April 2008. Perempuan harus menggunakan pakaian bergembok di tempat kerja untuk menghindari pelanggaran. ”Kunci gembok itu mengunci ruisluiting sebelah kiri atas celana. Dengan kunci itu ruisluiting yang memanjang sekitar 10 cm itu akan sulit dibuka tangan jahil para tamu”.[i] Demikian isi berita yang menghiasi media-media.

Tak dipungkiri, perempuan masih menjadi obyek stereotip yang kuat di tengah masyarakat. Sehingga menurut sebagian orang perempuan harus diawasi dan dibelenggu hak-hak asasinya sedemikian rupa. Ini sungguh memprihatinkan. Ketika dalam situasi kemiskinan, perempuan yang paling sedikit mendapat kesempatan untuk memperoleh pangan, pemeliharaan kesehatan, pendidikan dan pelatihan-pelatihan, mereka masih pula direbut haknya untuk memperoleh kesempatan kerja yang leluasa tanpa sak-wasangka. Karena tak jarang mereka dituduh sebagai penyebab kerusakan moral di tempat kerja tertentu, sehingga diharuskan menggunakan pakaian lengkap dengan ’gembok pengaman’. Tidakkah itu dapat menyakiti badan, menyinggung hak dan martabat kemanusiaannya sebagai makhluk Tuhan yang diutamakan?

Tampaknya, perempuan masih sering dipinggirkan dan diperlakukan diskriminatif oleh anak-anak peradaban yang dilahirkannya. Banyak contoh atas kenyaataan pahit ini. Salah satunya, terbitnya peraturan-peraturan tentang larangan perempuan keluar malam, pemaksaan tata cara berpakaian, hingga pemberlakuan aturan pakaian bergembok bagi perempuan di Batu, Malang, Jawa Timur.

Peraturan-peraturan yang dibuat dengan mengabaikan aspirasi perempuan itu bergulir di sejumlah kawasan propinsi seperti Banten (tepatnya Kota Tangerang) dan Jawa Barat (Cianjur, Garut, dan Tasikmalaya).[ii] Di daerah Padang, Sumatera Barat ada peraturan wajib berpakaian muslim dengan ketentuan tertentu bagi pelajar dari tingkat SD (Sekolah Dasar) sampai SMA (Sekolah Menengah Atas) sejak 2005 lalu.[iii] Semula, larangan bagi perempuan keluar malam terdapat pula dalam rancangan perda tersebut. Namun direvisi karena menuai protes akibat begitu kentalnya nuansa ketidakadilan terhadap perempuan. Peraturan sejenis diberlakukan juga di Bulukumba, Sulawesi Selatan dan di sejumlah kawasan lainnya.

Protes terhadap peraturan yang diskriminatif tersebut juga terjadi di daerah lain. Di Aceh misalnya, perempuan yang tergabung dalam Dupakat Inong Aceh pernah menggelar forum publik untuk menggugat aturan-aturan yang melemahkan posisi perempuan dalam peraturan daerah.[iv] Ini sungguh upaya membela hak yang memeras otak dan keringat perempuan.

Realitas Diskriminasi itu Masih Ada

Pelanggaran HAM dalam bentuk pemaksaan kehendak, berpikir, dan penyiksaan fisik terhadap perempuan ternyata masih banyak terjadi. Sebut saja bride kidnaping atau penculikan (calon pengantin) perempuan, masih terjadi di Kyrgyztan dan Turkmenistan, wilayah pecahan bekas Soviet. Dalam praktiknya, lelaki beserta keluarganya menculik perempuan yang hendak dinikahi. Perempuan tersebut dibawa secara paksa ke rumah keluarga lelaki, hingga berhari-hari sampai menyerahkan diri dan bersedia dinikahi lelaki itu. Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, peristiwa sejenis dikenal dengan istilah “merarik”.

Meski berbeda modus, kekerasan dalam bentuk ‘nikah paksa’ menimpa pula komunitas Muslim di Inggris. Korbannya tidak hanya perempuan tetapi juga laki-laki. Namun mereka berinisiatif melakukan perlawanan dengan membentuk organisasi Muslim Arbitration Tribunal (MAT) sejak tahun 2007. Anggota MAT adalah pemuda-pemudi Muslim yang mengahadapi problem kawin paksa. Menurut data MAT, lebih dari 70 persen pernikahan di kalangan Muslim Inggris yang pasangannya orang asing, terjadi karena faktor pernikahan paksa dalam keluarga.[v]

Untuk kasus nikah paksa, di Indonesia terjadi dengan nuansa berbeda. Anak-anak perempuan Pulau Buru, dalam tradisi, harus pasrah dipinang dalam usia belia. Terkadang, itu terjadi kala mereka masih berusia enam tahun, atau bahkan saat masih dalam kandungan. Mereka dipinang oleh lelaki dewasa yang sedang mencari istri. Ketika pinangan sudah dilakukan, sang anak dilarang bersekolah dan kadang juga dilarang bergaul dengan kawan sebaya, seakan tidak boleh mengenal dunia luar. Mereka menyebutnya sebagai “kawin piara”. Anak-anak perempuan itu akan dipelihara sampai dianggap telah siap untuk menjadi ibu dan mengurus rumah tangga.[vi]

Selain pelanggaran hak dasar perempuan untuk memilih pasangan dan menentukan kehidupan, praktik ritual servitude (upacara perbudakan) yang dialami oleh anak-anak perempuan yang beranjak remaja juga terjadi di Ghana, Afrika.[vii] Kemudian tindakan honour killing (pembunuhan atas alasan merusak kehormatan keluarga) maupun bride burning (membakar istri hidup-hidup), juga masih dipraktikkan di Pakistan, Afganistan, dan India. Dalam praktiknya, honour killing merupakan hukuman mati bagi perempuan yang diberikan oleh keluarganya sendiri, karena dianggap mencemarkan nama baik keluarga. Pencemaran nama baik yang dimaksud adalah karena perempuan menolak perjodohan, atau meminta cerai (meskipun dari suami yang kasar), atau karena menjadi korban kejahatan seksual, dan melakukan perzinaan. UNICEF (United Nations Emergency Children’s Fund) mencatat, di India 5.000 perempuan dibunuh setiap tahun karena alasan ini.

Kasus lain yang terjadi adalah female genital mutilation (FGM) atau perusakan dan pemotongan organ intim perempuan di mana sebagian atau seluruh bagian eksternal organ dipotong tanpa alasan yang jelas, termasuk medis. Di Indonesia praktik ini disebut “sunat perempuan”, meskipun sebagian hanya dilakukan secara simbolik. Praktik yang dilakukan karena alasan budaya atau interpretasi ajaran agama ini banyak terjadi di benua Afrika. Praktik semacam ini sesungguhnya berdampak pada berkurang atau hilangnya hak-hak reproduksi perempuan, khususnya hak untuk menikmati hubungan seksual. Secara psikologis juga dapat menyisakan dampak seumur hidup, perempuan mengalami depresi, ketegangan, rasa rendah diri, dan tidak sempurna.[viii]

Selain itu, kasus yang merampas hak-hak dasar perempuan dan kemanusiaan adalah human trafficking (perdagangan atas manusia). Perdagangan manusia (kebanyakan perempuan dan anak-anak) terjadi di banyak negara, seperti Albania, Moldova, Rumania, Bulgaria, Rusia, Belarusia, dan Ukraina. Trafiking juga marak di Indonesia. Perempuan muda dan bahkan anak-anak diiming-imingi dipekerjakan di negara yang menawarkan gaji dan pekerjaan yang lebih baik, namun akhirnya dilacurkan. Diperkirakan 2/3 pelacuran yang terbesar di seluruh dunia berasal dari negara-negara tersebut.[ix]

Di negara-negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Kuwait, dan sebagainya, pelanggaran hak-hak dasar muncul dalam bentuk larangan bagi perempuan untuk mengambil kiprah di wilayah publik. Di Arab Saudi perempuan dilarang menyetir mobil sendiri. Mereka yang menentang aturan ditangkap dan dihukum, serta saudara lelaki yang menjadi walinya diperingatkan oleh negara.[x] Sedang perempuan di Kuwait, mereka tidak diberi hak mengikuti pemilihan umum. Tetapi karena perjuangan keras dengan berunjuk rasa dan turun ke jalan yang digulirkan terus-menerus, akhirnya hak politik itu diperolehnya. Melalui perjuangan itu mereka juga bisa menghadiri pertemuan parlemen, terutama saat pembahasan kebijakan yang terkait dengan perempuan.[xi]

 

Baca Juga:

Fokus 2: Sekilas tentang HAM dan HAP

Fokus 3: HAM dan HAP dalam Perspektif Islam

 

[i] http://www.kompas.com/read/xml/2008/04/05/07103135/tamu.nakal.meminta.servis.lebih. Dikutip Juli 2008

[ii] http://www.rahima.or.id/SR/11-04/Kiprah1.htm. Dalam Perempuan dan Syariat Islam, oleh Heny, 2004. Dikutip 19 Juni 2008

[iii] http://www.vhrmedia.net/home/index (Voice of Human Rights News Centre) Dalam Setahun Perda Syari’at di Padang, oleh Widya Siska, 2006.  Dikutip 16 Juni 2008

[iv] http://www.rahima.or.id/SR/02-01/Fokus.htm. Dalam Legislasi Syari’at Islam dan Aspirasi Perempuan, oleh Nevisra Viviani, 2001. Dikutip 19 Juni 2008

[v] http://www.eramuslim.com/berita/int. Dalam Muslim Inggris Menentang Tradisi Kawin Paksa. Dikutip 17 Juni 2008

[vi] http://www.sinarharapan.co.id/berita/0512/12/nas03.html. Dalam Belenggu Perempuan Buru dalam Kawin Piara, oleh Emmy Kuswandari. Dikutip 17 Juni 2008

[vii] http://id.wikipedia.org/wiki/Ghana. Dikutip 19 Juni 2008

[viii] http://64.203.71.11/ver1/Kesehatan. (Kompas Cyber Media). Ditulis Lily Zakiyah Munir (Aktivis Hak Perempuan dan Fellow pada Program Islam and Human Rights, Emory University, Atlanta) dalam Sunat Perempuan dan Pelanggaran Hak. Dikutip 1 Juli 2008

[ix] http://artikel-kesehatan-online.blogspot.com/2008/06. Dalam Penyiksaan Kaum Hawa Di Jaman Modern. Dikutip 17 Juni 2008

[x] http://www.eramuslim.com/berita. Dalam Perjuangan Perempuan Saudi Agar Dibolehkan Mengendarai Mobil Sendiri, pada Senin, 10 Maret 2008. Dikutip 17 Juni 2008

[xi] Suara Pembaruan, Politik, dalam Kaum Perempuan Kuwait Dapatkan Hak Politik Mereka, 22 Mei 2005. Dikutip 17 Juni 2008

 

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here