Di era abad 21 ini, secara umum dunia perempuan belum juga terbebas dari belenggu sistem patriarkhi. Hal tersebut termasuk meliputi pula beberapa negeri-negeri Islam. Situasi ini bisa jadi disebabkan minimnya jumlah ulama perempuan yang berpengaruh dan memiliki kemampuan untuk menafsirkan teks-teks Alquran dan hadis dalam koridor perspektif perempuan. Kalaupun ada, mereka memiliki resiko ”dimatikan” sebelum tumbuh berkembang.

Ulama perempuan memang tidak serta merta memiliki perspektif perempuan, dan bukan berarti tidak ada ulama laki-laki yang berperspektif perempuan. Namun, dengan minimnya perempuan mendapatkan kesempatan untuk menjadi ulama, akan membuat suara perempuan akan menjadi hilang ataupun tak terdengar. Dengan mendidik ulama perempuan untuk lebih mengasah kepekaan pada hak perempuan, akan membuat suara perempuan yang selama ini banyak termarginalkan dapat terangkat ke permukaan. Dengan perempuan bersuara, diharapkan secara perlahan ulama perempuan dan ulama lelaki akan memiliki otoritas yang sama; disamping kejelasan keberpihakannya.

Saat ini juga tengah terjadi ikhtiar di beberapa organisasi keagamaan Islam besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah untuk melibatkan kaum perempuan di ranah keulamaan. Saat ini, terdapat sedikit kemajuan seperti di Majelis Tarjih Muhammadiyah   yang  mengakomodir kehadiran beberapa ulama perempuan. Namun perjuangan untuk memperkuat kembali kehadiran para ulama perempuan ini masih perlu jihad dan perjuangan yang panjang. Upaya untuk memasukkan nama-nama perempuan di jajaran Syuriah NU, misalnya juga  masih mengalami resistensi sampai sekarang.

Keprihatinan ini juga telah menjadi pemikiran Rahima untuk menyelenggarakan program Pengkaderan Ulama Perempuan (PUP). Kehadiran ulama perempuan perlu ditumbuhkembangkan mengingat jumlahnya yang minim dibandingkan ulama laki-laki; sehingga menyebabkan fatwa keagamaan cenderung bias kepentingan laki-laki. Selain itu, dengan mengasah ketajamanan analisis sosial mereka melalui perspektif perempuan; diharapkan mereka dapat berkiprah lebih besar di lembaga-lembaga keulamaan untuk menyuarakan kepentingan dan memberdayakan  perempuan sebagai kelompok umat yang selama ini terpinggirkan.

Penutup

Apa yang harus dilakukan oleh kita untuk memberdayakan perempuan agar dapat menjadi ulama perempuan? Sesungguhnya penegakan nilai-nilai Islam di muka bumi ini, sejak mulanya telah membawa semangat egaliter. Bahwa semua manusia mempunyai berbagai hak untuk menjadi  manusia yang bermartabat, termasuk mendapat pendidikan dan pengakuan akan keahliannya. Jadi bukan sekedar ”alasan duniawi atau inspirasi dari ranah di luar Islam. Atau sekedar alasan emansipasi semata. Pengakuan terhadap keulamaan perempuan dan sekaligus upaya melakukan penyemaian adalah berangkat  dari, kesetaraan dan keadilan, sebagai nilai fundamental Islam, agama yang kita percaya  sebagai pembawa rahmatan bagi alam semesta. Dan hal ini telah ditunjukakan secara prima oleh Muhammad pada masa kenabiannya. Untuk memperbanyak jumlah ulama perempuan dimasa depan, tidak ada pilihan lain kaum perempuan harus memperoleh dan menggunakan akses dan peluang dalam lembaga-lembaga keagamaan, terutama lembaga pendidikan seluas-luasnya. Disamping itu kaum perempuan sendiri harus meningkatkan kualitas diri dan kemampuan intelektualitasnya melalui jalur pendidikan. Jika kehadiran ulama perempuan yang memiliki keberpihakan untuk keadilan relasi lelaki-perempuan, bagaimana cara melahirkannya? Ikhtiar untuk menumbuhkembangkan ulama perempuan  tentu menjadi concern kita sehingga  persoalan yang selama ini dihadapi oleh perempuan dapat tuntas terjawabkan.

 

Baca Juga:

Fokus 1: Mengapresiasi  Kembali Kedudukan dan Peran Ulama Perempuan

Fokus 2: Ulama Perempuan di Zaman Nabi Muhammad Saw.

Fokus 3:  Tantangan Perempuan menjadi Ulama

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here