Masih ingat salah satu lirik lagu dari ADA Band yang berbunyi: karena wanita ingin dimengerti. Apakah benar perempuan hanya sekadar ingin dimengerti?
Suatu malam suami saya pulang dengan wajah suntuk. Dia mengatakan baru saja selesai mengikuti rapat redaksi mengenai evaluasi rubrik di kantornya. ”Lalu masalahnya apa, sampai wajahmu bete begitu?” tanya saya.
Ia lantas bercerita tentang perdebatan yang melibatkan dirinya dengan sebagian besar kawan-kawannya di rapat redaksi. Pasal yang didebatkan adalah soal penghapusan rubrik ”Tokoh Perempuan” yang selama ini diasuh suami saya.
”Aku enggak bisa paham jika alasan mereka adalah rubrik itu tidak ada gunanya dan hanya menghalangi pemuatan nara sumber laki-laki yang kualitasnya lebih baik dibanding para perempuan itu,” katanya sambil menghempaskan diri ke kursi.
Saya tercenung mendengar curahan hati suami saya. Jelas bagi saya, ketidaksadaran akan kesetaraan jenis kelamin ternyata tidak hidup di kalangan masyarakat biasa saja. Pemahaman itu ternyata masih menggejala pula di ranah pemikiran kalangan yang katanya intelek dan berpengetahuan seperti jurnalis. Tiba-tiba muncul pertanyaan dalam benak saya: kalau sebagian besar jurnalis – yang selama ini menjadi tumpuan harapan masyarakat dalam pemuasan informasi saja – mengalami bias kesetaraan jenis kelamin, bagaimana dengan masyarakat pembacanya.
Mendengar sekelumit cerita dari sang suami, saya semakin yakin bahwa mengakarnya pandangan ketidaksetaraan jenis kelamin dalam budaya kita tidak serta merta berjalan tiba-tiba. Ada sebab musabab yang menjadikan pandangan itu secara setia dianut masyarakat kita. Salah satunya adalah proses penafsiran agama dan tradisi adat istiadat yang berkelindan dengan kepentingan politik kaum patriarkhis.
Hal itu terlihat dalam peran dan aktifitas yang dijalankan perempuan dan laki-laki. Dan sikap seseorang – yang kadung terpola saat melaksanakan hak dan kewajiban yang disesuaikan dengan status pada kelompok ataupun masyarakat tertentu – pada situasi sosial yang khas akan menjadikan pandangan bias keseteraan jenis kelamin tersebut semakin prima.
Sengaja saya menyebut penafsiran agama, karena jujur saja sebagai orang yang beragama, saya mengimani bahwa semua agama pada dasarnya pro terhadap kemerdekaan dan kesetaraan. Hanya individu-individu dan golongan-golongan yang terlanjur meraup untung dari penindasan saja, yang mengabsahkan penindasan via perilaku bias jenis kelamin.
Sangat jelas bagi saya ketidaksetaraan adalah sebuah perilaku yang berlawanan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Perilaku tersebut bisa jadi merupakan saudara kembar dari sikap diskriminasi yang merupakan bentuk penolakan atas HAM dan kebebasan dasar. Dalam Pasal 1 butir 3 UU No. 39/1998 tentang HAM disebutkan pengertian diskriminasi adalah “Setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan sosial lainnya”.
Jadi bagi para perempuan, dimengerti saja tidak cukup. Harus ada sebuah tindakan praksis dari sikap pengertian tersebut. Dan itu hanya satu kata: kesetaraan! [ ] Yohana Fijriah