“Bagaimana kita bisa membebaskan perempuan

dari tirani pesan-pesan media yang mengungkung,

Kehidupannya sebatas tungku dan rumah.”

(Gaye Tuchman)

Hearth and Home, 1978

 

Bait di atas menarik dan tetap menandakan kondisi perempuan sekarang, meskipun telah dibacakan tiga dekade lalu. Dalam pandangan media budaya perempuan masih dianggap sebagai “tidak tahu apa-apa” selain urusan domestik (rumah tangga) belaka.

Perempuan di dalam film, novel, maupun dongeng, bahkan di dalam hukum adat dan agama, digambarkan sebagai manusia kelas dua setelah laki-laki. Hal ini merupakan peminggiran terhadap “diri” perempuan yang sudah mapan dan berkepanjangan. Elemen-elemen budaya telah memiliki watak memihak pada dominasi laki-laki. Dari sini dapat diambil kesimpulan, dalam media budaya perempuan belum “terbebaskan”.[i]

Perempuan dianggap sebagai obyek sasaran produk-produk media. Mereka adalah konsumen utama yang harus dipengaruhi, dan harus menerima produk secara ‘pasrah’ tanpa sikap kritis. Lebih jauh mereka dieksploitasi (dan mengeksploitasi) keperempuanannya, dan dijadikan komoditas industri. Ia dianggap sebagai umpan yang dapat menarik para konsumen pria untuk membeli produk, atas dasar seksualitas. Anehnya tidak ada kesadaran dan tekad perlawanan untuk melepaskan perempuan dari tragedi kemanusiaan ini. Kalaupun ada kesadaran membangun hidup yang merdeka dan setara antara lelaki dan perempuan, masih jauh panggang dari api.

Mengapa harus Media Budaya?

Dalam media budaya tampil berbagai produk kreatifitas yang membuat masyarakat terbius. Mulai dari anak-anak, hingga orang tua, baik lelaki maupun perempuan, hidupnya terpola dengan tampilan media. Tanpa sadar, gaya hidup yang dipilih hampir dapat dipastikan, tiruan dari tayangan media yang membudaya.

Baik televisi, radio, internet, film atau musik, juga karya sastra seperti novel dan chick lit, menjejali masyarakat dengan nilai-nilai yang tidak pernah dipertanyakan nilai pencerahannya (tanwir), ataupun pembebasannya (tahrir). Masyarakat terlanjur menganggap apa yang dikemas media adalah baik dan sahih. Anggapan mapan ini menghilangkan nalar kritis. Daya kritis terkuasai oleh media untuk memilihkan sesuatu yang tidak dibutuhkan, menjadi hal yang paling dibutuhkan masyarakat. Media menuntunnya berbondong-bondong mencari rujukan, trend setter untuk gaya hidup, lewat tampilan yang disajikan.

Akibatnya, anak-anak sangat lancar menghafal dan menyanyikan lagu dengan tema-tema orang dewasa, seperti buaya darat, selingkuh, dan sebagainya. Budaya kekerasan pun mereka serap untuk dipraktekkan dalam pergaulan. Para remaja dengan percaya diri mengikuti mode yang disaksikan dalam sebuah film. Mereka akan berkecil hati jika tidak bisa mengikuti trend dalam sinetron yang ditonton. Dari sini masyarakat patut khawatir, produk media dapat membahayakan generasinya. Syukur jika informasi yang dibawa ikut mendidik dan mencerdaskan, alih-alih malah menambah masalah sosial seperti kenakalan remaja, penyalahgunaan narkotika, tindak kekerasan, dan perilaku seksual menyimpang, yang telah mencuat pada 1970-an.[ii]

Di luar hal negatif yang dibawa, harus diakui media memiliki kemampuan luar biasa untuk menanamkan nilai kepada masyarakat. Dengan kemampuan ini, media budaya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan nilai kesetaraan. Bagaimana hal itu dapat dilakukan?

Munculnya fenomena-fenomena menarik, seperti Indonesian Idol, Akademi Fantasi Indosiar, Mamamia Show, atau kontes pelawak Indonesia, telah menyumbang ide kreatif bagi gerakan budaya untuk kesetaraan. Pementasan Shalawat Kesetaraan yang pernah digagas  peserta lokalatih Rahima mengenai “Islam dan Isu-isu kesetaraan” di Jember tahun 2001, adalah salah satu upaya kreatif tersebut. Film Shalawat Kesetaraan Rahima ini menjadi lebih inovatif, ketika digabung dengan budaya lokal seperti gamelan Cirebonan, atau diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda, Madura, Jawa yang dinyanyikan di tiap pengajian. Perpaduan dengan warna musik daerah membuat Shalawat Kesetaraan akrab di telinga publik, dan layak ditampilkan dalam seminar, atau dipopulerkan dengan festival.

Melalui film, Rifka Annisa sebuah lembaga swadaya yang berkonsentrasi pada advokasi perempuan di Yogyakarta, telah lama menggunakan media ini. Dalam tajuk Untuk Perempuan di tahun 2005, Rifka meluncurkan film berdasarkan kisah nyata tentang ketertindasan perempuan. Langkah Rifka diharapkan dapat mendobrak kemapanan berpikir di masyarakat, yang membiarkan ketertindasan perempuan sebagai hal yang bukan ketertindasan. Lebih dari itu, pemilihan media film dimaksudkan untuk memudahkan menyebarkan pemahaman bahwa kekerasan terhadap perempuan harus segera dihentikan. Karena pada dasarnya pesan yang disampaikan melalui audio-visual, lebih mudah dipahami isinya.

Sebagai gerakan budaya untuk kesetaraan, yang terpenting lagi warna perfilman yang diproduksi di Indonesia tidak melulu bias perempuan. Diakui atau tidak, dalam film banyak sekali kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan. Mereka selalu digambarkan sebagai obyek dan laki-laki sebagai subyek. Perempuan pasif dan laki-laki aktif. Laki-laki selalu diidentikkan dengan ‘produksi’ (kaum pekerja, pabrik, teknologi, manajemen), sedang perempuan identik dengan ‘konsumsi’ (belanja, mal, dapur, kosmetik, dan kecantikan).[iii]

Layaknya film, seni pertunjukan drama, komedi, teater, maupun seni tari, kepopuleran dan keunikannya dalam bertutur, dapat digunakan pula untuk membangun kesetaraan. Sekalipun telah terjadi bias kesetaraan, jenis kesenian ini dapat diolah menjadi pementasan yang peka terhadap perempuan (baca: Kesetaraan).

 

Baca Juga:

Fokus 2: Media Budaya dalam Islam

Fokus 3: Perempuan dan Media Budaya

 

[i] Moh. Sobary, Perempuan dalam Budaya: Dominasi Simbol dan Aktual Kaum Lelaki, dalam Menakar Harga Perempuan, 1999, hlm. 83

[ii] Moh. Sobary, Perempuan dalam Budaya: Dominasi Simbol dan Aktual Kaum Lelaki, dalam Wanita dan Media, 1998, hlm. 19

[iii] Yasraf Amir Piliang, Masih adakah ‘Aura’ Wanita Di Balik ‘Euphoria’ Media, dalam Wanita dan Media, 1998, hlm. Xiii

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here