Oleh : Leli Nurohmah

Kebiasaan mengenakan jilbab oleh perempuan ternyata dapat ditemukan dalam berbagai tempat maupun agama. Dalam beberapa literatur disebutkan, pada masyarakat Mesir kuno telah ditemukan berbagai bukti bahwa perempuan di sana mengenakan penutup kepala dan muka. Hal ini dapat juga ditemukan di wilayah Yunani sampai Persia. Dalam Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan, Fadwa El Guindi menyatakan jilbab telah ada pada kalangan perempuan Yahudi sejak periode sebelum Kristen hingga periode modern. Gambaran tersebut menunjukkan jilbab sebenarnya tidak selalu identik dengan Islam, ini lebih dekat kaitannya dengan tradisi dan budaya Timur Tengah.

Amina Wadud, seorang profesor ternama dari Virginia Commonwealth University memiliki pandangan tersendiri mengenai jilbab dalam masyarakat muslim. Ia sebenarnya dikenal sebagai penulis “Qur’an and Woman”. Pamornya semakin meningkat pada saat kontroversi mengenai dirinya mengemuka. Hal ini terjadi saat ia mengimami shalat Jum’at pada tanggal 18 Maret 2005 di Amerika Serikat.

Dalam pandangan Wadud, jilbab atau menutup kepala merupakan persoalan partikular (khusus) yang menjadi ciri kuat dalam masyarakat Islam. Ciri ini seolah sudah dianggap sebagai dasar kebenaran, di mana jilbab dipandang sebagai manifestasi seseorang akan kesopanan dalam masyarakat. Pandangan ini menjadikan jilbab pakaian seragam yang digunakan sebagai simbol dan identitas bagi seorang muslim. Menurut Wadud, dalam waktu yang bersamaan jilbab juga telah membatasi pengembangan identitas perempuan. Dalam hal ini Wadud menyayangkan, walaupun telah jelas bahwa jilbab berimplikasi pada pembatasan perempuan, namun tak ada satupun yang mengakui hal ini sebagai sesuatu yang tidak tepat bahkan keliru.

Oleh karenanya Wadud berpandangan bahwa kesopanan dalam Islam melalui hijab harus diartikan secara umum. Sebenarnya intisari dari pemikiran mengenai jilbab adalah bentuk kesopanannya, bukan dimaknai bahwa kesopanan sama dengan hijab atau harus berjilbab. Ia menegaskan hijab sendiri bukanlah tingkatan terbaik dari konsep kesopanan. Karena menurutnya berbicara jilbab dan hijab erat kaitannya dengan identitas pribadi dan kepentingan agama. Walaupun dapat ditemui ada juga orang yang mengenakan jilbab sebagai identitas pribadi karena kepentingan pribadinya semata tanpa ada kaitannya dengan keberagamaannya.

Lebih lanjut perempuan yang juga mengenakan jilbab sebagai identitasnya ini, mengatakan persoalan jilbab itu terlihat seperti paradoks. Di satu sisi jilbab seringkali dianggap sebagai pembatasan dan penekanan, sementara di sisi lain jilbab dianggap sebagai bentuk pembebasan. Menurutnya, jilbab dapat dianggap sebagai penindasan bagi perempuan apabila ada seseorang ataupun sekelompok perempuan yang secara kolektif dalam masyarakat tertentu tidak memiliki hak untuk melakukan pilihan. Perempuan harus memanifestasikan bentuk keislamannya dengan mengenakan jilbab. Mereka akan dianggap bukan Islam jika tidak mengenakan pakaian tersebut. Penekanan ini tidak saja dilakukan dari luar dirinya tapi terinternalisasi dalam diri perempuan itu sendiri. Setiap orang termasuk perempuan, memiliki pandangan wajib mengenakan pakaian tertentu untuk menjadi seorang muslim. Sementara penekanan dari luar adalah ketika negara atau sekelompok masyarakat menekankan penggunaan jilbab untuk menunjukkan keislaman.

Pandangan Wadud mengenai kesopanan pun cukup menarik. Ia berpandangan bahwa kesopanan adalah sesuatu yang sangat interpretable dalam suatu waktu, dan terus berubah seiring waktu. Namun demikian, menurutnya secara umum prinsip-prinsip mengenai kesopanan telah tertuang dalam Alquran. Ia menegaskan ada banyak cara lain untuk menunjukkan simbol keislaman seseorang. Maka menurutnya mengambil pilihan yang partikular ini atau menolaknya, keduanya merupakan pilihan yang baik. Walaupun akan sangat sulit bagi muslim untuk menerima pemikiran tersebut. Karena secara umum ide mengenai reformasi identitas pun sedang mengalami pertentangan.

Wadud menjelaskan realitas dalam masyarakat Turki sebagai sesuatu yang berbeda. Menurutnya situasi Turki sangat kompleks dan besar. Dalam kehidupan masyarakatnya, mengenakan jilbab merupakan sesuatu yang istimewa. Di tengah gerakan masyarakat modern yang sangat kuat antara tahun 1930-an ‘40-an dan ‘50-an, perempuan di pedesaan masih tetap memakai jilbab. Namun tingginya urbanisasi dan kebudayaan baru juga sistem ekonomi pada masyarakat, telah mempengaruhi cara orang berpakaian. Sehingga modernisasi pada masa itu akhirnya masuk pula ke pedesaan.

Di sisi lain gerakan untuk kembali pada Islam di Turki juga mempengaruhi isu jilbab di sana. Saat ini masyarakat, negara, serta pemerintahannya menganut sistem sekularisme sebagai basis identitas mereka. Maka bagi perempuan muslim di sana mengenakan jilbab merupakan sebuah simbol perlawanan terhadap pemerintahan bahwa mereka tidak membutuhkan sekularisme.

Analisis Wadud mengenai konteks jilbab dalam masyarakat Iran juga berbeda. Ia mengatakan situasi di Iran saat ini sangat berbeda dan dinamis. Termasuk dalam persoalan simbolisasi. Banyak masyarakat yang mengenakan simbol-simbol keislamannya. Selama revolusi Iran terjadi, perempuan memilih bercadar sebagai cara untuk menunjukkan penolakannya terhadap sekularisme. Oleh karenanya ketika jilbab digunakan sebagai bentuk perlawanan ide sekularisasi, hal ini menjadi perbincangan yang istimewa masyarakat Islam di Iran. Apapun yang terjadi, perempuan Iran pada saat itu memang memilih untuk berjilbab karena idealisme. Dalam perjalanan selanjutnya pemerintahan Iran menetapkan jilbab sebagai kewajiban seluruh perempuan sehingga mereka tidak memiliki pilihan atas jilbab. Namun demikian ada juga perempuan yang tetap mengenakannya karena menemukan bahwa revolusi Iran telah membawa banyak perubahan bagi mereka untuk mendapatkan hak-haknya. Hal itu mengantarkan mereka memperoleh kesempatan di wilayah publik, di mana pikiran dan kehadirannya dapat diterima di berbagai forum.

Bagi Wadud hal ini menunjukkan, persoalan jilbab bukan persoalan yang mudah karena ada banyak persoalan dan kompleksitas masalah yang melatarbelakangi mengapa orang memilih berjilbab atau tidak. Pesan yang ingin disampaikan Amina Wadud tampaknya bisa dijadikan acuan, bahwa kita tidak bisa menggeneralisasi persoalan hanya dalam satu pandangan semata. Ada banyak kompleksitas yang harus dilihat mengenai persoalan jilbab tersebut. Hal ini dapat kita refleksikan dalam konteks Indonesia dengan maraknya peraturan wajib jilbab sebagai bagian dari perda (peraturan daerah) untuk menunjukkan identitas keislaman masing-masing daerah. Sepertinya negara dan masyarakat Indonesia membutuh jiwa besar pada saat pembuatan aturan mengenai jilbab ini, untuk melihat secara jernih kompleksitas persoalan di masing-masing wilayah tanpa meninggalkan suara perempuan di dalamnya. Wallahu a’lam bish-shawa [ ]

 

Sumber Tulisan :

Fadwa El Guindi Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan. p. 42

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here