Oleh : Ulfa Mutia Hizma
Sebuah subyek surat elektronik nampak menarik perhatian. “Nasyid menjadi Media Penguatan Partisipasi Politik Perempuan Desa”. Keunikan ini terasa lantaran kita terbiasa melihat musik Nasyid identik dengan kaum lelaki baik muda maupun dewasa. Sementara, artikel tersebut bertutur tentang Nasyid yang dijadikan sebagai media bagi keterlibatan kaum perempuan dalam ranah publik.
Festival Nasyid yang dipublikasikan lewat mailist ini, diprakarsai oleh IPD (Intitut Pembaharuan Desa) pada 28 Januari 2007 lalu. Kegiatan ini merupakan rangkaian sebuah workshop selama 4 hari yang melibatkan ibu-ibu di wilayah kabupaten Serdang Begadai (Serge), Sumatera Utara. Perhelatan yang telah diselenggarakan kedua kalinya ini ternyata tetap menarik perhatian mereka. Ini terlihat dari peningkatan jumlah peserta, dimana pada perlombaan kali ini peserta sebanyak 24 group Nasyid dari 11 kecamatan Serge. Sementara tahun lalu hanya diikuti 12 Group Nasyid dari 7 Kecamatan Serge.
Sejarah Nasyid di Indonesia
Masyarakat Indonesia terlebih dahulu mengenal musik qasidah dan gambus ketimbang Nasyid. Musik qasidah dan gambus sendiri sering diidentikan dengan musik Timur Tengah, dengan alat musik tabuhnya semacam rebana dan ketipring (kecrekan). Syair-syairnya terkenal seperti lagu Magadhir, Thala’al Badru ‘Alaina, dan sebagainya. Musik Nasyid sendiri mulai hadir di Indonesia sekitar tahun 1980-an. Saat itu Nasyid hanya dilantunkan di forum-forum terbatas, oleh aktivis muslim di beberapa kampus dan sekolah. Oleh mereka Nasyid digunakan untuk mengobarkan semangat kelompoknya, dengan syair-syair yang bernuansa perjuangan fisabilillah (di Jalan Allah swt.) yang menggelora. Akan tetapi memasuki era tahun 1990-an, Nasyid mulai dikenal masyarakat luas dengan syair yang berisi nasihat, kisah-kisah para nabi, dan pujian kepada Allah swt. Munculnya kelompok vokal Raihan dari Malaysia pada tahun 1996 misalnya, telah memberikan warna baru bagi perkembangan musik Nasyid. Mereka mempopulerkan Nasyid dengan nge-pop dan easy listening. Hal ini membawa perkembangan tersendiri bagi Nasyid, ada yang tetap mengedepankan accapella (vokal), ada yang murni dengan rebana. Namun ada juga yang menonjolkan unsur musik perkusi. Bahkan bukan hal yang aneh, bila ada kelompok Nasyid yang menggunakan alat-alat musik modern, seperti drum dan keyboard dalam penampilannya. Geliat dunia musik Nasyid juga melahirkan grup-grup nasyid domestik, seperti Qatrunnada, Senandung Nasyid, dan Snada. Lirik-liriknya tetap religius namun dibawakan dengan nuansa pop yang membuat Nasyid kian berkibar. Pada Ramadhan tahun 2005, musik Nasyid semakin akrab di telinga masyarakat Indonesia. Salah satu stasiun televisi swasta menyelenggarakan Festival Nasyid Indonesia dan Festival NTQ (Nasyid, Tausyiah, dan Qiroah), laiknya perhelatan Indonesian Idol atau Akademi Fantasi yang tengah digandrungi masyarakat. Sayang, komposisi peserta festival tetap didominasi kaum adam. Sama sekali tidak terlihat oleh kita peserta dari kaum perempuan dalam acara tersebut.
Nasyid, Musik Islam kah?
Dalam hukum Islam, para ulama berbeda pendapat tentang musik. Ulama Muta`akhirin mengharamkan alat musik, sedangkan Ulama Salaf dari kalangan sahabat dan tabi`in menghalalkan alat musik. Menurut mereka tidak ada dalil baik dari Alquran maupun hadis yang jelas mengharamkannya. Karena ada dua pendapat inilah, maka ulama bersepakat untuk mengembalikan musik kepada hukum asalnya yaitu mubah.
Apabila ditelisik, makna kata Nasyid berasal dari bahasa Arab artinya senandung atau lantunan. Melihat perkembangan musik era pra-Islam, pada bangsa Arab terutama suku Badawi, aktivitas bersyair dan bersenandung merupakan kegiatan yang sangat penting. Dengan bersenandung mereka mengungkapkan kondisi jiwa, keinginan, serta memberikan penghargaan atau bukti penghormatan kepada kepala suku dan tamu-tamu kehormatan. Di sini mereka hanya menggunakan Rebana dan seruling.
Begitu juga seperti yang digambarkan seorang ulama terkenal Yusuf Qardhawi. Bahwasanya saat Rasulullah membangun Masjid Nabawi bersama sahabat, Nabi bersenandung untuk menceriakan suasana. Sambil memanggul batu di bahu, syair-syair lagu yang dibawakan oleh para sahabat ini juga diiringi dengan alat musik serupa dengan Nasyid.
Nasyid dan Perempuan
Kiprah perempuan di dunia musik masih dipandang bias oleh sebagian masyarakat. Namun demikian, di tahun 1990-an lahir kelompok Nasyid Muslimah di Indonesia dengan nama Bestari. Salah satu personilnya adalah Asma Nadia, penulis perempuan ternama saat ini. Kelompok Nasyid ini sempat meluncurkan dua album yaitu Bestari I dan Bestari II.
Kehadiran Bestari ini, sangat mengundang kontroversi bagi sebagian masyarakat. Protes yang dihadapi oleh Bestari, tidak hanya dari tokoh agama. Para Muslimah pun menentang kehadiran mereka. Hal ini karena stigma ‘tabu’ atas suara perempuan, sangat kental di sebagian kalangan Islam Indonesia. Sebagian mereka masih mengharamkan suara perempuan yang diperdengarkan di depan publik, karena dianggap sebagai aurat.
Sebenarnya apa alasan diperkenalkannya Nasyid perempuan ini? Dalam sebuah situs, Bestari mengungkap, bahwa ditemukan potensi muslimah yang secara genetik memang mempunyai potensi lebih baik dari kebanyakan suara ikhwan. Maka alangkah mubazirnya jika potensi ini dibiarkan saja. Sejak itu, 10 orang muslimah yang tergabung dalam Forum Komunikasi Muslimah (FKM) konsisten dengan pengembangan seni suara dan mulai mengarang lagu, dan berlatih secara rutin.
Sebagaimana kelompok Bestari, festival Nasyid yang diselenggarakan oleh Siti Dahniar dan kawan-kawan dari IPD, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tersebut, juga memberikan warna baru bagi kaum perempuan. Ajang ini memberi pencerahan dan motivasi bagi mereka khususnya di wilayah Serge untuk berkiprah di ruang publik.
Seorang ahli pendidikan dan psikologi Bulgaria Dr. Georgi Lozanov menyatakan bahwa peran musik sangat penting untuk membangkitkan suasana hati ceria, dan meningkatkan daya kreatifitas. Dengan demikian, Festival Nasyid ini, tentu dapat mengarahkan kaum perempuan untuk lebih kreatif dan semangat berjuang. Hal ini patut kita beri apresiasi, sebagai wujud aspirasi kaum perempuan desa yang memperjuangkan keadilan dan kesetaraan.
Beberapa peserta festival mengaku, mereka termotivasi mengikuti kegiatan karena berharap suara – aspirasi mereka didengar oleh pemerintah kabupaten Serge. Sebab melalui trik-trik lantunan syair Nasyid, mereka telah menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Harapannya agar pemerintah lebih memberikan ruang bagi perempuan untuk berkreasi. Mereka percaya, apa yang diupayakan adalah bentuk protes yang santun sekaligus kritik yang membangun. Sehingga hal ini dapat diterima oleh semua pihak dengan tersenyum.
Daftar Pustaka
Deporter, Bobbi & Mike Hernacki. Quantum learning : membiasakan belajar nyaman dan menyenangkan. Bandung, KAIFA, 1999.
Fijriah, Yohana. Fenomena Nasyid sebagai identitas bagi kelompok Jamaah tarbiyah. Jakarta: Universitas Nasional, 2004.
Siar Massa (Media Komunikasi Antar Masyarakat Desa), “Nasyid menjadi media Penguatan partisipasi politik perempuan desa”. Terbitan Berkala IPD Edisi Januari 2007.
Redaksi Buletin Studia. “Islam Bukan Cuma Nasyid”. Bogor Edisi 218/Tahun ke-5 (25 Oktober 2004)
Studia Edisi 218/Tahun ke-5, “Islam Bukan Cuma Nasyid” (25 Oktober 2004)
http://hujan_cha_hening.blogs.friendster.com/my_blog/2007/08/jilbab_putih_.html
http://ms.wikipedia.org/wiki/Nasyidhttp://forum.wgaul.com/archive/thread/t-19021-Hukum-Musik-dan-Lagu.html
http://www.mail-archive.com/fupm-ejip@usahamulia.net/msg00980.html
http://bestariNasyid.multiply.com/journal/item/1/Memberi_Ruang_Pada_Nasyid_Muslimah
Similar Posts:
- Budaya, Karya untuk Kemanusiaan
- Rangkaian Duta Santri Nasional 2021 : Festival Halal Fashion sebagai Talent Pool dan Pemberdayaan Desainer Pemula
- Dari Forum APF/ACSC 2011 Memperjuangkan “Suara Rakyat” melalui Mekanisme ASEAN
- Kepemimpinan Perempuan Muslimah Reformis
- Gerakan Shalawat Musawa Pengalaman dari Ledokombo, Jember