Bukan menjadi rahasia umum lagi kebanyakan korban perdagangan manusia adalah perempuan dan anak-anak. Perempuan dan anak-anak yang berasal dari keluarga miskin dan berpendidikan rendah ini menjadi incaran pelaku perdagangan manusia dengan berkedok sebagai penyalur tenaga kerja wanita. Dalam mencari mangsa para calo tidak hanya mencari para perempuan di perkotaan, tetapi masuk hingga pelosok-pelosok desa di daerah terpencil. Mereka dijanjikan mendapatkan pekerjaan enak serta gaji besar. Dalam perdagangan tersebut, perempuan dan anak-anak diperdagangkan untuk berbagai bentuk eksploitasi. Bentuk eksploitasi itu bisa berupa kerja paksa, perbudakan, seksual dan praktek lain yang serupa.

Berangkat dari realitas tersebut, Swara Rahima mewawancarai 2 orang narasumber yang  dikenal  sangat konsen mengurusi masalah itu. Narasumber pertama yaitu Dra. Latifah Iskandar, Anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR RI 2004-2009 yang juga mantan Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) DPR RI.  Sedangkan narasumber kedua Ketua Badan Eksekutif  Nasional Solidaritas Perempuan (SP) 2004-2007, Salma Safitri Rahayaan.

 Mantan aktivis ormas perempuan Aisyiah ini adalah salah satu pendiri serta pengurus Rifka Annisa Women Crisis Centre, Yogyakarta (tahun 1993-sekarang). Ibu dari Alfia Nuriska, Ahmad Rossi Attaki dan Muhammad Shoffaril Pasha ini meraih gelar S1-nya di IKIP Negeri Yogyakarta dan  juga menjadi salah seorang Presidium Kaukus Perempuan Parlemen. Anggota Fraksi Partai Amanat Nasional DPR RI 2004-2009 yang lahir di kotaGudeg 23 April 1958 silam ini juga pernah menjabat sebagai  Ketua Pansus RUU Tindak Pidana Perdagangan Orang DPR RI  dan Ketua Departemen Pengkajian dan Penelitian Gender Badan Pemberdayaan Perempuan DPP PAN (2004-sekarang). Berikut petikan wawancara Swara Rahima dengan Ibu Latifah Iskandar di sela-sela kesibukannya. 

Bisakah Anda ceritakan kronologis pembentukan UU NO. 21 Tahun 2007 tentang  Pemberatasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) ini?

Sebetulnya UU ini sudah lama dipersiapkan. Dalam pembahasan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) datangnya bisa dari pemerintah atau dari DPR. RUU PTPPO pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri sebenarnya sudah pernah dibahas oleh pemerintah. Waktu itu tinggal nunggu Instruksi Presidennya saja, tetapi tidak jadi karena lamban. Pada awal periode Anggota DPR tahun 2004-2009, saya bersama anggota lainnya mulai melihat-lihat dan memilah-milah RUU mana yang akan menjadi skala prioritas. Dalam pembahasan RUU ada yang disebut Prolegnas (Program Legislasi Nasional), melalui Komisi 8 dan kebetulan saya ada di komisi tersebut, kami mengusulkan. Langkah berikutnya membicarakan hal tersebut dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan yang oleh presiden diangkat sebagai focal point untuk pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Setelah dari sana kami mulai mengatur strateginya, bagaimana RUU yang sangat dibutuhkan itu cepat selesai. Akhirnya disepakatilah RUU PTPPO menjadi usul inisiatif DPR. Dulu yang banyak mengolah bahan-bahannya dari pemerintah. Ada juga beberapa perubahan yang akhirnya disepakati oleh Baleg (Badan Legislasi), terus di-paripurna-kan menjadi usul inisiatif DPR. Proses semua ini bagian dari strategi dan komitmen kami agar UU PTPPO bisa cepat lahir melihat kondisi perdagangan orang yang sangat memprihatinkan.

UU PTPPO ini bisa dikatakan agak berbeda dengan UU yang lain karena tidak terlalu banyak mendapatkan resistensi dari berbagai kelompok. Kira-kira faktor apa yang yang menyebabkannya?

Saya melihat standing point antara pemerintah dengan DPR tidak ada perbedaan. Tidak seperti RUU Peradilan Militer, pemerintah dan DPR berbeda pandangan dan pendapat. Yang saya nilai berat pada saat itu, bagaimana mesinkronisasikan RUU PTPPO dengan produk perundang-undangan lainnya, jangan sampai bentur-benturan dengan undang-undang yang sudah ada. Misal, bagaimana UU PTPPO bisa “nyambung” dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban (UUPSK) No. 13 Tahun 2006.  Dalam pembahasan UU sendiri ada aturannya yaitu UU No 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.  Setelah kami diskusikan perlu ada pasal-pasal yang mengatur soal perlindungan hak saksi dan korban trafficking dalam UU PTPPO, sebab perlindungan saksi dan korban perdagangan orang belum sepenuhnya diakomodir dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban. Tujuannya agar keselamatan dan pemenuhan hak-hak saksi dan korban trafiking yang selama ini terancam keselamatannya terjamin secara hukum.

Lalu seberapa besar keberpihakan UU ini terhadap korban dan saksi perdagangan manusia?

Kasus perdagangan orang seperti sebuah gunung es. Banyak yang menjadi korban tetapi karena belum terlindunginya secara hukum, korban dan para saksi tidak berani melapor ke polisi dan bersaksi. Alih-alih melapor ke polisi, rehabilitasi untuk korban pun tidak jelas. Rata-rata mereka korban eksploitasi seksual, jika tidak direhabilitasi mereka akan punya beban psikologis yang luar biasa berat. UU PTPPO mewajibkan penyediaan bentuk-bentuk perlindungan dan pelayanan yang berhak diterima oleh saksi dan korban perdagangan orang. Hak-hak yang dicantumkan misalnya: jaminan perlindungan dalam pemberian kesaksian (Pasal 47), hak untuk didampingi pembela (Pasal 35), hak atas layanan pemulihan dan rehabilitasi (Pasal 51) dan sebagainya.

Apakah penilaian dari dunia internasional juga mempercepat proses disahkannya UU ini?

Oh ya. Kami melihat trafficking ini sebagai salah satu kejahatan internasional. Di dunia ini ada 3 kejahatan  internasional yang terorganisir; yaitu perdagangan senjata, narkotika dan orang. Dan yang sangat fantastik keuntungan dari bisnis trafficking ternyata lebih besar dibandingkan narkoba. Menurut data kepolisian yang pernah saya dengar ada sekitar 23 triliyun rupiah untuk trafficking dan 18 triliyun rupiah untuk narkoba. Bayangkan narkoba yang sebegitu luas peredarannya keuntungannya lebih kecil daripada trafficking. Penilaian dunia internasional yang menempatkan Indonesia masuk Tier 2 Watch List (Tingkat 2 Daftar Pengamatan Khusus), memang perlu didengarkan, selalu saya  katakan di Pansus apapun yang dikatakan dunia internasional itu hanya salah satu dorongan saja. Bagaimanapun kondisinya tetap tidak boleh menunda UU itu. Setiap rapat selalu saya sampaikan karena kan tidak semua anggota dewan punya perspektif atau semangat yang sama untuk masalah trafficking. Selain itu data yang pasti berapa korban trafficking juga tidak ada.

Dalam UU ini dijelaskan pula mengenai jeratan hutang, Bisakah Anda jelaskan tentang jeratan hutang ini?

Jeratan hutang perlu dicantumkan dalam sebuah pasal UU PTTPO, karena ini modus baru yang kerap digunakan untuk memperdagangakan orang. Tidak ada satupun ketentuan dalam perundang-undangan Indonesia yang menjelaskan apa itu jeratan hutang. Dan belum ada pula peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara jelas melarang jeratan hutan. Kita tidak bisa menutup mata terhadap kasus-kasus perdagangan orang yang diakibatkan oleh jeratan hutang. Dengan dengan adanya definisi jeratan hutang yang memberikan kepastian hukum bagi korban, pelaku jeratan hutang tidak bisa lagi lepas dari tuntutan hukum. Meskipun demikian UU PTPPO tetap memiliki kelemahan.

Misalnya?

Salah satunya mengenai definisi perdagangan anak. Tapi Insya Allah semua substansi dari UU ini sudah bagus, kalau toh dalam perjalanannya kurang bagus bisa diamandemen.

Apakah ada aturan yang secara tegas mengatisipasi kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak buruh migran?

Sebenarnya sudah ada Undang-Undang No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, kalau niatnya bekerja dan mengikuti aturan-aturannya tidak akan ada masalah wong siapapun berhak bekerja di tempat lain. Yang menjadi masalah jika dibohongi untuk mencari kerja dan dieksploitasi. Proses, cara maupun tujuan dari perdagangan orang yang terdapat dalam UU PTPPO mengaju pada Protocol Palermo tahun 2000. Meskipun korban cuma dibohongi sudah termasuk tindakan kriminal, apalagi kalau  korban sampai di sekap di suatu daerah yang asing, diancam, dan identitasnya dipalsukan. Korban perdagangan orang rata-rata menggunakan identitas palsu. Data kepolisian menunjukkan 60% korban perdagangan orang datanya dipalsukan. Makanya kalau korban sampai meninggal dunia sulit diidentifikasi. Siapa yang memalsukan kalau yang tidak mengerti? petugas imigrasi, camat, lurah, sampai ke atas migrasi mungkin saja. Makanya dalam UU ini disebutkan kalau pelakunya pejabat pemerintah hukumannya lebih berat daripada yang bukan.

Kita tahu pelaku trafficking bukan hanya calo yang di dalam negeri saja, tapi ada juga calo yang bekerja sama dengan sindikat internasional. Seberapa besar UU ini bisa menjerat pelaku yang ada di luar negeri?

Pelaku-pelaku perdagangan orang baik itu korporasi atau mafia yang berada di dalam negeri maupun diluar negeri akan dikenakan sanksi pula. Sebelumnya tidak ada UU yang bisa menjerat korporasi.

Seringkali perdagangan orang itu berkaitan dengan penyalur-penyalur tenaga kerja. Tadi Anda mengatakan UU ini memungkinkan menjerat korporasi (PJTKI) yang kadang-kadang menempatkan tenaga kerja tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Apakah UU ini juga bisa menjerat orang-orang yang bertanggung jawab di korporasi  itu secara pidana?

Oh iya, di dalam korporasi itu kan pasti ada pimpinannya, di UU PTPPO bukan saja orangnya  kena sanksi tapi juga lembaganya. Bagi korporasi yang terlibat akan dijatuhkan hingga 3 kali lipat pidana denda pelaku orang, ditambah sanksi tambahan berupa pencabutan izin usaha, perampasan kekayaan hasil tindak pidana, pemecatan pengurus, dan pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama. Masalah perizinan dan KKN di Indonesia ini kan luar biasa parahnya sehingga mereka (PJKTI dan lembaga sejenisnya) gampang melakukan malpraktek. Baik yang resmi maupun yang tidak resmi dilakukan, bayangkan ada 23 meja di PJTKI yang ngurus persoalan TKI mulai dari ini itu Keuntungan yang di dapat tidak sedikit.loh, permintaan Arab Saudi untuk bulan Mei saja sudah mencapai 57.000 ribu TKW. Jadi, sebenarnya ada ketidakseimbangan antara permintaan dengan proses ngurusnya. Ini kan dibisniskan. Kemarin saya diminta untuk bicara didepan para staf PJTKI. Mereka mengkritik UU PTPPO ini bisa membuat polisi salah nangkap. Loh, kenapa salah nangkap, tanya saya. Karena polisi kesulitan menangkap para pelaku seperti lurah atau camat yang memalsukan identitas para TKW, akhirnya pengerah jasa TKI lah yang harus bertanggung jawab terhadap TKI korban perdagangan. Mereka bilang, padahal kan kita cuma menerima mereka (TKW) saja. Saya katakan kalau niatnya memang nolong, ya wong wajahnya aja anak SD gitu loh, kok dibilang 17 tahun.

Bagaimana dengan pemulihan korban atau pencegahan traffficking dalam UU ini?

Alhamdullilah, pasal-pasal yang mengatur perlindungan saksi dan korban lah yang menjadi ruh dari UU PTPPO. Ada juga pasal-pasal tentang rehabilitasi untuk pemulihan korban. Sedangkan  aspek pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang nanti akan ada Peraturan Pemerintah (PP)nya. Saya dengar PP dikeluarkan untuk membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma bagi korban korban. Di UU itu dikatakan dalam penyelenggaraan pelayanan  rehabilitasi  kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial sebagaimana Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma. KPP kan sudah punya P2TP2 (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan), ada RPK (Ruang Pelayanan Khusus), ada UPP (Unit Pelayanan Perempuan), ada truma center-nya Depsos, ada crisis centernya LSM. PP akan mengatur bagaimana trauma center untuk korban trafficking bisa bersinergi jadi efektif dan efisien. Saat ini, anggaran untuk trauma center bagi buruh migran terdapat di APBN, dan itu tidak ada di Menteri Pemberdayaan Perempuan tapi di Departemen Sosial. Memang anggarannya masih sedikit, baru untuk 30.000 korban dan itu terkonsentrasi di urusan pemulangan. Kemarin ketika saya mengikuti rapat anggaran untuk 2008, saya minta anggaran untuk trauma center ditambah. Rehabilitasi harus punya porsi tersendiri karena ini amanat UU dan bentuknya harus lebih jelas jangan sekedar memulangkan. Memulangkan tidak menyelesaikan masalah, kalau memulangkan tapi dalam keadaan sakit, gimana? Seharusnya direhabilitasi dulu, baik fisik maupun psikis. Itu sudah tidak bisa ditawar-tawar, mereka korban sekaligus sebagai warga negara yang harus dilindungi oleh pemerintah. 

Siapa yang menyusun PPnya?

Departemen Sosial bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Prosesnya sudah berjalan sekarang. Dalam mengawasi dan mengawal UU PTPPO, saya ketat sekali. Saya kawal terus sudah sejauh mana perkembangannya. Saya tidak pernah berhenti bertanya pada setiap pertemuan. Targetnya 6 bulan, sebelum 6 bulan harus sudah jadi. Ya gimana lagi, tidak bisa ditunda-tunda. Di Batam misalnya, kalau sampai tidak ada trauma center makin banyak saja perempuan-perempuan korban perdagangan yang stress di jalan-jalan, stress karena dilempar begitu saja di terminal. Mereka ini rata-rata tidak berpendidikan, berasal dari keluarga miskin.Siapa lagi kalau bukan pemerintah yang ngurusin mereka. Mereka warga negara Indonesia yang menjadi korban perdagangan orang.

Sebelum adanya UU ini, para penegak hukum untuk menjerat pelaku menggunakan KUHP, bisakah Anda jelaskan perbedaan hukuman yang terdapat di dalam KUHP dengan UU ini?

Agar memberikan efek jera bagi para pelaku, UU PTPPO meningkatkan sanksi pidana perdagangan orang minimal 3 dan maksimal 15 tahun penjara. Dendanya bisa mencapai ratusan juta rupiah, dari lima juta rupiah sampai ratusan juta rupiah. Ini jauh lebih tinggi dari delik serupa dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) khususnya Pasal 297 yang hanya 6 tahun penjara. Tidak bisa hukuman mati karena bertentangan dengan HAM internasional, padahal di Kamboja pelaku perdagangan orang bisa dijatuhi hukuman mati.

Harapan Anda terhadap UU  ini?

UU ini bisa memberikan efek jera kepada pelaku perdagangan yang ada di dalam negeri dan juga di luar negeri, dan itu bisa tergantung implementasinya. Persoalan penegakan hukum di Indonesia kan sesungguhnya persoalan implementasi. Sebulan ini saya rajin lihat TV (tayangan BUSER), saya bersyukur sama semua polisi yang berhasil menangkap pelaku dengan UU PTPPO ini. Tadi pagi saya lihat di berita polisi berhasil mengagalkan dua perempuan di bawah umur yang hendak diperdagangkan ke Jakarta dan Malaysia. Identitas kedua perempuan tersebut dipalsukan. Pengungkapan kasus ini bermula saat beberapa orang petugas mencurigai seseorang yang membawa kedua gadis tersebut di bandara. Kepada polisi calon korban mengatakan mereka diiming-imingi pekerjaan di sebuah karoke di Jambi. Dengan adanya UU PTPPO, polisi sekarang punya aturan untuk “megang”, selama ini khan polisi tidak punya “senjata” untuk menangkap pelaku perdagangan, definisi perdagangan orang saja tidak jelas di KUHP. Definisi yang ada dalam UU PTPPO sudah mengakomodir tiga unsur trafficking sesuai Palermo Protocol, yaitu harus menyebutkan proses, cara, tujuan. Dengan disahkannya UU PTPPO, DPR akan terus mengawasi/mengawal implementasinya UU ini oleh pemerintah, aparat penegak hukum terutama aparat kepolisian. Jangan sampai polisinya sudah menangkap pelaku dengan UU PTPPO, hakim dan jaksanya malah memutuskan hukuman ringan bagi pelaku.

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here