Islam menegaskan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan dengan kedudukan yang sama di hadapan-Nya. Alquran menyatakan: “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri (entitas) yang satu, dan darinya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”. (Q.S. al Nisa’, 4: 1) Dan firman-Nya juga: “Wahai sekalian manusia, Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antaramu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa (kepada-Nya)”. (QS. al Hujurat, 49: 13)
Pernyatan paling eksplisit lainnya mengenai kesetaraan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dinyatakan dalam Alquran: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, laki-laki maupun perempuan, dan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. al Nahl, 16: 97) Demikian juga dalam Q.S. al Ahzab, 33: 35, Ali Imran, 3:195, al Mukmin, 40: 40, dan lain-lain.
Doktrin egalitarianisme (al musawah) Islam di atas juga dinyatakan oleh Nabi Muhammad saw. Beliau mengatakan: “Manusia bagaikan gigi-gigi sisir, tidak ada keunggulan orang Arab atas non-Arab, orang kulit putih atas kulit hitam, kecuali atas dasar ketakwaan kepada Tuhan”. Sabda Nabi saw. yang lain: “Sungguh, Allah tidak menilai kamu pada tubuh dan wajahmu melainkan pada hati dan tindakanmu”. Dan sabda Nabi juga: “Kaum perempuan adalah saudara kandung kaum laki-laki”.
Prinsip kesederajatan manusia di hadapan Tuhan ini merupakan konsekuensi paling ekspresif dan logis dari doktrin Kemahaesaan Allah, atau dalam bahasa yang lebih populer: akidah Tauhid. Keunggulan manusia satu atas manusia yang lain dalam sistem Islam hanyalah atas dasar kedekatan dan ketaatannya kepada Tuhan atau yang dalam bahasa Alquran disebut takwa. Takwa yang disebutkan berulang-ulang dalam teks-teks suci Islam tidak dibatasi maknanya hanya pada aspek relasi manusia dengan Tuhan (hablun min Allah), ekspresi-ekspresi spiritual dan praktik-praktik ritual, melainkan juga pada ekspresi-ekspresi hubungan antarmanusia dalam wilayah sosial, kebudayaan, politik dan lain-lain (hablun min al nas).
Konsekuensi lebih lanjut dari prinsip di atas adalah bahwa manusia, siapapun dan di tempat manapun dia berada atau dilahirkan, dituntut untuk saling menghargai eksistensinya masing-masing, dan dituntut pula untuk bekerja dan berjuang bersama-sama bagi upaya-upaya menegakkan kebaikan, kebenaran, dan keadilan di antara manusia. Setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk menjalani kehidupan yang diinginkannya tanpa ada gangguan dari siapapun. Dengan kata lain setiap manusia dilarang oleh Tuhan untuk saling merendahkan, menyakiti, mengeksploitasi dan menzalimi. “La tazhlimun wa la tuzhlamun”, kata Tuhan, atau “Fa la tazhalamu”, kata Nabi.
Sebagai penafsir utama Alquran, Nabi Muhammad menegaskan kembali pernyataan Kitab Suci tersebut menjelang akhir hidupnya. Di hadapan sekitar seratus ribu orang yang berkumpul di Arafah, beliau mendeklarasikan prinsip-prinsip yang selaras dengan istilah Hak Asasi Manusia saat ini. Sabda beliau: “Hai manusia, sesungguhnya darahmu (hidupmu), hartamu, dan kehormatanmu adalah suci, sesuci hari ini, di bulan ini, dan di negeri ini sampai kamu bertemu dengan Tuhanmu di Hari Kiamat”.
Kata-kata dima-akum (darahmu, hak hidup), amwalakum (hartamu, hak atas kekayaan) dan ‘irdhukum (kehormatanmu, hak untuk dihargai) diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai life, property, dan dignity. Ketiga kosa-kata ini dalam sejarahnya merupakan prinsip yang mendasari perumusan diktum-diktum HAM Universal di atas.
Kebebasan
Di samping prinsip kesetaraan manusia, Alquran menyebut bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang terhormat, sekaligus ciptaan-Nya yang paling unggul dari semua ciptaan-Nya yang lain. “Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka di daratan dan lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik serta Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan ciptaan Kami”. (QS. al Isra, 17: 70)
Al Zamakhsyari, Ahli Tafsir klasik, dalam kitab tafsirnya, menjelaskan arti ayat di atas bahwa “Allah memuliakan manusia karena ia berakal, berpikir, bisa membedakan, menulis, (diberi) rupa yang bagus, (memiliki) tubuh yang tegap, dan mampu mengelola urusan-urusan kehidupan hari ini dan nanti. Boleh jadi kemuliaan tersebut karena manusia dapat menguasai potensi Bumi dan menundukkannya (untuk kemaslahatan kehidupan). Pepatah mengatakan: “Kullu syai’in ya’kulu fi famihi illa ibn adam”, (Semua binatang makan dengan mulutnya kecuali manusia).[1] Manusia adalah binatang yang bernalar dan kreatif.
Tidak ada ciptaan Tuhan yang memiliki fasilitas paling canggih ini. Dengan potensi akal pikiran inilah, manusia menjadi makhluk yang bebas untuk menentukan sendiri nasibnya di dalam menjalani kehidupannya di dunia ini. Dengan akal-intelektualnya pula, manusia menciptakan peradaban dan kebudayaan. Dalam sebuah Hadis Qudsi, Tuhan menyatakan: “Demi keagungan dan kebesaran-Ku, Aku tidak menciptakan sesuatu yang lebih mulia di hadapan-Ku kecuali kamu (akal). Karenamu, Aku meminta. Karenamu, Aku memberi. Karenamu, Aku minta pertanggungjawabanmu dan karenamu pula, Aku menghukummu”.[2]
Perempuan dalam paradigma Hak Asasi Manusia, memiliki seluruh potensi kemanusiaan sebagaimana yang dimiliki laki-laki. Sebagai manusia, perempuan kemarin, hari ini, dan nanti selalu memiliki potensi-potensi yang sama dengan manusia laki-laki. Mereka mempunyai kekuatan fisik, kecerdasan intelektual, kepekaan spiritual, dan hasrat seksual untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, dan hal-hal lain yang dibutuhkan oleh dan dalam kehidupan manusia. Karena itu, perempuan juga mempunyai hak untuk memilih dan dipilih, berhak untuk memimpin dan memutuskan serta menentukan sejarah kehidupan manusia.
Sepanjang sejarah manusia, selalu terdapat perempuan yang mempunyai kapasitas intelektual yang lebih tinggi daripada laki-laki dan menjadi tokoh utama dalam panggung kehidupan domestik maupun publik. Dalam sejarah Islam, Siti Khadijah ra. adalah perempuan pengusaha sukses sekaligus penasehat Nabi. Siti Aisyah ra. adalah contoh sosok perempuan dengan tingkat intelektual melebihi kebanyakan laki-laki. ”Kanat ‘aisyah a’lam al nas wa afqah wa ahsan al nas ra’yan fi al ‘ammah”. (Aisyah adalah orang yang terpandai dan paling cerdas, pandangan-pandangannya paling cemerlang di antara orang kebanyakan). Sejarah dunia yang kita saksikan hari ini semakin mengukuhkan perempuan sebagai identitas yang tengah “bersaing” untuk “merebut” atau mengambil kekuasaan (baca: hak) dalam segala ruang: sosial, budaya, ekonomi, hukum, politik bahkan militer. Bahwa mereka secara kuantitas masih kecil dibanding laki-laki adalah soal lain. Ini soal kehendak sejarah manusia, bukan soal eksistensi.
Dengan penjelasan ini penulis sesungguhnya ingin menegaskan bahwa kita tidak bisa memutlakkan kehebatan satu jenis kelamin atas jenis kelamin yang lain. Tegasnya kita tidak bisa memutlakkan bahwa semua jenis kelamin laki-laki lebih unggul atas semua jenis kelamin perempuan. Karena ibu kita adalah perempuan. Dia telah mempertaruhkan seluruh hidupnya untuk kehadiran kita dan mengajari kita huruf-huruf. Dia adalah manusia yang kepadanya kita tidak mungkin bisa membalas. Karena Siti Khadijah, Siti Aisyah, dan “Ummahat al Mukminin”, adalah perempuan-perempuan yang kepada mereka para sahabat, baik laki-laki dan perempuan banyak belajar. Karena Cut Nyak Dien dan Malahayati (Kemala Hayati) adalah perempuan-perempuan yang memimpin perjuangan melawan penjajah yang kepada mereka Bangsa Indonesia berhutang budi. Mereka adalah para pahlawan, syuhada. Jadi merendahkan semua jenis kelamin perempuan sama artinya dengan merendahkan sekaligus melukai beliau-beliau tersebut. Lagi-lagi kita harus mengatakan bahwa keunggulan, superioritas dan kehebatan seseorang bukan terletak pada jenis kelaminnya, melainkan pada integritas pribadinya masing-masing, laki-laki maupun perempuan.
Baca Juga:
Tafsir Alquran 1: Islam dan Hak Asasi Perempuan
Tafsir Alquran 3: Hak Asasi Perempuan dalam Deklarasi Kairo
[1] Zamakhsyari, al Kasy-syaf, Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyyah, Vol. II, cet. II, 2003, h. 653.
[2] Ahmad Abu Fath, Al Mustathraf fi Kulli Fann Mustazhraf, h. 19