Judul Asli : Khadijah Ummul Mu’minin Nazharat Fi Isyraqi Fajril Islam
Penulis : Abdul Mun’im Muhammad
Penerbit : Pena Pundi Aksara
Tahun Terbit : Agustus 2007 (Cet.V)
Tebal : viii + 363
Buku laris manis lho,
Khadijah binti Khuwailid berasal dari kaum Quraisy. Berbeda dengan masyarakat Quraisy pada umumnya, keluarga Khadijah menolak pemujaan terhadap berhala, hidup berfoya-foya, mengumbar nafsu dan meminum khamar. Mereka lebih memilih menjalani hidup bersih dan menunjukkan akhlak yang mulia. Dengan gambaran seperti itu dapat dikatakan bahwa, pada masanya, keluarga Khadijah paling terhormat di kalangan suku Quraisy.
Khadijah lahir lima belas tahun sebelum Rasulullah. Khadijah muda adalah seorang perempuan cantik dan berperilaku baik. Dia menikah dengan Abu Halah an-Nabbasy ibnu Zurarah at-Taymi dan mempunyai dua anak laki-laki, Hindun dan Halah. Pernikahan ini berakhir ketika Abu Halah wafat. Kemudian dia menikah dengan Athiq ibnu Aid al-Makhzumi. Dari pernikahannya yang kedua ini, ia melahirkan anak perempuan yang juga diberi nama Hindun. Setelah pernikahan keduanya berakhir, dia lebih memilih hidup sendiri, mengasuh anak dan terjun ke dunia dagang, daripada menerima lamaran para lelaki yang meminangnya dengan tawaran harta berlimpah. Sehingga dia memperoleh gelar “perempuan yang suci” (thahirah).
Khadijah dikenal sebagai seorang pedagang yang sukses dan jujur, dalam dunia yang dikuasai laki-laki itu. Dia mampu bersaing dengan pedagang laki-laki. Bahkan mampu mempekerjakan karyawan laki-laki. Khadijah memiliki kekuasaan atas apa yang dimilikinya. Hal yang tidak lazim dalam tradisi Arab Jahiliyah.
Dalam hal perkawinan, Khadijah juga melangkahi tradisi Arab. Dalam tradisi Arab, seorang perempuan hanya boleh menunggu lamaran laki-laki. Bertentangan dengan itu, Khadijah, dengan keyakinan dan keteguhan hatinya, memutuskan untuk memilih sendiri laki-laki yang akan menjadi pendampingnya. Pilihannya jatuh pada Muhammad. Pilihan ini di dasarkan pada keyakinannya bahwa Muhammad adalah sosok yang dapat membahagiakannya, dapat dipercaya menjaga harta bendanya dan mengelola usaha perdagangannya. Perlawanannya terhadap tradisi itu juga tampak dalam pemilihan calon suami anak perempuannya, Zainab. Dasar pertimbangan utama yang dipakai adalah akhlak yang mulia dan sifat-sifat ksatria; bukan kekerabatan dan kekayaan materi, sebagaimana tradisi Arab.
Setelah Zainab, Khadijah dikarunia lagi dua orang putri, yakni Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Tidak seperti kebanyakan masyarakat Arab yang menerima kelahiran anak perempuan dengan rasa jengkel dan kecewa, Khadijah menyambut kelahiran anak-anaknya dengan rasa bahagia. Sementara masyarakat Arab umumnya bingung ketika mendapatkan anak perempuan. Mereka dihadapkan pada pilihan, apakah membiarkan hidup anak itu dengan risiko menanggung kehinaan sepanjang hidupnya, ataukah menguburnya hidup-hidup. Prilaku masayarakat Arab yang seperti itu digambarkan Allah swt dalam Al-Qur’an.
“Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah. Dia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung kehinaan) atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah, alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu.” (an-Nahl: 58-59)
Rasulullah menunjukkan sikap yang sama. Ia bergembira menyambut kelahiran setiap anak-anaknya, tidak peduli laki-laki atau perempuan. Dan pada berbagai kesempatan, Rasulullah mendorong kaum muslimin untuk lebih memperhatikan anak perempuan mereka. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa memiliki seorang anak perempuan lalu ia mendidik dan mengajarnya dengan baik serta memberikan kepadanya itu nikmat Allah yang telah diterimanya, maka anak perempuan itu akan melindungi dan menghindarkannya dari api neraka.” (hal.337). Dengan sikap seperti itu, Rasulullah telah merintis sebuah tradisi mulia, yakni penghormatan terhadap perempuan. Hal itu bahkan ditunjukkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ruqayyah dan Ummu Kultsum misalnya mendapatkan pendidikan dan asuhan yang sangat baik. Mereka menjalani hidup bahagia dalam keluarga yang mulia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Islam sebenarnya sangat menghargai perempuan.
Khadijah adalah orang pertama yang meyakini Muhammad sebagai rasul Allah. Dia senantiasa menghibur Rasulullah dari rasa takut yang dahsyat ketika menerima wahyu-wahyu Allah yang disampaikan malaikat jibril. Membenarkan ajaran-ajaran Rasul di saat orang mengingkarinya. Dia mendampingi Rasulullah dalam menyebarkan agama Islam. Lebih daripada itu, dia membelanjakan seluruh hartanya untuk keperluan perjuangan Rasulullah. Segenap suka dan duka dijalaninya bersama suaminya tanpa keluh kesah. Karena keistimewaan ini, Allah menjanjikan sebuah rumah yang terbuat dari permata di surga. Sebagaimana digambarkan dalam sebuah hadits :
“Jibril datang kepadaku dan berkata,Wahai Rasulullah, sebentar lagi Khadijah akan membawakan makanan dan minuman untukmu. Kalau ia datang, sampaikan salam dari Allah dan dariku. Beri tahu juga padanya bahwa akan dibangun untuknya di surga sebuah rumah dari permata; tak ada hiruk-pikuk dan rasa lelah di sana.” (HR. Bukhari dan Muslim) (hal. 109)
Secara garis besar, buku ini tidak ada bedanya dengan buku-buku sejarah Rasulullah. Ada gambaran tentang kehidupan rumah tangga Rasulullah beserta istri dan anak-anaknya, risalah kenabian dan fase awal penyebaran Islam. Bagaimana Rasulullah melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi maupun secara terbuka. Tantangan yang dihadapi Rasul dan keluarganya dalam menyebarkan ajaran Islam. Pada bagian akhir dari buku ini, penulis memaparkan keistimewaan-keistimewaan Khadijah dan kehidupan anak-anak Rasulullah beserta keluarganya. Sayangnya, ulasannya tidak tuntas. Sehingga kita tidak dapat menangkap secara utuh sosok Khadijah yang agung.Khadijah patut di teladani, terutama oleh ulama perempuan. Ia sabar dalam berdakwah, teguh pada pendirian, menjunjung tinggi kebenaran, dan berani menolak tradisi yang dianggapnya keliru.
Kita umat Islam pada umumnya mengenal Khadijah sebagai istri Nabi Muhammad saw tetapi banyak diantara kita yang tidak tahu tentang betapa besarnya kiprah dan sumbangannya pada rentang awal perjuangan Nabi dalam menyebarkan ajaran Islam. Banyak buku yang ditulis tentang Khadijah tetapi tidak banyak yang mengungkap sosoknya secara utuh, sebagai istri, ibu, sekaligus pejuang. Buku berjudul Khadijah: The True Love Story of Muhammad karangan Abdul Mun’im Muhammad inipun tak luput dari hal itu.
Semoga di masa mendatang, akan lahir karya-karya baru yang lebih mengungkap khazanah kemanusiaan Khadijah secara komprehensif. Jika itu terjadi, setidaknya diharapkan akan terbuka mata hati semakin banyak orang akan kiprah dan eksistensi kaum perempuan bagi tegaknya keislaman di muka bumi ini. Yakinlah, perempuan bukanlah “pemain” pinggiran dalam sejarah Islam. Mereka berada di jantung peradaban Islam itu sendiri. Dian Uswatun Hasanah.