“Apakah keluarga sakinah hanya berlangsung di dunia saja?”, demikian salah satu pertanyaan yang muncul dalam Bedah Buku Keluarga Sakinah: Kesetaraan Relasi Suami Istri terbitan Rahima, di Kampus STIE Ahmad Dahlan Jakarta pada Hari Jum’at, 4 Juli 2008. Acara yang dihadiri sekitar 35 dosen dan karyawan kampus tersebut berlangsung dinamis, dengan diskusi hangat seputar prinsip, langkah, masalah-masalah dalam membangun keluarga sakinah.
Dalam paparannya, Nur Achmad salah satu penulis buku yang menjadi narasumber menyampaikan, keluarga sakinah adalah keluarga yang berkembang di dalamnya nilai-nilai kebaikan yang ada pada prinsip-prinsip agama Islam. Di antaranya prinsip saling mengasihi, menghormati, mengerti keunikan dan perbedaan yang dimiliki tiap pasangan dan semua yang ada di lingkungan keluarga. Prinsip itu dapat diwujudkan jika tiap pasangan mengembangkan nilai kesetaraan, keadilan, kejujuran, tanggungjawab, dan musyawarah dalam memutuskan sesuatu masalah. Masing-masing saling menghargai peran dan menghormati pasangan sebagai manusia yang utuh. Ini tidak berarti, suami atau istri sempurna tanpa cacat atau tidak punya kekurangan. Nur menambahkan bahwa manusia, siapapun ia, suami atau istri, tidak luput dari kekurangan. Justru dengan kekurangan itulah, setiap pasangan saling memberi dan melengkapi. Bukan sebaliknya, saling mengurangi dan akhirnya saling menghabisi.
Lebih lanjut narasumber menegaskan, Islam adalah agama rahmah (kasih sayang). Karenanya, keluarga sakinah pun harus berangkat dari, dan didorong menghidupkan sifat rahmah dalam keluarga. Menghidupkan sifat rahmah mulai dari diri sendiri (tiap pasangan) akan menjadi teladan bagi anggota keluarga yang lain. Jika sifat kasih sayang yang merupakan sifat utama Tuhan Yang Maha Rahman dan Rahim ini telah mentradisi, maka bibit-bibit kezaliman seperti sifat benci, ingin menyakiti, mendominasi, merendahkan martabat, dan melecehkan satu sama lain pasti akan musnah. Jika demikian halnya, ‘keluarga sakinah’ akan semakin dirasakan oleh setidaknya anggota keluarga.
Dalam kesempatan tersebut diungkapkan pula, maraknya tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah akibat dari terkikisnya sifat rahmah dari diri pelaku dan digantikan dengan sifat bughdu (membenci), zulmu (menindas), dan baghyu (melampaui batas, menjajah). Padahal banyak dalil menegaskan pentingnya melestarikan sifat kasih dalam diri orang beragama. “La yarhamullahu man la yarhamun-nas (Allah tidak mengasihi orang yang tidak mengasihi manusia). Karenanya, tidak bisa dipungkiri tindak kekerasan bertentangan dengan prinsip rahmah.
Ironisnya, berdasarkan data-data sejumlah lembaga, KDRT seringkali dilakukan oleh suami kepada istri dan anak-anaknya. Walaupun terkadang ada juga sebaliknya. Akarnya adalah budaya kelaki-lakian yang masih kuat. Laki-laki dianggap dan diperlakukan serba segala-galanya, sedang perempuan dipahami tidak utuh dan karenanya dianggap tak berarti. Ketidaksetaraan relasi ini menjadi penghambat dalam keluarga sakinah. Selain itu masih banyak ‘pemahaman’ keagamaan yang melegalkan berlangsungnya pemukulan atau kekerasan. Tentunya, kesalahpahaman ini perlu diluruskan dengan menegaskan bahwa agama hadir untuk menebarkan kasih sayang, rahmatan lil ‘alamin (QS. al-Anbiya’: 107).
Menjawab pertanyaan di awal, narasumber mengutip QS. Yaa Siin: Hum wa azwajuhum fi dzilalin ‘alal-ara’iki muttaki’un (Mereka dan pasangannya di dalam keteduhan surga, bersila di atas dipan-dipan). Berdasar ayat ini, keluarga sakinah yang telah berlangsung di dunia dapat terus berlangsung hingga di akhirat. Meski perjumpaan tersebut diselingi penantian di alam barzakh.
Untuk menemukan tips-tips menarik menuju keluarga sakinah dengan perspektif kesetaraan, narasumber mengajak para calon pengantin, pasangan keluarga muda, maupun pasangan yang telah lama menikah untuk membaca buku santai yang sarat info ini. Karenanya, buku mungil ini layak menjadi cindera mata pernikahan, seperti yang dilakukan pasangan Una dan Zen di Jakarta pada 22 Juni 2008 lalu. []