Semula ia aktivis kegiatan di sekolahnya. Ia tercatat sebagai siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jember Jawa Timur. Dalam perkembangannya, ia tidak mau lagi mengikuti kegiatan sekolah, terutama yang berkaitan dengan penggunaan suaranya, seperti ketika ia diminta untuk menjadi MC (Master of Ceremony). Ia menolak karena menurut pemahamannya, suara perempuan adalah aurat. Setelah para guru menyelidiki, ternyata ia mempunyai pemahaman demikian sesudah mengikuti salah satu pengajian agama di lingkungannya.

Cerita di atas terungkap kembali saat workshop “Penguatan Hak-hak Perempuan Melalui Pemimpin Keagamaan Lokal” yang diadakan Rahima pada bulan Januari 2008 di Depok Jawa Barat. Sekitar 21 peserta dari berbagai daerah di wilayah Banten dan Jawa Barat mengikuti acara ini. Para peserta datang dari berbagai kalangan seperti tokoh agama, guru, media, dan aktivis perempuan.

Menurut Dian, ketua panitia, salah satu tujuan workshop ini adalah untuk menguatkan jaringan antar peserta di kedua wilayah dalam pengorganisasian masyarakat berperspektif kesetaraan.

Hadir sebagai pemateri pada workshop ini adalah Masruchah (Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia) yang memberikan presentasi tentang “Advokasi Kebijakan Berperspektif Kesetaraan, Keragaman, dan Hak Asasi Manusia”. Dalam presentasinya, mbak Ruchah, demikian biasa dipanggil, menjelaskan landasan-ladasan hukum baik di level nasional maupun internasional untuk penguatan perempuan. Salah satu produk hukum yang menjadi landasan penguatan perempuan adalah UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga) dan beberapa undang-undang lainnya, dan kesepakatan internasional berkaitan dengan perlindungan terhadap perempuan.

Pada sesi malam, Farha Ciciek (salah seorang Pengurus Rahima) menyampaikan presentasi hasil penelitian dan pengamatannya selama ini tentang “Fundamentalisme & Konservatisme dalam Ruang Lingkup Keagamaan”. Dalam presentasinya, mbak Ciciek membeberkan dampak-dampak negatif pemahaman keagamaan yang cenderung keras terhadap perempuan. Sampai pada satu kesimpulan bahwa ”fundamentalisme adalah sebuah gerakan protes yang bereaksi terutama untuk menempatkan kembali patriarkhi dalam konteks masyarakat modern”.

Pada sesi akhir, peserta workshop bersama-sama menyusun materi yang akan digunakan untuk 3 pelatihan mendatang. Harapannya dengan materi yang sudah disusun itu para pemimpin keagamaan lokal mendapat tambahan informasi dan bergandeng tangan untuk bersama-bersama mewujudkan pemahaman keislaman yang rahmatan lilalamin. (Man)

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here