“Uang kami tak punya, sawah ladang tak punya, apalagi yang bisa kami jual kecuali anak perempuan kami?” (sumber: Pemantau peradilan.com, 19 Oktober 2005, Tulisan Sulistyowati Irianto, Pembangunan Hukum 60 Tahun Pasca Kemerdekaan dari Perspektif Perempuan)
Banyak penelitian mengungkap bahwa pelaku perdagangan anak-anak perempuan adalah orang tua mereka sendiri. Ada pandangan yang menyatakan semakin muda usia seorang remaja putri ‘berhasil’ dikawinkan oleh orang tuanya menandakan sang anak semakin berkualitas. Dalam hal ini keperawanan mempunyai “nilai jual” yang tinggi. Sampai sekarang anggapan tersebut masih berlaku di beberapa daerah di Indonesia.
Nilai keperawanan masih dipegang kuat di negara-negara dunia ketiga. Para lelaki hidung belang dan penikmat seks akan berani merogoh “kocek” lebih dalam lagi demi memperoleh keperawanan seorang gadis. Mitos yang menyatakan keperawanan seorang gadis akan menjadikan seseorang awet muda dan berumur panjang sudah mengakar kuat. Inilah yang menyebabkan anak-anak perempuan menjadi inceran para pemilik dunia hiburan. Anak-anak yang masih polos seolah-olah terbiasa melakoni kehidupan seks. Dunia hiburan menjadi dunia yang biasa bagi mereka. Meskipun sungguh banyak diantara mereka menderita karenanya.
Masa depan anak-anak yang tergadaikan tidak sebanding dengan jumlah uang yang diperoleh orang tua. Perdagangan anak-anak perempuan terselubung tersebut senantiasa menjadi polemik dan tantangan tersendiri dalam menghapuskan perdagangan perempuan dan anak. Keterlibatan orang tua dan keluarga dekat korban menjadikan aktivitas ini bak benang kusut yang sulit diurai.
Padahal anak adalah lentara kehidupan. Mereka menjadi sosok-sosok yang lucu dan menggemaskan. Menjadi pelupur lara orang tua yang lelah setelah bekerja. Mereka menjadi tunas bangsa, harapan untuk membangun negara ini dari keterpurukan. Tetapi kenyataan yang harus di hadapi wajah-wajah polos itu adalah masa depan tidak jelas. Sejak mereka lahir, perekonomian tidak mendukung keberlangsungan hidup mereka, menyebabkan mereka dipaksa melihat dan menjalani realita yang seharusnya belum waktunya bagi mereka. Mereka menjadi sosok kecil yang terpaksa berjiwa “dewasa”. Mereka dituntut bukan hanya untuk memahami kesulitan hidup keluarga tetapi juga harus membantu mengatasi kesulitan tersebut. Masa kecil yang seharusnya dijalani dengan keceriaan dan kebahagiaan telah terenggut. Mereka harus ikut berjuang mencari nafkah untuk keluarga.
Pada masa sebelum Islam datang, anak perempuan menjadi aib ketika terlahir ke dunia, mereka akan dikubur hidup-hidup demi menghapus rasa malu memiliki anak perempuan. Kehadiran Islam di masa itu menjadikan sosok perempuan terangkat derajatnya. Sosok kecil lucu yang berjenis kelamin perempuan terlindungi dari tindakan brutal yang mengatasnamakan budaya. Hal ini dapat dilihat jelas dari rekaman hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud : ”Barangsiapa mempunyai anak perempuan, tidak dikuburkannya anak itu hidup-hidup, tidak dihinakannya, dan tidak dilebihkannya anaknya laki-laki dari perempuan itu, maka Allah memasukannya ke dalam surga dengan sebab dia.”
Dewasa ini menguburkan anak-anak perempuan bukan zamannya lagi tetapi kita tengah melihat tindakan menjerumuskan anak perempuan ke jurang paling dalam kehidupan kontemporer. Ketidakberdayaan secara struktural sebagai anak dan jenis kelamin perempuan yang mereka miliki, menjadikan mereka terpaksa harus menerima perlakuan diskriminasi dari lingkungan maupun keluarga mereka. Pandangan anak gadis tidak perlu pendidikan tinggi, harus kawin muda, memiliki nilai keperawanan yang dapat diperjualbelikan, menjadikan mereka tidak memiliki hak penuh atas kehidupan yang mereka inginkan.
Akankah kita biarkan anak-anak ini terperosok makin dalam? Tentu saja tidak. Marilah kita bergandeng tangan memberantas perdagangan perempuan dan anak, menyatukan langkah untuk mengembalikan senyum dan tawa ceria mereka di tengah-tengah kehidupan kita. (Ulfa)