Terancam dikeluarkan dari universitas lantaran menentang peraturan perundangan larangan berjilbab bagi mahasiswa perempuan saat itu, dengan tetap memakai jilbabnya, adalah kisah pelanggaran hak dasar manusia dan hak-hak perempuan yang dialaminya. Pengalaman ini terjadi pada masa awal kiprahnya menjadi aktivis mahasiswa di Universitas Negeri Jember (UNEJ). Urung dikeluarkan, alumni Pesantren Persis Bangil, Jawa Timur yang mengambil studi S1 Fakultas Hukum ini menyabet predikat lulusan terbaik, tercepat dan termuda. Kini ia turut prihatin dengan kondisi sejumlah peraturan daerah yang ‘memaksa’ perempuan berjilbab, atau melarang mereka beraktivitas di malam hari. Ninik Rahayu, S.H., M.S., aktivis perempuan kelahiran Jember, 23 September 1963, adalah istri dari pengacara Arifin Jauhari. Ibu dari 3 orang putri ini yang menyelesaikan S2 Ilmu Hukum di Universitas Airlangga Surabaya, tadinya dosen di Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Jember (UMJ). Selama 18 tahun menjadi dosen, ia juga aktif di Pusat Studi Wanita (PSW). Tahun 2004 bersama rekan-rekannya ia sempat mendirikan lembaga perlindungan perempuan dan anak. Sekarang selain aktif sebagai konsultan hukum untuk penguatan kapasitas daerah dalam rangka melakukan inisiatif lokal, ia menjadi wakil ketua Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) periode 2007-2009. Pada 12 Mei 2008 Swara Rahima berbincang-bincang dengannya terkait tema Islam, Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hak Asasi Perempuan (HAP). Bagaimana wawancaranya, berikut petikannya.
Apa HAP itu, dan apa perbedaannya dengan HAM?
Menurut saya hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia, secara umum sama. Perbedaannya adalah pada hal-hal tertentu menyangkut kebutuhan-kebutuhan yang bersifat spesifik untuk perempuan yang harus diperhatikan supaya ada keadilan.
Apa kebutuhan yang bersifat spesifik itu? mengapa ada?
Kebutuhan spesifik itu terkait dengan fungsi-fungsi reproduksi, kesehatan reproduksi, dan hal-hal yang selama ini dipandang bias oleh masyarakat. Mengapa ada, karena perempuan memiliki kodrat tertentu yang tidak dimiliki oleh manusia lain (laki-laki). Misalnya perempuan harus menstruasi, mengandung, dan melahirkan. Kodrat inilah yang menjadi hak asasi bagi perempuan yang harus dilindungi, diperhatikan, dan ditegakkan.
Apa yang harus diperhatikan dalam penegakan HAP ini?
Dalam penegakan HAP harus memperhatikan hal-hal yang bersifat kultur yang selama ini membuat perempuan termarjinalisasi dan tersubordinasi. Sebab selama ini cenderung banyak hal yang bersifat kodrati, namun dipandang bias atau gender blind di dalam kehidupan masyarakat. Misalnya di bidang pendidikan, kebutuhan dasar kesehatan, infrastruktur, atau persoalan ketenagakerjaan, di sini banyak sekali diskriminasi di mana tidak ada prioritas untuk kaum perempuan.
Adakah rumusan dasar penegakan HAP dalam instrumen internasional?
Ada banyak sekali konvensi-konvensi internasional yang menjamin penegakan HAP dan HAM. Namun pemerintah Indonesia belum meratifikasi semuanya. Contohnya konvensi migran, pemerintah Indonesia belum meratifikasi. Kemudian konvensi Jenewa dengan beberapa protokol tambahannya, Indonesia juga belum meratifikasi. Tetapi khusus untuk penegakan hak asasi perempuan ini bisa dilihat pada konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) yang telah diratifikasi oleh pemerintah, dalam UU No. 7 tahun 1984. Undang-undang ini berisi tentang penghapusan segala bentuk diskrimiasi terhadap perempuan yang mewajibkan pemerintah Indonesia untuk selalu menegakkan hak asasi kaum perempuan.
Jika hak dasar perempuan telah diatur dan diakui, mengapa banyak perempuan tidak mengetahuinya? Apa upaya negara dalam hal ini?
Jadi meskipun hal tersebut telah diatur dalam konstitusi, tetapi persoalannya adalah dalam konteks masyarakat, kita baru saja mengalami perubahan institusi di negara ini. Yakni adanya otonomi daerah dan otonomi khusus yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk membuat regulasi, sepanjang regulasi tidak bertentangan baik secara horisontal maupun vertikal, serta tidak merugikan kepentingan masyarakat banyak. Tetapi faktanya, Komnas Perempuan menemukan sekitar 28 perda-perda yang cenderung diskriminatif dengan menggunakan alasan tubuh perempuan, dari 80 perda yang mengatasnamakan isu ras, agama, dan jenis kelamin. Bahkan temuan KPI (Koalisi Perempuan Indonesia), tentang perda yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan mencapai 120-an.
Meskipun demikian, saya yakin tidak ada sebuah produk perundang-undangan yang bertujuan menghancurkan. Baik pemerintah, para wakil rakyat, dan masyarakat sendiri, bukan berarti tidak punya i’tikad baik. Hanya saja, kita semua tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk merumuskan perundang-undangan yang baik dan tidak diskriminatif. Kalau pemerintah dan wakil rakyat tidak banyak yang memahami, apalagi masyarakat, mereka lebih tidak tahu lagi. Padahal seharusnya mereka tinggal menerima manfaatnya.
Bagaimana dengan kondisi kebijakan tentang penegakan HAP kita?
Kebijakan-kebijakan yang kita miliki sesungguhnya harus ideal. Tetapi karena pengambil kebijakan itu terdiri dari orang-orang yang patriarkhi, karena hidup di dalam kultur masyarakat yang patriarkhi, maka hasil-hasil kebijakan itu juga patriarkhi.
Bagaimana perumusan perundang-undangan terkait HAP yang terjadi saat ini?
Kalau menurut UU No. 10 Tahun 2004 perumusan sebuah peraturan perundang-undangan harus melibatkan pemerintah, wakil rakyat, dan masyarakat. Pemerintah dan wakil rakyat di sini harus mengetahui dan memahami apa yang dibutuhkan rakyatnya. Misalnya apa fungsi naskah akademis, atau apa fungsi dari pendidikan yang mengupas soal legal drafting, indikator-indikator apa yang harus dipenuhi sebuah produk perundang-undangan, atau apa saja indikator yang terkait dengan HAM dan HAP, dan sebagainya. Mungkin di tingkat ekskutif lebih banyak yang tahu tentang hal-hal tersebut, akan tetapi politisasi berbagai kepentingan tidak terelakkan.
Sebab politisasi menjadi peluang atau ketentuan tersendiri bagi kapan sebuah perda itu disahkan; apakah perda ini dibutuhkan atau tidak; ini berguna untuk mayarakat atau tidak. Politisasi inilah yang menjadi persoalan, bahkan ia terlihat dominan yakni mencapai 80 persen dari hal-hal yang mempengaruhi proses perumusan perundang-undangan, atau pengambilan sebuah kebijakan. Dua puluh persen lainnya, hanya 10 persen yang diberikan untuk keterlibatan masyarakat, dan terkadang tidak sama sekali. Keterlibatan masyarakat biasanya hanya ditunjukkan dengan tanda tangan, daftar hadir, atau hearing di Dewan. Itupun ketika sidang telah paripurna, bukan pada saat pembahasan substansi, atau saat mengkonsultasikan kepada publik dalam bentuk legal draft sebuah perundangan. Seharusnya draft perundungan disosialisasikan ke publik untuk meminta input dari masyarakat. Isi notulensinya semua harus bisa dibaca, artinya input ini dimasukkan atau tidak, kalau tidak dimasukkan kenapa, itu harus muncul. Akan tetapi yang terjadi hal itu tidak muncul.
Apa penyebab utama adanya perundangan atau perda diskriminatif?
Munculnya produk perundangan baik di tingkat nasional maupun lokal yang bersifat diskriminatif disebabkan oleh tiga hal. Pertama, masyarakat yang peduli terhadap proses perundangan hanya beberapa persen saja, dan itu hanya dimotori oleh kelompok-kelompok lembaga swadaya masyarakat (LSM). Dari kalangan mahasiswa (akademisi, Red.) juga demikian, tidak banyak yang peduli terhadap proses perundangan. Kedua, terkadang dalam membahas suatu isu, baik kalangan LSM maupun akademisi, sudah berbeda pendapat bahkan bisa saling bertengkar sendiri. Ketiga, dalam proses perundangan pemerintah lebih terfokus pada kepentingan-kepentingan dominan semata, tidak memperhatikan tujuan perundangan sendiri, yakni demi kesejahteraan masyarakat. Kalau ditanya mengapa demikian, jawabannya ringan saja, ”Politik memang begitu. Politik adalah kepentingan”. Seolah lupa bahwa ’kepentingan’ itu harus tetap dilandaskan pada kepentingan masyarakat, baik yang minoritas maupun mayoritas.
Terkait temuan perda diskriminatif, apa yang disampaikan Komnas Perempuan kepada Presiden?
Komnas Perempuan menyampaikan bahwa, dari catatan akhir setelah tahun 2006 sekaligus sebelum reformasi tentang kekerasan terhadap perempuan, terdapat 3 poin penting. Pertama, adanya jaminan hukum yang mengatur soal kekerasan terhadap perempuan yang mendorong pertanggungjawaban pelaku dan menjamin pemulihan terhadap korban. Tentang jaminan hukum ini, ada sekitar 17 produk kebijakan di tingkat nasional, lokal, dan regional. Di tingkat regional ada kebijakan soal migran, di tingkat nasional ada UU PKDRT, dan sebagainya. Kedua soal berkembangnya institusi-institusi baik pemerintah maupun organisasi masyarakat yang memberikan perlindungan terhadap perempuan korban, yang mencapai jumlah 235 institusi dari Aceh hingga Papua. Institusi-institusi ini baik yang berupa lembaga women crisist center (WCC), maupun semacam Pusat Krisis Terpadu (PKT) yang berbasis di Rumah sakit atau di LSM. Ketiga, berkembangnya pengetahuan masyarakat soal kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai konteks. Selama ini kekerasan yang diterima perempuan hanya dipahami sebatas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) belaka. Namun sekarang masyarakat mulai memahami kekerasan itu juga ada dalam konteks buruh migran dan konteks konflik.
Selain 3 hal itu Komnas Perempuan mencatat, selama 10 tahun reformasi ada banyak kemundurun seperti perda-perda diskriminatif, politik identitas, dan hal-hal yang membuat tidak semakin berkembangnya pluralisme dengan cara-cara yang bersifat penekanan. Baik itu yang terkait dengan isu-isu perempuan, ras, maupun agama.
Dari tiga temuan mendasar tersebut, mana yang paling spesifik?
Hal yang paling spesifik adalah temuan tentang perempuan korban di ranah konflik. Pada waktu terjadi kasus Aceh dan Poso, ternyata ada banyak perempuan korban yang ditinggalkan oleh Tentara baik atas nama cinta dengan berbekal pacaran maupun perkawinan. Kemudian adalagi perempuan korban dalam konteks sumber daya alam, dan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi atas nama agama.
Bagaimana pandangan Anda terkait isu HAP dan HAM yang dianggap dari Barat oleh sebagian Muslim?
Sepengetahuan saya sampai hari ini, justru Islam yang membuka ruang universalisme. Jadi kalau bicara HAM dan HAP, Islamlah yang memulai hal itu, Islamlah yang mendobrak gerbangnya. Kalau ada berbagai macam pendapat soal Islam, ini adalah masalah interpretasi yang tereduksi bahwa isu-isu tersebut berasal dari Barat.
Contoh konkret dari hidup saya adalah, saya lahir dari 13 bersaudara 1 ayah 1 ibu. Ketiga belas bersaudara ini yang 2 meninggal, dan yang 11 lainnya adalah sarjana Strata 2, meskipun ibu saya ‘hanya’ lulusan sekolah dasar (SD), dan ayah lulusan sekolah setingkat SMP di masa penjajahan Belanda. Sejak kecil saya tidak melihat ibu ‘tidak memiliki partisipasi dalam hal ekonomi keluarga’, karena ibu saya seorang pedagang. Ayah saya membolehkan, dan tidak melarangnya. Padahal ayah saya adalah tokoh agama – Muhammadiyah. Ia memberikan ruang dan kepercayaan penuh atas kemampuan ibu. Dan sejak kecil saya tidak pernah mendengarkan perdebatan keduanya soal “sudahlah kamu di rumah saja”, misalnya.
Inilah contoh kecil yang paling mudah saya pahami. Sesungguhnya Islam tidak membuat diskriminasi atau pembatasan ruang gerak perempuan. Sebab ibu saya sudah bekerja pada saat itu. Jadi ketika di pengajian-pengajian, saya tidak mengatakan itu sebagai hal dari Barat, tetapi dari rumah saya yang udik di desa Sukobendo, Lamongan, Jawa Timur.
Artinya memang Islam yang saya pahami secara praktik, dan yang saya pahami di SD Muhammadiyah waktu kecil, lalu di Madrasah Diniyah, Tsanawiyah atau Aliyah Mujahidin, maupun di Pondok Pesantren Persis Bangil dulu, tidak ada pertentangan sama sekali. Selama di pondok ngaji kitab-kitab klasik saya tidak melihat ada larangan dalam hal ruang gerak perempuan. Padahal waktu itu saya belum mengenal LSM, atau gerakan perempuan apapun, sehingga hari ini saya tetap beristiqamah dalam jalan ini.
Apa komentar Anda jika faktanya perempuan ‘dipaksa’ berjilbab dan tidak diperbolehkan keluar malam?
Inilah yang saya katakan sejak awal, telah terjadi politisasi di mana permainan politik akan terjadi ketika isu yang sebenarnya tidak tergarap. Soal Perda Kota Tangerang misalnya, sesungguhnya persoalannya adalah kemiskinan. Tapi kebijakan-kebijakan yang sifatnya populis, yang lebih menarik perhatian massa, yang lebih cepat diterima oleh umat tampaknya adalah persoalan yang terkait dengan moral. Sehingga segala sesuatunya dikembalikan pada upaya perbaikan moral saja. Lalu perempuan dipaksa mengenakan jilbab, dilarang keluar malam, seolah lupa bahwa itu adalah persoalan pelanggaran hak asasi. Kalau masalahnya moral, harusnya laki-laki dan perempuan sama hak dan kewajibannya. Bukan perempuan saja yang harus dipaksa untuk mengatur diri, namun orang lain (lelaki) juga harus mengontrol diri.
Terkadang sebagai perempuan merasa senang juga diperlakukan seperti ini, karena ternyata moral bangsa ini harus dijaga, dan yang menjaga tidak lain adalah perempuan. Namun dibalik itu sesungguhnya ada persoalan pelanggaran hak yang serius, dan persolaan kemiskinan yang banyak diderita perempuan tidak tersentuh sama sekali.
Apa pendapat Anda tentang peran negara?
Kita mau tidak mau harus mengatakan bahwa negara telah melakukan pemiskinan yang berkelanjutan. Tampaknya tidak ada upaya-upaya serius untuk menangani persoalan tersebut. Padahal sekali lagi, ketika bicara soal kemiskinan, perempuan adalah kelompok yang paling rentan terkena dampaknya. Sebab diam-diam selama ini perempuanlah penjaga gawang perekonomian keluarga. Dalam berbagai persoalan rumah tangga, perempuan yang diminta menyelesaikan segalanya. Cukup tidak cukup, harus cukup. Jika tidak mencukupi, perempuan harus mencarinya sendiri. Ini persoalan yang rentan, tetapi sayang perempauan tidak diajak bicara mengenai hal ini. Akhirnya, perempuan sebagai kepala rumah tangga terlempar menjadi buruh migran, karena lelaki sebagai kepala keluarga sudah tidak bisa berbuat apa-apa.
Sampai di sini pemerintah tidak memperhatikan secara khusus soal bagaimana memberikan perlindungan terhadap perempuan yang menyelesaian persoalan rumah tangga sebagai buruh migran. Seolah yang terpikirkan untuk buruh migran adalah perginya berapa biayanya, pulangnya berapa. Sebab sampai saat ini tidak ada satupun aturan soal perlindungan buruh migran. Itu yang membuat kita semua menangis.
Bagaimana peran Anda sebagai aktivis perempuan, apakah Anda memiliki pengalaman membangun komunitas di kalangan akar rumput?
Saya pernah membuat komunitas-komunitas yang paling bawah, meskipun saya tahu, saya tidak melakukannya secara intens. Mereka adalah komunitas perempuan yang jauh dari Pendopo Desa, Pendopo Kabupaten, dan mereka yang adanya di rumah-rumah. Inilah pengalaman menarik ketika saya melakukan advokasi tentang kesehatan reproduksi perempuan. Akhirnya mereka menjadi kelompok pengajian kecil di sekitar tahun 2003-2004.
Harus dipahami bahwa untuk menyampaikan hal-hal seperti ini jangan hanya di forum-forum resmi, karena forum resmi dengan pamflet yang gede-gede, biasanya setelah selesai, forum bubar dan tidak ada tindak lanjutnya. Yang hadir pun hanya para ketua-ketua, baik PKK, Fatayat, maupun Aisyiah, yang pintar mereka lagi, yang lain tidak mengetahui. Bahwa mereka punya kapasitas untuk menyampaikan di komunitasnya memang benar, tetapi tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Kita sendiri secara terus menerus yang harus membangun komponen-komponen kecil ini, karena ini adalah upaya yang efektif. Sehingga saat itu kita bisa mengajak mereka untuk ngomong di radio-radio, tentang kondisi faktual yang mereka alami. Kita tidak membiarkannya membungkam saja karena merekalah yang punya persoalan.
Bagaimana Anda mendudukkan Islam, HAM, dan HAP menjadi sebuah sinergi yang harmonis?
Bagi saya, pada dasarnya menjalankan Islam adalah menjalankan HAM dan HAP. Kalau saya menjalankan HAP atau HAM saja, saya baru menjalankan sebagian kecil ajaran agama saya. Tetapi begitu menjalankan Islam, saya menjalankan semuanya. [ ] Hafidzoh Almawaliy