya.
Di antara kelebihannya, NGO mempunyai keleluasaan dalam menentukan program. Kekurangnya, ada batas waktu dan tentu saja jumlah dana. Yang lain, ada kalanya penyandang dana memiliki agenda sendiri, sehingga bila sebuah NGO tidak konsisten pada visi, misi dan rencana strategis yang telah disusunnya, kemungkinan besar akan mengikuti agenda si penyandang dana. Untuk kasus seperti ini, isu miring kerap muncul, “NGO dianggap sebagai agen asing”.
Untuk menyiasatinya, beberapa NGO kemudian mengembangkan bisnis. Sebut saja Bina Swadaya (BS), yang sukses melebarkan bisnis ke berbagai sektor pada awal 1990-an. Bisnis percetakan, agrikultural dan penyewaan arena pelatihan dirambahnya. Semuanya meraih sukses. Kesuksesan tersebut bukanlah tanpa kritik: karena asyik berbisnis dikuatirkan BS akan melupakan perannya untuk melakukan pendidikan kritis kepada masyarakat sipil yang selama ini ditekuninya. Hingga kini kritik itu tidak pernah terbukti. BS tetap konsisten melakukan pemisahan yang ketat pada dua bidang tersebut, dan keduanya sukses.
Kiat sukses BS, mulai diikuti oleh NGO lain. Sebut saja Yayasan Pekerti, NGO yang menekuni pendidikan kritis kepada perajin-perajin lokal di Indonesia. Sementara NGO yang konsisten dengan “prinsip murni” nya semacam LP3ES, ternyata harus berkali-kali jatuh bangun untuk tetap dapat menjalankan program-programnya.
Belajar dari cerita di atas, Ford Foundation (FF) kemudian menggandeng ICOMP (International Council on Management of Pupolation Programmes), lembaga konsultan yang berbasis di negeri Jiran merancang program yang diberi judul “Investing Sustainability” (IS). Delapan mitra FF, termasuk Rahima, menjadi peserta program yang berlangsung sejak April 2006 hingga Oktober 2008 ini. Tujuannya, meningkatkan kapasitas kedelapan mitra FF dalam 4 hal: kelangsungan hidup organisasi, keefektifan program, jaminan keuangan dan kelanggengan dari dampak program.
Dalam kerangka itu, dirancanglah program yang disebut Bussiness Plan (BP) yang dibuat berdasarkan pilihan masing-masing lembaga mitra menyangkut “produk yang hendak dijual”. Rahima misalnya, “menjual” kursus Keluarga Sakinah yang ditujukan bagi dua kelompok, Calon Pengantin dan Pasangan Muda. Masing-masing kursus membahas 4 tema dengan menghadirkan narasumber yang ahli di bidangnya.
Dengan demikian, pernyataan AD Kusumaningtyas dalam presentasinya mewakili Rahima pada Penutupan Program IS ini tampaknya sangat pas,“…untuk kepentingan sustainability, tak ada salahnya NGO melakukanlah bisnis. Tetapi jangan berlaku seperti pebisnis”. (dani)
Similar Posts:
- 20 Tahun Rahima, Ulama Perempuan untuk Kemaslahatan Manusia & Keselamatan Alam
- Disabilitas: Apresiasi untuk yang “Berbeda”
- Debbie Affianty: Femininitas dan Maskulinitas dalam Tindak Terorisme (Part II)
- Jilbab: antara Kebebasan dan Pengekangan
- Pendidikan Literasi Keuangan Digital Inklusi (LKDI) Bagi Ulama Perempuan