Dalam doktrin tauhid, prinsip kemerdekaan dan persamaan berarti pula kesetaraan manusia secara universal. Semua manusia adalah setara di hadapan Tuhan. Muhammad saw. pada 14 abad lalu, memberikan satu pernyataan menakjubkan dalam hal kesetaraan.[i]
“Hai manusia, Kami jadikan kamu laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antaramu adalah yang paling bertakwa”. (Q.S.al Hujurat, 13)
Dalam ayat-ayat lain, doktrin kemerdekaan, persamaan, keadilan, dan kesetaraan menjadi prinsip yang harus ditegakkan dalam tatanan hidup manusia, baik dalam tataran personal, keluarga maupun sosial. Segala hal yang menghalangi dan berpotensi merusak nilai-nilai tersebut akan berhadapan dengan Islam. Karena Islam adalah agama yang mengutamakan keadilan (al-‘adalah), kesederajatan (al-musawah), persaudaraan (al-mu’akhah), toleransi (al-tasamuh), dan kasih sayang (al-rahmah). Nilai-nilai ini menjadi tema sentral dalam perjuangan Islam yang harus di sebarluaskan.[ii]
Dalam menyebarluaskan nilai-nilai Islam, khususnya nilai kesetaraan inilah, niscaya dibutuhkan sebuah media budaya yang fasih dalam berbagi pemahaman di tengah masyarakat yang beragam.
Dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia, gagasan tentang penggunaan media budaya untuk memperjuangkan perubahan bukanlah hal yang baru. Masa awal pengembangan Islam di Indonesia, para ulama memanfaatkan kepopuleran dan nilai-nilai simbolik budaya untuk menyebarkan ajaran agama. Misalnya media wayang kulit di Jawa, wayang golek Sunda, sastra, syair dan lagu-lagu dengan iringan musik gamelan.[iii]
Begitu dahsyatnya pengaruh kebudayaan, melalui hikayat dan syair, masyarakat Aceh turut menanamkan nilai-nilai. Sehingga tak heran di sana terdapat “Hikayat Perang Sabi” (Perang Sabil-Red.) yang sanggup menggerakkan semangat jihad. Hikayat perang Sabi ini dijadikan masyarakat Aceh sebagai ruh untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.
Berbeda dengan sastra Melayu yang mengenal hikayat sebagai prosa, dalam sastra Aceh, hikayat adalah puisi di luar jenis pantun, yang berisi kisah dan nasib. Hikayat ini tidak sekedar cerita fiksi, namun berisi pula butir-butir ajaran moral. Masyarakat Aceh menggunakannya sebagai hiburan utama yang mendidik.[iv]
Terkait budaya pewayangan, Sunan Kalijaga telah memadukan dakwahnya dengan seni budaya yang mengakar di masyarakat ini. Kisahnya tak pernah padam di kalangan masyarakat pesisir utara Jawa Tengah, hingga Cirebon. Cara berdakwah yang digunakan, dianggap berbeda dengan metode para Wali yang lain.
Tidak hanya wayang, gamelan, dan tembang, dalam catatan Babad Tanah Jawi, Sunan Kalijaga juga menggunakan ukir, dan batik yang sangat populer pada masa itu untuk berdakwah. Babad dan Serat juga mencatatnya sebagai penggubah beberapa tembang, di antaranya Dandanggula Semarangan, sebuah paduan melodi Arab dan Jawa. Tembang lain adalah Ilir–ilir, meski ada yang menyebutnya sebagai karya Sunan Bonang. Tafsir dalam syair lagu ini sarat dengan nilai dakwah. Misalnya ”Tak ijo royo-royo dak sengguh penganten anyar”. Ungkapan ”ijo royo-royo” bermakna hijau, lambang Islam. Sedangkan Islam, sebagai nilai baru, diumpamakan ”penganten anyar”, alias pengantin baru.
Dalam seni gamelan, Sunan Kalijaga meninggalkan alat-alat gamelan yang diberi nama “Kanjeng Kyai Nagawilaga” dan “Kanjeng Kyai Guntur Madu”. Gamelan itu tersimpan di Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta, yang dikenal sebagai “gamelan Sekaten”.
Seiring maraknya peringatan Maulid Nabi Muhammad saw., gamelan Sekaten digunakan untuk mengawal jalannya upacara. Oleh masyarakat Solo dan Yogyakarta kebiasaan ini dikenal sebagai “Perayaan Sekaten”. Dari berbagai surau dan mushalla di kampung-kampung biasanya dilantunkan “Shalawat” sebagai puji-pujian atas pribadi Nabi saw. yang saleh.
Karya Sunan Kalijaga yang juga menonjol adalah wayang kulit. Sejarah menyebut, wayang yang digemari masyarakat sebelum kehadirannya adalah wayang beber. Wayang jenis ini sebatas kertas yang bergambar kisah pewayangan. Sedang wayang kulit, tiap tokohnya dibuat gambar dan disungging di atas kulit lembu.
Cerita dari mulut ke mulut menyebut, Sunan Kalijaga juga piawai mendalang. Di wilayah Pajajaran, ia lebih dikenal sebagai Ki Dalang Sida Brangti. Bila sedang mendalang di kawasan Tegal, dirinya berganti nama menjadi Ki Dalang Bengkok. Ketika mendalang itulah Sang Wali menyisipkan dakwahnya. Lakon yang dimainkan tak lagi bersumber dari kisah Ramayana dan Mahabarata. Ia mengangkat kisah-kisah yang terkenal dengan cerita ”Dewa Ruci”, ”Jimat Kalimasada”, dan ”Petruk Dadi Ratu”. Dewa Ruci ditafsirkan sebagai kisah Nabi Khidzir. Sedang Jimat Kalimasada tak lain perlambang dari kalimat Syahadat.[v]
Dalam kisah-kisah perang kebaikan melawan kejahatan inilah, Sunan Kalijaga menyisipkan ajaran tauhid Jimat Kalimasada. Kata Jimat sendiri berarti senjata yang ampuh. Sedang Kalimasada atau “Kalimah Syahadat”, berisi pengesaan Tuhan, Allah swt. dan pengakuan terhadap Muhammad saw. sebagai Nabi dan utusan-Nya.
Dalam perkembangannya, legenda Jimat Kalimasada tidak sekedar dongeng antara yang baik melawan kebatilan. Masyarakat berbondong-bondong meyakini bahwa untuk mencapai kebaikan dan kesalehan hidup, mereka harus meneguhkan “Kalimat Syahadat” dalam sanubarinya.
Inilah upaya penanaman nilai yang dilakukan Sang Wali dengan begitu arifnya, melalui media budaya yang menyentuh umat. Bahkan kebiasan kenduri pun jadi sarana syiarnya. Sunan Kalijaga mengganti puja-puji dalam sesaji masyarakat dengan doa dan bacaan kitab suci Alquran.
Alquran sendiri di dalam menyampaikan pesan Islam menggunakan media sastrawi. Oleh Nabi Muhammad saw. pesan yang dibawa ini mampu memberikan pencerahan bagi kehidupan masyarakat Arab. Dengan bahasa budaya setempat, Alquran memberi tuntunan untuk menghargai perempuan. Sehingga perempuan terangkat derajatnya dan disetarakan dengan kaum lelaki.
Penyampaian pesan dengan media sastrawi dalam Alquran, telah dijadikan ‘ibrah bagi para Wali dan ulama untuk menyampaikan pesan kemanusiaan. Bahasa satra yang indah digubah menjadi lagu, nyanyian, syair, dan puisi. Dalam masyarakat Indonesia, upaya ini melahirkan karya-karya seperti Shalawat Barzanji dan Qasidah Burdah, yang mengisahkan perjalanan dan keteladan Muhammad saw.
Di masa kini, ada pula Nasyid yang awalnya berkembang sebagai pembangkit semangat juang para mujahid. Nasyid ini digunakan pula sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Akhir-akhir ini musik yang hanya menggunakan alat duff (sejenis rebana) tersebut, juga dapat digunakan sebagai media untuk menyebarkan nilai keadilan dan kesetaraan.
Di Malaysia musik ini melahirkan grup-grup terkenal semisal Raihan, dengan album “Puji-pujian”. Kabarnya Raihan, dibanding dengan grup Nasyid lain, ia paling terkenal di seluruh dunia. Bahkan dibanding dengan Yusuf Islam, yang dulu bernama “Cat Steven” asal Inggris, Raihan lebih ngetop. Ia satu-satunya grup Nasyid yang tur keliling dunia dan pernah pentas di hadapan Ratu Inggris.[vi]
Dari uraian di atas, nampak bahwa Islam kaya akan media budaya. Sayang, penggunaan media tradisi mulai ditinggalkan, dan pemanfaatan media masa kini belum banyak dilakukan. Padahal media-media ini sangat efektif untuk strategi pengembangan ide-ide Islam, termasuk kesetaraan. Karena selain dianggap memiliki visi ke depan, media budaya pada dasarnya memiliki kemampuan menyentuh seluruh dimensi cara pandang, sikap hidup, dan aktualisasi kehidupan umat.
Baca Juga:
Fokus 1: Media Budaya, Sarana Kritis Membangun Kesetaraan
Fokus 3: Perempuan dan Media Budaya
[i] KH. Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai Pesantren, 2004, hlm. 9
[ii] Swara Rahima No. 17 Th. VI Februari 2006, hlm. 9
[iii] Mafred Oepen, Media Rakyat, Komunikasi Pengembangan Masyarakat, 1988, hlm. 86
[iv] http://www.kaskus.us/archive/index.php/t-576798.html, Si-Pandir, Jakarta 25 Nopember 2005 (sumber : Sastra Perang – Sebuah Pembicaraan mengenai Hikayat Perang Sabil, yang ditulis oleh Prof. DR. Ibrahim Alfian. MA, dan diterbitkan oleh Penerbit Balai Pustaka)
[v] http://sgsns.wordpress.com/2008/01/31/wali-songo-sunan-kalijaga/
[vi] http://www.bogornasheedcentre.com, Tertanggal Jum’at 22 Februari 2008
Similar Posts:
- Budaya, Karya untuk Kemanusiaan
- MEDIA BUDAYA, SARANA KRITIS MEMBANGUN KESETARAAN
- Rahima Libatkan Mahasiswa Dalam Monitoring Pengintegrasian Perspektif Islam Adil Gender
- Rahima Gelar Monitoring Pengintegrasian Perspektif Adil Gender Islam Bersama Dosen UII dan UIN Sunan Kalijaga
- Lokalatih Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender bagi Dosen PTKI