Oleh: Husein Muhammad
Tanggal 15 Mei 1998 adalah sejarah, bukan mitos, nestapa kaum perempuan Indonesia. Ia adalah sejarah tragedi kemanusiaan dalam kerusuhan sosial yang masif. Saya ingin menggambarkan peristiwa tersebut dalam tutur kata ini:
Beribu tubuh polos, luka memar sekujur dan penuh darah
Beribu rahim suci, terkoyak dan tercabik-cabik
Beribu nyawa bersih, terenggut dan meregang
Beribu hati remuk redam dan tanpa harapan
Karena tangan-tangan kotor fulan bin fulan.
Tubuh-tubuh yang nestapa itu berjenis kelamin perempuan dan kebanyakan berwarna kulit kuning langsat, bermata sipit, khas identitas Tionghoa. Maka penindasan manusia dalam tragedi itu merenggut dua katagori identitas sekaligus: jenis kelamin dan etnisitas. Mereka mengalami bukan hanya pelecehan seksual, melainkan juga perkosaan dengan cara-cara kekerasan dan brutal. Kekerasan jenis ini telah mencederai bukan hanya fisik atau seksual, tetapi juga menghancurkan harga diri dan melenyapkan harapan hidup para korban. Ini adalah bentuk perendahan terhadap martabat makhluk Tuhan yang mengerikan.
Peristiwa Mei 1998 di atas adalah pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia yang tidak akan bisa dan tidak boleh dilupakan oleh bangsa Indonesia, khususnya kaum perempuan. Peristiwa tersebut memperlihatkan dengan terang-benderang fenomena kebencian terhadap jenis kelamin perempuan, yang berabad-abad mengendap dalam pikiran dan otak kebudayaan patriarkhis. Ia adalah sebuah budaya yang mengunggulkan karakter laki-laki (maskulinitas) dan yang memberinya hak superioritas untuk mengendalikan dan mendefinisikan. Meski karakter ini bisa ada dalam setiap manusia, berjenis kelamin apa saja, akan tetapi budaya telah mematok karakter tersebut hanya ada pada manusia berjenis kelamin laki-laki. Jika kekerasan terhadap perempuan adalah produk budaya patriarkhi, maka sepanjang budaya ini masih terus tegak dan dipertahankan, kaum perempuan akan terus dan setiap saat dapat diperlakukan sebagai makhluk yang rendah, kelas dua, liyan, obyek, dan inferior. Dalam waktu yang sama, kekerasan demi kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi kapan saja, di ruang mana saja, dan dalam situasi apa saja, ketika kerusuhan maupun ketika damai.
Adalah sebuah ironi, jika fenomena kekerasan tersebut lahir di bumi manusia, konon, dengan tingkat religiusitas yang tinggi, ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, dan bangsa dengan jumlah populasi muslim paling besar di dunia. Padahal agama apapun pasti menentang dan Tuhan tidak “ridha” terhadap segala bentuk penindasan terhadap siapapun.
Islam dan Hak Asasi Perempuan
Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana rumusan yang disepakati bangsa-bangsa di dunia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri setiap orang sejak ia dilahirkan. Hak ini merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Karena sifatnya yang demikian, maka hak tersebut bersifat universal, dimiliki siapa saja, tidak peduli latarbelakang apapun. Hak-hak ini tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh siapapun, kecuali oleh Tuhan. Pada tanggal 10 Desember 1948, Hak Asasi Manusia dideklarasikan PBB dan kemudian disebut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). DUHAM adalah puncak perjuangan manusia sedunia berabad-abad untuk menghentikan perang dan penindasan manusia atas manusia.
Sepanjang yang dapat diketahui, dalam khazanah klasik Islam (al Turats al Islamy), kita tidak menemukan misalnya kalimat: al Huquq al Insaniyyah al Asasiyyah. Hari ini di dunia Arab-Islam ia disebut “al I’lan al ‘Alamy li Huquq al Insan”. Istilah “al ‘alamiyyah” (universal), menurut Abid al Jabiri, mengandung makna bahwa hak-hak tersebut ada dan berlaku bagi semua orang di mana saja, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan, berkulit putih atau hitam, kaya atau miskin. Ia tak terpengaruh oleh kebudayaan dan peradaban di mana saja (la yuats-tsir fiha ikhtilaf al tsaqafat wa al hadharat), melintasi batas-batas ruang dan waktu (ta’lu ‘ala al zaman wa al tarikh). Ia adalah hak bagi setiap manusia karena dia adalah manusia (‘ala al Insan ayyan kana wa anna kana).[1]
Meskipun dalam khazanah Islam klasik tidak ditemukan tema khusus tentang HAM, namun apa yang kita temukan di dalamnya adalah teks-teks suci yang secara substantif dan eksplisit menunjukkan prinsip-prinsip dan norma-norma yang sejalan dengan Hak Asasi Manusia tersebut. Dari sumber Islam paling otoritatif, Alquran, kita menemukan begitu banyak ayat yang menjelaskan tentang eksistensi manusia, tentang kebebasan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap manusia. Hal yang sama juga disebutkan dalam hadis-hadis Nabi Muhammad saw.
Jika kita perhatikan pasal-pasal pada HAM Universal, maka ada dua hal saja yang paling mendasar dan menjadi akar utama dari HAM tersebut, yakni kesetaraan (al musawah) dan kebebasan (al hurriyyah) manusia. Dari dua prinsip dasar ini kemudian dilahirkan sejumlah prinsip yang lain, misalnya prinsip penghormatan dan perlindungan kepada martabat manusia, prinsip partisipasi, dan lain-lain.
Baca Juga:
Tafsir Alquran 2: Kesetaraan Manusia
Tafsir Alquran 3: Hak Asasi Perempuan dalam Deklarasi Kairo
[1] Mohammad Abid al Jabiri, al Dimuqrathiyyah wa Huquq al Insan, Beirut: Markaz Dirasat al Wahdah al Arabiyyah, cet. ke-2, 1997, h. 145-146.