Jika melewati jalur Pantai Utara (Pantura) pulau Jawa, Anda akan melewati kota Cirebon yang terkenal dengan aneka makanan khas Cirebon, seperti empal gentong, tahu gejrot, dan kerupuk udang. Di kota inilah telah lahir organisasi masyarakat yang diberi nama Fahmina Institute.
Menurut para pendirinya, nama Fahmina berasal dari bahasa Arab. Dari kata fahmun yang berarti pemahaman, nalar, atau perspektif, dengan imbuhan kata na (nahnu) berarti kita. Fahmina berarti pemahaman kita, nalar kita, atau perspektif kita, baik tentang teks keagamaan maupun tentang realitas sosial. Penamaan Fahmina juga bisa berarti perspektif atau cara pandang terhadap realitas masyarakat Indonesia (fahm: cara pandang, ina: Indonesia), yang kebanyakan berada pada posisi marjinal, lemah atau dilemahkan, dan tidak banyak dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan publik.
Kiprah Fahmina
Para pendiri Fahmina memandang ada persoalan sangat akut yang terjadi pada masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Cirebon tempat di mana Fahmina lahir. Persoalan akut itu adalah adanya sistem kebudayaan yang telah menciptakan kehidupan masyarakat yang mandeg/stagnan, tidak menyediakan ruang kritisisme bagi rakyat.
Keprihatin itu tidak hanya berhenti pada bincang-bincang semata, tetapi ada upaya untuk mewujudkannya dalam aksi-aksi yang lebih nyata, dalam sebuah wadah yang terorganisir. Pada bulan November 1999 Fahmina didirikan KH. Husein Muhammad, Afandi Mukhtar, Marzuki Wahid dan Faqihuddin Abdul Qadir, yang kesemuanya berdomisili di Cirebon. Fahmina sebagai lembaga, kemudian baru disosialisasikan ke publik pada bulan Pebruari 2001.
Upaya Fahmina untuk menangani persoalan stagnasi dan tidak adanya ruang kritisisme pada masyarakat ini, dengan melakukan “perubahan”. Perubahan bagi Fahmina adalah sebuah keniscayaan. Menurut Fahmina perubahan harus digerakkan di dalam dan melalui tradisi dan kebudayaan masyarakat. Dalam pandangan Fahmina transformasi sosial akan menemukan signifikansi dan efektifitasnya jika dijalankan melalui tradisi lokal dan gradual. Sebaliknya, perubahan akan menemui kegagalannya manakala ia tercerabut dari akar tradisi dan historisitasnya.
Dari ide-ide besar tersebut, sesungguhnya Fahmina memimpikan terwujudnya masyarakat sipil yang kritis dalam berfikir, terbuka dalam bersikap, berdaya dalam martabat, dan berkeadilan dalam tatanan kehidupan sosial. Fahmina mendambakan suatu masyarakat sipil yang memiliki kepekaan untuk melakukan perubahan struktur sosial ke arah yang lebih adil.
Dalam merealisasikan mimpinya, Fahmina membagi kegiatannya ke dalam tiga wilayah. Pertama, wilayah intelektual dengan memproduksi wacana perubahan sosial untuk keadilan tanpa sekat gender, suku, golongan dan agama. Kedua, wilayah budaya dengan menghadirkan kultur masyarakat yang memihak pada kelompok rentan dan marginal, dengan orientasi dasar penciptaan keadilan. Ketiga, wilayah politik dengan melakukan pengorganisasian kelompok-kelompok masyarakat yang bisa menjadi sebuah kekuatan strategis, dan bisa mengisi ruang pengambilan kebijakan publik, dan memastikan keputusan tersebut berkeadilan.
Pada wilayah intelektual, Fahmina melakukan berbagai upaya pemaknaan baru yang lebih berkeadilan untuk kaum tertindas, terhadap teks-teks keagamaan baik yang ada dalam Alquran, hadis maupun lembar-lembar kitab kuning. Hasil pemaknaannya itu disebarkan melalui buku, majalah, website dan pelatihan-pelatihan.
Di wilayah politik, Fahmina melakukan pengorganisasian kepada kelompok-kelompok perempuan dengan memfasilitasi pendirian Women Crisis Center, yang kemudian bernama Mawar Balqis. Melakukan pengorganisasian komunitas pedagang kaki lima, nelayan, pebecak, seniman jalanan, tukang ojek, buruh dan ibu-ibu rumah tangga. Penguatan komunitas ini dalam konteks pengembangan partisipasi warga terhadap pembangunan kota, sebagai wujud ‘pemerintahan yang baik’.
Program dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan Fahmina tidak terlepas dari perspektif kesetaraan relasi perempuan dan laki-laki, yang juga menjadi perhatian organisasi ini. Kepedulian Fahmina pada terwujudnya relasi perempuan dan laki-laki tidak hanya tercantum pada aturan organisasi berupa nilai-nilai, tetapi juga menjadi nafas semua program dan kegiatan yang dilakukannya. Sebagai contoh, di dalam peraturan Fahmina, ada larangan poligami dan keharusan engendering pada sumber daya manusia maupun program. Pada tataran pratiknya misalnya, tunjangan keluarga diberikan kepada suami jika staf itu perempuan begitupun sebaliknya. Contoh lain misalnya di radio komunitas yang difasilitasinya harus ada penyiar perempuan. Mereka juga membuat materi siaran atau program siaran tentang isu perempuan, seperti trafiking, isu kesehatan reproduksi dan keluarga.
Demikian luas jangkauan kegiatan yang dilakukan Fahmina. Karakter Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ini, sungguh berbeda dengan LSM kebanyakan yang ada di kota-kota besar. Rata-rata lembaga swadaya di kota besar seperti Jakarta, cenderung lebih fokus kepada satu isu tertentu, misalkan isu gender, lingkungan, hukum, maupun isu pluralisme. Pilihan yang dilakukan Fahmina mungkin tidak terlepas dari tuntutan masyarakat yang ada di sekitarnya.
Meskipun ’hanya’ diawaki oleh 16 orang staf, 9 laki-laki dan 7 perempuan, semoga upaya yang dilakukan Fahmina tersebut, bisa membawa masyarakat yang berkeadilan dan demokratis. Tentunya adil dan demokratis dalam bingkai tradisi keislaman masyarakat, sebagaimana jargon yang dibangunnya, ‘Towards a Just and Democratic Society’.
(Sumber: Fahmina Institute, Tujuh Tahun Mengangkat Tradisi untuk Keadilan dan Demokrasi, dan www.fahmina.org, diakses 18 Februari 2008) oleh Maman A. Rahman.