”Ambilah setengah urusan agama kalian dari Humairah ” (Hadits At Tirmidzi)
Pada zamannya, Aisyah ra. yang memiliki julukan Humairah dikenal sebagai perempuan yang sangat cerdas. Begitu cerdasnya, hingga Rasulullah sendiri memberikan kepercayaannya kepadanya tersebut untuk memberikan jawaban atas sebagian dari masalah umat. Sejarah mencatat ada 1.210 hadis Rasulullah diriwayatkan oleh Aisyah ra. Dan sekitar 300 di antaranya bahkan telah diriwayatkan kembali secara bersama oleh ahli hadis Al Bukhari dan Muslim.(Lihat Imam Badruddin Az-Zarkasyi, Aisyah Mengkoreksi Para Sahabat, halaman 50).
Sayangnya, beberapa abad setelah nabi wafat, posisi sosial perempuan yang semula membaik kembali mengalami krisis. Alih-alih stabil secara sosial, posisi perempuan malah berbalik kembali ke nilai-nilai pra Islam. Selain masalah menguatnya lagi tribalisme (rasa kesukuan) Arab, pasca Nabi, Fatimah Mernisi memvonis adanya pelepasan historis bentuk pemahaman ajaran agama terhadap perempuan. Akibatnya sangat jelas, patriarki kembali memberi pengaruh kuat dalam menafsirkan ajaran Islam. “Perempuan kembali tidak dipercaya,” demikian tulis Mernisi dalam Women in Islam.
Martin Van Bruinessen memiliki cerita menarik (namun ironik) dari kisah ketidakpercayaan itu. Di Banjarmasin, ada sebuah kitab kuning bernama Perukunan Jamaluddin. Kitab tersebut membahas beberapa hal yang berhubungan dengan perempuan, seperti masalah haid dan tata cara bersuci bagi seorang perempuan setelah masa haid atau nifasnya selesai. Tapi uniknya, orang Banjarmasin tahu kitab ini bukan ditulis oleh Jamaluddin putra Arsyad al-Banjari melainkan oleh seorang cucu perempuan dari Syeikh Arsyad al-Banjari yang bernama Fatimah. Karena ketidaklaziman akan kemampuan seorang perempuan, masyarakat Banjarmasin sebagian besar tidak bisa menerima Fatimah sebagai penulis kitab fiqh perempuan yang telah memiliki perspektif perempuan itu.
Kisah seperti Fatimah di atas, masih banyak kita jumpai dalam keseharian kita. Betapa sering kita saksikan bahwa ulama perempuan dengan kapasitas keilmuan dan tingkat penyampaian yang sama, tetap memiliki perbedaan pengakuan di mata ummat. Penamaan ulama laki-laki sebagai Kyai, Tuan Guru, Tengku; sementara perempuan sebatas Bu Nyai atau Ustadzah memberi konsekuensi berbeda. Seorang ulama laki-laki dapat memimpin pesantren, memangku jabatan sebagai ketua ormas keagamaan Islam atau Majelis Ulama dan memimpin tabligh akbar, istighosah maupun majelis dzikir yang dihadiri ribuan jama’ah; sementara perempuan sebatas menjadi pendamping Pak Kyai yang notabene urusan domestik pesantren ataupun paling banter memimpin majelis ta’lim tingkat kampung. Hal ini tentu saja berimplikasi pada pengakuan publik, legitimasi politik, atau yang terkadang sungkan untuk disebut implikasi sosial-ekonomi akibat peran ini.
Situasi seperti di atas, tentunya tidak harus terus terjadi. Sebab minimnya peran maupun ketidaksiapan masyarakat untuk memberikan pengakuan (baca : ulama) perempuan dalam upaya menafsirkan teks-teks dalam Islam akan berimbas kepada makin terpuruknya posisi perempuan Islam dalam dominasi patriarkhi. Karena itu, memunculkan ulama-ulama dari kalangan perempuan adalah sebuah urgensitas yang memiliki tujuan mulia dan harus dilestarikan. Perempuan pernah memiliki peran dalam sejarah perkembangan Islam, jadi apa salahnya jika kita menagihnya kembali?
Ulama Sebagai Tonggak Agama
Ulama merupakan sosok yang sangat strategis dalam Islam. Dalam banyak hal, mereka dipandang menempati kedudukan dan otoritas keagamaan setelah Nabi Muhammad sendiri. Salah satu hadis bahkan menyatakan ”ulama merupakan pewaris para Nabi” (Al-’ulama ’waratsah al-anbiya’). Wajar jika dalam Islam, posisi mereka dihormati. Pendapat mereka juga dianggap mengikat dalam berbagai masalah, bukan hanya menyangkut masalah ibadah semata tapi juga aspek kehidupan sehari-hari. Signifikansi peran ulama dalam Islam terletak pada kenyataan bahwa mereka dipandang sebagai penafsir-penafsir yang sah dari sumber-sumber asli ajaran Islam, yakni Alquran dan hadis. Selain memiliki pengetahuan agama yang mendalam dan ketinggian akhlak, para ulama bergerak pada berbagai kegiatan sosial.
Istilah ulama sendiri merupakan bentuk jamak dari kata benda (fa’il) bahasa Arab ’alim’, berasal dari kata kerja ’alima’ yang berarti ”mengetahui” atau ”berpengetahuan tentang”. Sedangkan ’alim’ adalah seseorang yang memiliki atribut ’ilm sebagai suatu kekuatan yang berakar kuat dalam ilmu pengetahuan seseorang yang sangat terpelajar dalam ilmu pengetahuan dan literatur. Singkatnya ulama adalah para pemilik ’ilm.
Begitu “agungnya” kedudukan ulama, sehingga tidak semua orang bercita-cita ingin menjadi ulama. Dalam pemikiran mayoritas mayarakat kita, ketika mendengar kata ulama yang ada dalam bayangan mereka adalah; orang suci, ahli agama, dan sudah pasti berjenis kelamin laki-laki. Padahal jauh saat masa Nabi, sejarah membuktikan bahwa perempuan pun ternyata bisa berkiprah menjadi seorang ulama.
Baca Juga:
Fokus 2: Ulama Perempuan di Zaman Nabi Muhammad Saw.
Fokus 3: Tantangan Perempuan menjadi Ulama
Fokus 4: Melahirkan Kembali Ulama Perempuan