Oleh: Faqihuddin Abdul Kodir

Dalam sebuah pelatihan ulama perempuan, KH. Husein Muhammad mengungkapkan kritik terhadap teks-teks hadis Kitab Syarh ‘Uqud al-Lujjayn Syekh Nawawi Banten (1230-1314H/1813-1897M). Ummi Dzikriyati, seorang muballigah muda, peserta dari Meulaboh Nanggroe Aceh Darussalam merasa sakit ketika mendengar ada teks-teks hadis yang tidak ramah perempuan dan menyatakan ketidak-setujuannya atas pengungkapan hadis-hadis tersebut. Menurutnya, teks-teks hadis seperti ini tidak perlu lagi disebarkan ke masyarakat, tidak perlu dibahas, atau diungkapkan. Termasuk dengan pola kajian kritik sekalipun. Ia menyarankan untuk langsung memperkuat masyarakat, termasuk para ulama, da’i dan muballighah dengan teks-teks hadis yang mendudukkan perempuan secara setara dengan laki-laki, memberdayakan dan memuliakan. “Ini lebih membangkitkan semangat kami”, Ummi mengakhiri komentarnya terhadap presentasi KH Husein Muhammad.

Pandangan ini mewakili sebagian suara umat Islam terhadap peredaran teks-teks hadis yang tidak memberdayakan perempuan. Di samping suara lain yang tetap memilih untuk mengkaji secara kritis dan ilmiah. Kajian teks hadis, diperlukan untuk membedakan hadis yang bisa dipertanggung jawabkan dengan yang sebaliknya, dan untuk memisahkan pemahaman teks hadis yang sejalan dengan prinsip dasar Islam dari pemahaman yang mereduksi risalah utama Islam. Ilmu hadis, sejak awal dirumuskan untuk melakukan pengujian terhadap teks-teks yang tersebar sebagai hadis; sejauh mana teks tersebut bisa dipertanggung-jawabkan. Melalui pengujian ini, teks-teks hadis kemudian dipilah; ada yang sahih (benar), hasan (baik), dha’if (lemah), bahkan ada yang mawdhu’ (palsu). Semua teks-teks ini telah tersebar di masyarakat sebagai teks-teks hadis.

Ulama hadis telah bekerja keras untuk melakukan pemisahan ini, sekalipun masih tetap saja banyak ulama yang masih bergantung kepada teks-teks hadis yang lemah, bahkan tidak sedikit juga yang palsu. Madzhab Hanbali, salah satu madzhab besar dalam fiqh memiliki kaidah sumber (qa’idah ushuliyyah) untuk lebih memilih hadis da’if dari pada rasio logis (qiyas). Realitas yang seperti ini seringkali menyulitkan kita untuk menemukan semangat pemberdayaan perempuan dalam teks-teks hadis. Kitab Syarh ‘Uqud al-Lujjayn, termasuk salah kitab petuah mengenai relasi suami istri yang menghimpun hadis-hadis yang tidak bisa dipertanggung jawabkan. Dalam analisis Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) misalnya, ada setidaknya 20 persen hadis yang tidak ada dasarnya (la ashla lahu) dari keseluruhan teks hadis yang diungkapkan dalam kitab tersebut. Ada sekitar 30 persen hadis yang lemah (da’if) dan sisanya berkisar antara baik (hasan) dan valid (sahih).

Pengungkapan teks-teks hadis yang tidak berdasar dan yang lemah, dalam konteks relasi suami istri, merupakan interpretasi dan ijtihad dari Syekh Nawawi pada saat itu. Tidak menutup kemungkinan, ia dipengaruhi oleh pengetahuan yang berkembang dan menyebar di masyarakat. Seperti dikatakan M. Quraisy Shihab, bahwa Syekh Nawawi bisa jadi akan mengubah pandangan ijtihadnya jika ia hidup pada masa sekarang dan mengalami apa yang kita alami, serta mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan sebagaimana kita mengikutinya. (Lihat: FK3, Kembang Setaman Perkawinan; Analisis Kritis Kitab ‘Uqud al-Lujjayn, hal: xxi).

Syekh Muhammad al-Ghazali (1917-1996) termasuk salah seorang ulama al-Azhar yang mengkritik secara keras peredaran teks-teks hadis da’if, yang hampir menyangkut berbagai tema kehidupan. Mulai dari masalah keyakinan, ibadah, juga persoalan sosial kemasyarakatan dan adat kebiasaan. Dalam kitabnya Assunnah an-Nabawiyyah bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis, misalnya dalam hal kebiasaan makan, ia mengkritik keras ulama yang menyebarkan teks-teks hadis mengenai larangan menggunakan pisau ketika makan, keharusan untuk duduk di atas lantai ketika makan, makan dari satu bejana secara berjama’ah dan kebaikan menggunakan tangan dari pada sendok dan garpu. Termasuk teks-teks hadis tentang perempuan, juga banyak yang da’if dan dikritik Syekhs al-Ghazali karena masih banyak disebarkan oleh para ulama. Seperti teks hadis, yang diriwayatkan Anas bin Malik ra.:

Ada seorang perempuan menjadi istri dari seorang laki-laki. Suatu saat, ayah dari perempuan itu sakit keras. Dia menghadap ke Rasulullah saw. seraya berkata: “Wahai Rasulullah ayah saya sakit keras, tetapi suami saya tidak mengizinkan saya untuk pergi merawatnya”. Rasulullah saw. menjawab: “Taati suami kamu”. Kemudian orang tua itu meninggal dunia. Perempuan itu sekali lagi meminta izin kepada suaminya untuk menjenguk dan menshalatinya, tetapi ia tetap tidak diizinkan. Ia sekali lagi pergi menghadap Rasulllah saw. dan dijawab: “Taati suami kamu”. Ia pulang dan mengikuti perintah suaminya untuk tidak pergi menshalati jenazah ayahnya. Kemudian Nabi saw. berkata: “Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa-dosa ayah kamu, dengan taatmu kepada suamimu”.

Teks hadis ini sekalipun da’if, sering disebarkan ulama untuk melarang perempuan sama sekali untuk keluar rumah dan memintanya untuk taat pada suami secara total. Bahkan sebagian ulama meminta perempuan untuk tidak keluar sama sekali, untuk urusan apapun kecuali dalam tiga hal: keluar dari rahim ibunya, keluar pindah ke rumah suaminya, dan keluar ke liang lahatnya. Menurut al-Ghazali, ini adalah ajaran yang salah, menyesatkan dan bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang tersebar di berbagai teks hadis lain yang sahih. Ada banyak teks hadis sahih yang mengungkapkan aktivitas perempuan pada masa Nabi, ikut hijrah ke Etiopia dan ke Madinah, pergi ke masjid, ke kebun, ke pasar, bahkan ikut berperang. Di samping teks-teks hadis lain yang mewajibkan seseorang – termasuk perempuan – untuk memiliki relasi yang baik dengan orang tua, tetangga dan juga negara. (Lihat; Muhammad al-Ghazali, Assunnah an-Nabawiyyah bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis, hal. 51).

 

Baca Juga:

Dirasah Hadis 2: Kritik Antar Teks

Dirasah Hadis3: Mengapresiasi dengan Tafsir Ulang

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here