Beranda Informasi berita Illegal Wedding, Apa Itu?

Illegal Wedding, Apa Itu?

0
1641

Sebagai upaya untuk mempererat tali silaturahmi antara Rahima dengan para pembaca majalah SWARA RAHIMA maupun pengunjung perpustakaan, diadakan bedah buku yang diupayakan sebulan sekali di kantor Rahima. Kegiatan ini juga dimaksudkan sebagai sarana pengembangan kapasitas staff Rahima  untuk menyampaikan gagasan ke depan publik. Baik sebagai moderator ataupun menjadi pembicara dalam berbagai forum diskusi. Salah satunya adalah kegiatan bedah buku berjudul “Awas Illegal Wedding” yang diselenggarakan pada tanggal 21 Juni 2007. Acara yang dimoderatori oleh Sanim, staf Rahima ini menghadirkan  pengarang bukunya langsung yaitu Bapak Nurul Huda Ha-Em yang sehari-hari bertugas sebagai petugas KUA di Kecamatan Pancoran sebagai narasumber. Sementara, pembahas bukunya adalah Leli Nurrohmah  juga dari Rahima.

Buku tentang illegal wedding ini mencoba menggali berbagai persoalan perkawinan, diantaranya kita kenal sebagai nikah sirri. Pada hakikatnya nikah di bawah tangan adalah pernikahan yang dilakukan di luar pengawasan petugas sehingga pernikahan itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Nurul Huda menyebutkan ada dua pengertian mengenai, illegal wedding, pertama tidak legal secara syari’at dan kedua tidak legal secara negara dan hukum. Illegal wedding erat kaitannya  dengan penghulu palsu atau penghulu liar, yang dalam buku ini dibahas dalam bab Wanted : Penghulu Liar!. Beliau juga mengungkapkan kasus dimana kasus di mana orang tua terpaksa membuat akat nikah palsu (karena mereka menikah siri). Mereka menyadari betul itu pelanggaran. Ketika menikah (siri) dulu mereka katakana akan menjunjung syariat, tetapi  sekarang  justru malah melanggar syariat karena tidak mentaati produk hukum yang telah dibuat oleh pemerintah (ulil amri).

Sedangkan menurut pembicara kedua Leli Nurohmah, buku yang ditulis oleh Pak Penghulu ini juga mengupas teks-teks klasik atau isu fikih dengan bahasa yang santai. Pandangan pihak yang pro dan kontra dalam persoalan poligami juga dikupas tuntas oleh penulis dalam bukunya, meskipun beliau tidak secara tegas menempatkan keberpihakannya. Leli Nurohmah yang melakukan penelitian tesis S2-nya mengenai poligami di kalangan masyarakat Betawi Cinere  ini juga mengungkap keberadaan praktik  illegal wedding ini. Baik Leli maupun Nurul Huda sama-sama bersepakat bahwa dalam banyak kasus poligami, pihak yang paling dirugikan adalah perempuan dan anak.

Diskusi  yang dihadiri sekitar 27 orang peserta berjalan lancer dan menarik antusiasme peserta. Dhea, salah seorang peserta  menyatakan bahwa ketertarikannya untuk hadir karena dia pun menulis skripsi tentang KHI. Ia melontarkan pendapat bahwa nikah bahwah tangan banyak terjadi karena persoalan budget, yaitu mahalnya biaya perkawinan di KUA. Prakteknya, biaya ini mencapai Rp.500.000,00 bila memiliki hubungan saudara dengan petugas KUA. Biaya juga bisa mencapai Rp.1000.000,00-2.000.000,00  bila  diurus oleh orang lain. Dia juga  bertanya tentang ada atau tidaknya kelas dalam pelayanan oleh petugas seperti  ekonomi atau VIP.

Lukman, peserta yang lain juga mengemukakan pendapatnya soal sah atau tidaknya nikah di bawah tangan. Menurutnya, tanpa dicatat oleh petugaspun pernikahan itu secara hukum Islam sudah dinyatakan sah.  Terkait dengan peran Negara,  menurutnya hal ini merupakan Ikhtilaf (perbedaan pendapat) dan tidak termasuk Iltizam  (kelaziman)  yang secara tidak langsung menyebabkan tahrim (pengharaman). Problem banyak terjadi karena orang yang sudah menikah tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA).

Saat ini banyak dijumpai fenomena keresahan masyarakat baik laki-laki maupun perempuan, baik ysng belum ataupun sudah menikah mengenai rumitnya problem pernikahan. Banyak orang tak mau menikah karena mahalnya atau susahnya prosedur untuk menikah. Masyarakat awam perlu tahu pernikahan yang syah secara syar’i  hukum  nasional serta proses adminstrasinya. Keberadaan sosok seperti Pak Penghulu diharapkan mendorong upaya amandemen terhadap UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 dan  membuat ijtihad baru tentang hukum perkawinan. Selain mengakomodir persoalan Syariat,  keberadaan undang-undang baru ini diharapkan menjadi ijtihadnya para ulama dalam memenuhi rasa keadilan bagi relasi lelaki dan perempuan.

Diskusi buku ini merupakan ikhtiar Rahima untuk mendialogkan  persoalan yang ada di sekeliling kita. Sebulan sebelumnya, tanggal 26 April 2007 Rahima juga telah membedah sebuah buku berjudul ”Perempuan Suci” yang ditulis oleh Qaisra Shahraz, seorang penulis perempuan berdarah Pakistan. Novel yang mendapat penghargaan Jubilee Award Tahun 2002 dari majalah Asian Times ini dibedah oleh Mariana Amiruddin (Jurnal Perempuan) maupun Maman Abdurrahman, dengan dipandu oleh Binta Rati Pelu yang bertindak sebagai moderatornya. (Rahima). (Binta)

Similar Posts:

TIDAK ADA KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here