Oleh: Jauhar Azizy*
Satu lagi sumbangan pemikiran tentang peran perempuan dari seorang Khaled Abou El Fadl, pemikir Islam kontemporer abad ini. Ia lahir di Kuwait tahun 1963 dari keluarga muslim taat yang terbuka dalam hal pemikiran. Pada masa remaja, ia ‘terjebak’ dalam gerakan Islam puritan (kaum Wahabi) yang tumbuh subur di lingkungannya. Hal itu membuat Khaled remaja selalu dibayang-bayangi oleh sebuah “kelompok terbaik yang mewakili Tuhan” di atas muka bumi. Untunglah orang tua Khaled menawarkan khazanah keilmuan Islam dari berbagai aliran kepadanya.
Saat itu, Khaled mulai menyadari ada kontradiksi dan persoalan akut di dalam konstruksi ideologis dan pemikiran kaum Wahabi. Klaim mereka atas banyak masalah justru bertentangan dengan semangat ulama masa lalu dalam memandang agama Islam. Dari sinilah akhirnya muncul kekritisan Khaled terhadap kelompok Islam puritan.
Pikiran-pikiran cerdas seorang guru besar bidang Hukum Islam di UCLA, USA, ini tertuang dalam salah satu karyanya yang berjudul The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (2005). Dalam buku ini, Khaled mengkritisi pendapat kelompok Islam Puritan, yakni kelompok yang dalam keyakinannya menganut paham absolutisme dan tak kenal kompromi, serta selalu mendiskreditkan perempuan. Namun Khaled juga tidak lupa menuntut kaum perempuan itu sendiri untuk memberdayakan diri berperan di dunia publik.
Dalam mengkritisi pandangan kaum puritan, Khaled menawarkan beberapa metodologi pembacaan (baca: menafsirkan) Alquran dan Hadis Nabi saw. Pertama, Pembacaan dengan memperhatikan makna kontekstual ayat maupun hadis, di samping makna tekstual. Kedua, Pembacaan yang adil dan seimbang terhadap Alquran dan Hadis dengan memperhatikan seluruh aspeknya. Ketiga, Pembacaan yang adil dengan menggunakan lebih dari satu perangkat metodologi. Misalnya dengan menggunakan beragam pendekatan dari disiplin keilmuan lain, seperti ilmu-ilmu sosial, sejarah, dan sebagainya.
Ketiga metode di atas, berbeda sekali dengan pembacaan kaum puritan terhadap Alquran dan hadis-hadis Nabi saw. Cara pembacaan yang digulirkan Khaled ini lebih arif dan rasional dibandingkan kelompok puritan yang menggali makna secara tekstual saja, tanpa memikirkan konteks ayat maupun hadis. Kelompok ini dalam membaca teks-teks keagamaan hanya menggunakan satu pendekatan atau metodologi saja. Sedang Khaled berangkat dari persoalan dan realitas sosial yang ada, seperti masalah-masalah sosial dan HAM, juga masalah kesetaraan lelaki dan perempuan.
Dari metode pembacaan Khaled ini, dalam hal kesetaraan menunjukkan bahwa Alquran menekankan tidak ada perbedaan gender, ras, atau pun kelas di antara sesama manusia di mata Tuhan. Baik lelaki maupun perempuan memiliki akses yang sama untuk mendapatkan anugerah dan pahala dari Tuhan.
Pembacaan tersebut di atas, adalah kritik yang dibangun oleh Khaled terhadap pemikiran kaum puritan. Di sini Khaled tidak hanya menyetarakan hak dan kewajiban antara lelaki dan perempuan, tetapi ia juga melahirkan pemahaman terhadap teks-teks keagamaan yang membebaskan perempuan. Sedang selama ini, produk kaum puritan selalu mendorong pengucilan total kaum perempuan dari arena publik. Mereka menafikan peranan dan intelektualitas kaum perempuan. Padahal dalam catatan sejarah, kaum perempuan sangat aktif dalam kehidupan sosial dan politik pada masa Nabi saw. Bahkan sepeninggalnya, beberapa istri Nabi mengambil peran-peran penting dengan menjadi guru dan ahli hukum dalam masyarakat.
*****
Khaled mengkritisi pembacaan kaum puritan terhadap ayat-ayat Alquran yang dijadikan pegangan bahwa kaum perempuan harus taat dan patuh kepada suami mereka. Seperti QS. Al-Nisâ’/4: 32. Bagi Khaled, kata qawwamûn diartikan dengan pemelihara, penjaga, pelindung, bahkan pelayan, yang didasarkan pada kemampuan seseorang, seperti kemampuan dalam memberi nafkah, dan lainnya. Jika seorang perempuan menjadi pencari nafkah yang utama, ia menanggung tugas menjadi penjaga. Lebih jauh lagi, menurut Khaled Alquran tidak menggunakan kata thâ‘ah (taat) untuk menggambarkan hubungan dalam rumah tangga. Pernikahan digambarkan sebagai sebuah hubungan cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah), bukan hubungan antara atasan dan bawahan, melainkan keseteraan.
Tentang contoh di atas, sebenarnya telah dikupas habis dalam satu karya Khaled sebelumnya, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women (2003). Ia mengkritisi metode yang digunakan kelompok puritan dalam memahami hadis-hadis misoginis, seperti istri sujud kepada suaminya. Otentisitas hadis-hadis ini beragam, dari yang dha‘îf (lemah) hingga hasan gharîb (baik). Hadis-hadis ini rata-rata adalah hadis ahad (hadis yang diriwayatkan dari rantai periwayatan tunggal), yang belum mencapai derajat tawâtur (hadis yang diriwayatkan dari beberapa rantai periwayatan).
Dalam memahami hadis-hadis Nabi saw., Khaled juga menawarkan beberapa pendekatan. Pertama, analisis substansi hadis (matan). Kedua, analisis rantai periwayatan (sanad). Ketiga, konsekuensi moral dan sosial hadis. Bagi Khaled, dalam menguji sebuah hadis harus mempertimbangkan hubungan proporsional antara dampak teologis dan sosial dengan pembuktian yang mesti dipenuhinya. Artinya, jika sebuah hadis dicurigai bertentangan dengan spirit Alquran, hukum alam, dan kebaikan umat (mashlahat al-ummah), maka hadis tersebut tidak bisa dijadikan sandaran.
Bila terdapat pertentangan antara berbagai sumber, langkah yang ditempuh adalah mendamaikan sumber-sumber tersebut, bukan mendahulukan salah satu sumber dari sumber lainnya. Berdasarkan prinsip tersebut, hadis-hadis tentang ketundukan istri kepada suami berfungsi untuk menjelaskan atau mengkhususkan yang lebih luas dalam Alquran dan hadis tentang persahabatan dan kemitraan.
Dalam pandangan Khaled, Islam menuntut terbentuknya sebuah persahabatan dan kemitraan antara lelaki dan perempuan, tetapi harus melalui sebuah ketundukan, yaitu tunduk kepada ketentuan Allah (QS. Al-Taubah/9: 71. Ayat ini juga menegaskan, lelaki dan perempuan tidak hanya mitra yang setara dalam membangun tatanan moral masyarakat, melainkan mereka harus bekerja sama dengan saling mendukung dan membantu satu sama lain. Baik dalam ruang lingkup domestik (rumah tangga) maupun publik.
*****
Pada akhirnya Khaled meyakini, Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamîn (rahmat bagi seluruh alam semesta), merupakan agama yang sangat menghargai hak dan kewajiban antara lelaki dan perempuan secara seimbang. Apa yang telah dilakukan Khaled ini, sangat memberikan pencerahan dalam pemahaman teks-teks keagamaan. Upayanya membela kaum yang tertindas, baik tertindas secara produk pemikiran maupun sosial budaya, harus diberikan apresiasi yang positif.
Pembacaan Khaled terhadap teks-teks keagamaan dengan tetap menjunjung tinggi keadilan ini juga harus selalu diteruskan. Mudah-mudahan dari kajian ini, tujuan-tujuan moral dalam Alquran akan selalu terungkapkan. Sehingga Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘âlamîn memang betul-betul dapat dirasakan oleh seluruh alam.
*) Pegiat Komunitas Ciputat untuk Baca-Baca, (KCuBB)