Tokoh pembela hak perempuan ini bernama Nyai Hj. Shinto Nabilah, Pengasuh Pondok Pesantren (PP) Al-Hidayat, Salaman Magelang. Dalam hal Kesetaraan ia tidak hanya mempraktekkannya di lingkungan domestik. Di ranah publik, ia menyampaikan kesetaraan kepada umat melalui berbagai media dan pendekatan, salah satunya dengan budaya. Bagi alumni PP. Al-Husna, asuhan KH. Abdullah Salam, Kajen, Margoyoso-Pati, Jawa Tengah ini, budaya guyonan (Jawa: Berkelakar-Red.) dapat dijadikan sarana membangun kesetaran. Sebab dalam guyon yang kadang hanya sebatas bercanda, juga tidak boleh “bias”, dan harus tetap mengusung kesetaraan. Bagaimana Pembina Cabang (PC) Muslimat Magelang ini mengemas pementasan drama parodi yang bernuansa ide kesetaraan dalam tajuk Guyon Maton? Dan bagaimana cara ia menyampaikan kesetaraan kepada umat secara luas? Istri dari KH. Ahmad Lazim Zaini dan ibu dari lima putra-putri ini menuturkan ide-idenya dalam wawancara dengan Swara Rahima beberapa waktu lalu. Berikut petikannya:
Selama ini apa saja yang menjadi kegiatan Bu Nyai?
Kegiatan saya mengajar dan mengawasi seluk-beluk kegiatan santri-santri di PP. Putri Al-Hidayah selama 24 jam. Di samping itu, banyak juga kegiatan di masyarakat yang menjadi tugas saya, seperti ngaji di lingkup Fatayat, Muslimat di wilayah Magelang maupun di luar Magelang. Terkadang juga ceramah untuk acara PHBI (Peringatan Hari Besar Islam), maupun acara-acara tasyakuran seperti untuk ngantenan (pesta pernikahan-Red.), sunatan, haji, dan lain-lain.
Bagaimana pengalaman Bu Nyai dalam menggunakan media budaya kesenian untuk kegiatan dakwah?
Saya sering kali menggunakan shalawatan dengan rebana, karena inilah yang paling membudaya. Akan tetapi di pondok saya adakan juga pertunjukan drama oleh para santri putri, setengah bulan sekali. Di tambah lagi pentas pertunjukan komedi Guyon Maton.
Apa guyon maton itu?
Guyon maton adalah pertunjukan panggung seperti drama tetapi dikemas secara humoris, atau komedi. Guyon itu artinya guyonan, bercanda, sedang Maton sendiri maksudnya memiliki tujuan, atau menyimpan tujuan. Jadi Guyon Maton itu sebuah pertunjukan komedi yang memiliki tujuan tertentu, yang tersimpan.
Kapan dan di mana Guyon Maton dipentaskan, dan apa “tujuan yang tersimpan” itu?
Pertunjukan Guyon Maton ini sangat biasa dilakukan, baik di lingkungan pondok sendiri ataupun di luar pondok. Temanya pun sangat beragam, tentunya tentang kehidupan sosial masyarakat. Inilah yang menjadi tujuan yang tersimpan dalam Guyon Maton, yakni salah satunya mengajarkan tentang pengetahuan hidup yang setara di antara kaum lelaki dan perempuan kepada para santri sekaligus masyarakat yang menyaksikan pertunjukan ini. Kebiasaan membuat pertunjukan ini sebetulnya sudah berjalan lama sekali, tetapi kalau materi tentang “Kesetaraan” yang menjadi muatan dalam setiap pementasan, jelasnya semenjak tahun 1997, saat itu saya diundang oleh Ibu Shinta Nuriyah, Ketua Badan Pengurus Puan Amal Hayati untuk mengikuti kajian tentang nilai kesetaraan, atau relasi adil antara kaum lelaki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Bagaimana proses kreatif dalam Guyon Maton ini?
Tentunya proses kreatif di sini di bangun melalui latihan-latihan yang sering kali diadakan, baik latihan tentang berdrama dan membuat pertunjukannya, maupun pelatihan-pelatihan lainnya. Semisal pelatihan tentang Kesetaraan yang diberikan untuk santri pondok putri, yang biasanya diadakan tiap satu atau dua tahun sekali. Meskipun tidak begitu sering, tetapi saya selalu mengajarkan tentang relasi setara setiap kali mengkaji kitab-kitab di pondok bersama mereka. Dari materi pelatihan inilah, biasanya tema tentang Guyon Maton diambil.
Sekarang bagaimana perkembangan Guyon Maton itu sendiri? Dan sejauh mana efektivitasnya untuk membangun kesetaraan?
Untuk sementara Guyon Maton tidak pentas di lingkungan pondok, sampai bulan Ramadlan nanti baru akan tampil lagi. Namun di luar pondok Guyon Maton masih tetap mengadakan pementasan. Guyon Maton di tempat saya cukup efektif untuk memberikan contoh pelajaran bagaimana hidup yang seimbang, setara antara laki-laki dan perempuan. Hal ini dapat dilihat dari dalam tim Guyon Maton sendiri, dimana para pemain baik lelaki maupun perempuan saling berbagi peran dan pekerjaan secara seimbang. Bahkan dalam Guyon Maton ini yang paling mendominasi proses kreatif dalam pementasan adalah perempuan, dan hanya sesekali saja melibatkan santri laki-laki.
Menurut Ibu media seperti apa yang harus digunakan umat Islam dalam membangun kesetaraan di masa mendatang?
Ke depan umat masih tetap beragam, jadi media yang paling tepat, cepat dan bisa langsung diterima dan dicerna itu ya televisi. Karena televisi-lah yang saat ini bisa menjangkau masyarakat mulai dari bawah hingga masyarakat atas. Sekarang itu buku-buku, bacaan-bacaan lain masih dikuasai oleh kalangan terpelajar, mahasiswa, dan intelektual. Kalau untuk masyarakat awam ya sekali lagi televisi yang harus kita manfaatkan untuk membangun kehidupan yang setara.
Adakah upaya yang Ibu ambil untuk membangun media kesetaraan ini?
Sekarang yang jadi pemikiran adalah bagaimana memasukkan rangkaian acara yang bermuatan “relasi adil” ini ke dalam acara televisi, atau radio-radio yang ada. Tetapi yang baru bisa kami upayakan adalah melakukan siaran di Radio-Magelang dengan ceramah interaktif. Di sini para pendengar dapat bertanya atau menanggapi ceramah secara langsung.
Apa nama acara di radio tersebut Bu Nyai, dan apa saja materi yang diangkat?
Acara di radio ini bernama “Untukmu Perempuan”. Materi-materi yang disampaikan tentu saja masalah-masalah keislaman, dan juga masalah-masalah yang terkait dengan kesetaraan.
Jika televisi dan radio bisa menjadi media untuk sosialisasi kesetaraan, apakah ceramah dan pengajian di majelis ta’lim tidak dibutuhkan lagi?
Tentu saja sarana seperti ceramah, pengajian masih akan tetap dibutuhkan. Hal ini yang tetap saya lakukan bersama dengan santri-santri saya di pondok putri. Di mana setiap satu peserta pengajian dari ibu-ibu ditanggapi oleh satu orang santri. Kita juga mengadopsi metode andragogi. Setiap satu murid ditangani oleh satu orang guru, entah itu untuk mengkaji Tafsir, Iqra’, maupun Alquran. Dengan begitu kebiasaan-kebiasaan ngaji di dalam masyarakat akan tetap membudaya.
Adakah media lain yang Bu Nyai gunakan untuk membangun ide kesetaraan?
Saya memanfaatkan sarana konseling keluarga untuk menularkan pemahaman tentang kesetaraan. Biasanya banyak tamu yang datang untuk curhat kepada saya tentang masalah rumah tangga. Maka di sinilah saya sampaikan kepada mereka tentang bagaimana seharusnya hidup rukun dan setara antara suami-istri, antara kaum lelaki dan perempuan. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Sahabat Umar Bin Khattab dahulu. Dalam satu riwayat dikisahkan bahwa istri Sayyidina Umar suka mengomel, tetapi sahabat selalu sabar menghadapinya. Sehingga pada satu ketika datang seorang penduduk ke tempatnya untuk mengadu tentang istrinya yang tidak shalihah, tiba-tiba penduduk itu mengurungkan niatnya. Hal ini karena dia mendengar istri sahabat Umar yang sedang mengomel, namun demikian Sahabat terdengar sabar menanggapinya. Penduduk itu pun pulang kembali ke rumah dengan berpikir akan bersikap sama seperti sahabat kepada istrinya.
Sebetulnya seperti apa gambaran kehidupan umat di sekitar Ibu?
Secara tidak langsung, kehidupan umat di lingkungan saya sangat menghargai kaum perempuannya. Para Bapak itu akan merasa cotho (banyak urusan terbengkalai-Red.) jika tidak ada saling kerja sama yang baik antara lelaki dan perempuan, antara suami dan istri.
Bagaimana cara Ibu menyampaikan ide kesetaraan ini?
Dalam menyampaikan materi kesetaraan ini, saya selalu menerapkan pepatah “Ibarat orang makan obat dalam pisang”. Misalkan saja dalam acara mantenan (pesta pengantin-Red.), dalam gaya shalawatan, saya sampaikan pada mereka tentang kewajiban dan hak yang berimbang antara laki-laki dan perempuan. Misalnya shalawatan dalam bahasa Jawa:
Eling-eling dadi wong lanang, kewajiban kang pirang-pirang. Wajib mulangi bab sholate, wajib mulangi bab agamane. Wajib nafaqohi, wajib nyandangi, wajib jejeri. Priyantun kakung engkang wibawa ora nyentak-nyentak marang sang garwo.
(Ingat-ingatlah menjadi lelaki, kewajibannya banyak sekali. Wajib mengajari dalam hal shalatnya, wajib mengajari dalam hal agamanya. Wajib memberi nafkah, wajib memberi pakaian, wajib mendampingi selalu. Seorang lelaki yang bijaksana, tidak pernah berkata-kata kasar pada sang istri-Red.).
Untuk kaum perempuan di lingkungan Bu Nyai, sejauh mana kesadaran mereka untuk membangun hidup yang setara?
Kesadaran kaum perempuan di sini untuk hidup “setara” sudah mengalami banyak peningkatan. Karena saat ini masyarakat di lingkungan saya bukan lagi masyarakat yang terpinggirkan, mereka telah banyak mengetahui tentang konsep kesetaraan. Para ibu-ibunya sendiri masih bersemangat untuk belajar dan mengaji. Mengajinya pun tidak sekedar datang ke majelis lalu mendengarkan, tetapi ibu-ibu ini selalu membawa alat-alat tulis, buku dan pulpen untuk mencatat materi atau pelajaran yang disampaikan. Jadi mereka benar-benar ingin bisa, ingin membangun kualitas hidup mereka, tidak sekedar mengatasi urusan rumah tangga dan urusan domestik lainnya.
Sesungguhnya dalam mengaji dan mengajar ini, media budaya apa yang Ibu gunakan?
Seringnya ceramah di podium dengan pengeras suara, dan tentu saja di tempat yang membuat para mustami’in (pendengar pengajian-Red.) merasa nyaman. Misalnya di mushala-mushala, masjid, di pondok pesantren, maupun majlis-majlis ta’lim lainnya. Kalau di pondok sendiri ya dengan alat-alat tulis, kitab-kitab, dan lain sebagainya.
Lalu apa pendapat Bu Nyai tentang ide kesetaraan itu sendiri?
Dalam kesetaraan antara lelaki dan perempuan adalah saling melengkapi. Keduanya sama-sama memiliki power (kekuatan-Red.), sama-sama memiliki kekurangan dan kelebihan. Meskipun secara fisik lelaki memiliki kekuatan lebih dibanding perempuan, secara mental kebanyakan perempuan-lah yang dididik untuk lebih sabar dalam mengatasi segala urusan yang jlimet (rumit-Red.). Jadi alangkah indahnya, untuk keberhasilan hidup di dunia dan akhirat, lelaki dan perempuan saling melengkapi dan menyempurnakan kekurangan atau kelebihan masing-masing.
Sebagai materi berdakwah, bagaimana Ibu menempatkan ide kesetaraan?
Saya selalu menyelipkan ide kesetaraan di tiap-tiap kesempatan, baik di pengajian muslimatan, ngantenan, maupun lainnya. Biasanya saya selalu sampaikan pada mereka, bahwa antara lelaki dan perempuan saling membutuhkan saling melengkapi. Tidak bisa apabila lelaki dan perempuan satu sama lain saling menang–menangan (tidak mau mengalah-Red.), itu tidak mencerminkan kesetaraan. Karena pada dasarnya baik lelaki atau perempuan sama-sama berhak menampakkan dan membangun jati dirinya untuk saling berbagi peran di dalam lingkup keluarga maupun masyarakat. Dengan catatan masing-masing tidak boleh berlebihan dalam mengambil perannya. Karena sebetulnya antara lelaki dan perempuan, satu sama lain sebetulnya adalah setara.
Bagaimana Ibu menyampaikan hal kesetaraan kepada santri di Pesantren yang Ibu asuh?
Pengetahuan tentang kesetaraan ini biasanya saya selipkan ketika saya sedang mengkaji tafsir di pondok. Biasanya saya ambilkan contoh-contoh teks agama baik dari Alquran ataupun Hadis yang kandungannya berbicara tentang jati diri, kesetaraan, dan keadilan antara lelaki dan perempuan. Tentunya hal ini saya terangkan secara berimbang kepada mereka. Misalkan ada Hadis yang berbunyi, Tholabul ‘ilmi faridlatun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin. Lalu saya terangkan kandungan Hadis ini menyatakan bahwa antara lelaki dan perempuan saling berhak dan berkewajiban untuk mencari ilmu sebanyak yang mereka inginkan. Jelaslah bahwa Nabi saw. pun, semenjak awal perkembangan agama Islam telah mengutamakan nilai-nilai kesetaraan. Oleh karena itu kita sebagai umatnya juga harus mengikuti apa yang telah disampaikannya.
Terakhir, bagaimana Ibu memberikan contoh keteladanan tentang hidup yang setara di dalam bermasyarakat?
Saya pribadi selama ini berusaha untuk membangun hidup yang setara, selalu memberi kebebasan untuk mengambil peran dan pekerjaan, baik di rumah tangga, maupun di dalam hidup bermasyarakat. Dan satu hal lagi, sesibuk apapun, saya selalu mengutamakan komunikasi di antara anggota keluarga.
(Hafidzoh)