Oleh: Muhbib Abdul Wahab*
“Salah satu pelajaran berharga dari kesuksesan dakwah Nabi saw didasarkan pada kolaborasi dan “kemitraan sehati” antara lelaki dan perempuan. Keduanya secara biologis memang ditakdirkan berbeda, tetapi secara sosial-kultural sama-sama menentukan arah sejarah kemanusiaan. Karena itu, untuk saat ini, diskriminasi historis dalam melihat perempuan perlu diakhiri sebagai upaya awal pembebasan perempuan dari belenggu
sejarahnya. Rasullullah saw telah meletakkan dasar dan ketauladanan dalam meningkatkan harkat dan martabat kaum perempuan.
Sayangnya, dalam sejarah peradaban Islam sepeninggal Rasul yang mulia itu posisi perempuan semakin terpuruk. Penyebabnya sangat komplek, mulai dari pertikaian politik internal, kemerosotan sosial ekonomi, hingga menjauhnya umat Islam dari spirit dasar Alquran dan As-Sunnah. Berbagai upaya pembebasan dan pemberdayaan perempuan telah coba dilakukan selama ini. Asumsinya, jika perempuan berdaya, merdeka, dan mampu tampil memberikan kontribusi positif dalam ranah sosial, politik maupun ekonomi, niscaya dunia Islam akan tampil lebih berjaya.
Adalah Qasim Amin (1 Desember 1863 – 23 April 1908), (salah seorang) tokoh reformis dari Mesir yang menggelorakan semangat pembebasan perempuan. Meskipun sebelumnya sudah muncul tokoh-tokoh yang membela hak-hak perempuan seperti Ahmad Faris As-Syidyaq (1804-1888), Rifa’at at-Thahthawi (1801-1873), dan
Muhammad Abduh (w. 1905), Qasim Amin melejit, antara lain, karena dua bukunya yang “menghebohkan”, yaitu Tahrîr al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan) yang terbit pertama kali pada 1899 dan al-Mar’ah al-Jadîdah (Perempuan Baru) yang terbit pada 1900. Kedua buku ini mengundang pro dan kontra, baik di kalangan ulama Mesir maupun di luar Mesir.
Terlepas dari pro-kontra, Qasim Amin -yang sering terlibat diskusi dengan Muhammad Abduh mengenai kemunduran dunia Islam-menawarkan beberapa model pembebasan perempuan yang tampaknya masih cukup relevan diwacanakan dan dikembangkan lebih lanjut. Pertama, ia mengritik keras tradisi “hijâb” yang berlebihan seperti pemakaian burqa dan cadar ala perempuan Timur Tengah pada masa itu. Model pakaian itu bukan merupakan ajaran Islam, tetapi lebih merupakan budaya Arab tradisional yang mengekang perempuan. Pakaian “tradisional” tersebut merupakan simbol kejumudan (status quo), sekaligus menjadi penghambat kebebasan dalam berpikir dan berinteraksi sosial. Pakaian itu telah memasukkan perempuan dalam “ranah sosial” yang terbatas, sempit, dan tidak bebas. Dengan kata lain penggunaan pakaian tradisional itu menyebabkan perempuan menarik diri dari peran sosial dan budaya, dan cenderung
membenamkan diri dalam ranah domestik belaka.
Kedua, ia juga sangat tidak setuju kalau kaum lelaki (suami) sebagai pemegang hak mutlak perceraian (thalâq). Menurutnya, perempuan berhak mengajukan gugatan cerai melalui pengadilan, jika suami terbukti tidak lagi memenuhi kewajibannya
sebagaimana diajarkan oleh Islam. Misalnya, suami melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga, tidak memberi nafkah lahir dan batin, berselingkuh, dan sebagainya.
Pesan moral yang hendak ditegaskan oleh Qasim Amin adalah bahwa perempuan
dan lelaki memiliki hak sipil dan sosial yang setara, karena hegemoni “suami” sebagai penentu perceraian harus diakhiri. Dengan kata lain, relasi suami-istri dalam rumah tangga harus sederajat; istri bukan subordinasi suami, kendatipun suami menjadi kepala rumah tangga.
Ketiga, ia menentang praktik poligami yang banyak dilakukan oleh para penguasa atau kalangan bangsawan yang seringkali menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga, dan merugikan kepentingan perempuan. Karena itu, Qasim Amin cenderung menilai poligami itu tidak dibolehkan, karena potensial menyakiti hati perempuan, menimbulkan permasalahan baru dalam rumah tangga, dan pada akhirnya perempuan yang menjadi korban.
Keempat, menurutnya, pembangunan peradaban tidak dapat dilepaskan dari peran serta perempuan. Karena itu, agar dapat berperan dan berdaya juang tinggi, perempuan harus memperoleh pendidikan yang setinggi-tingginya. Peradaban Islam merupakan sistem kehidupan yang terbentuk dari tegak dan berdayanya sistem sosial, sistem politik, sistem budaya, dan system pendidikan. Semua sistem itu saling bersinergi, dan saling mempengaruhi. Lelaki dan perempuan adalah penentu tegaknya
sistem-sistem tersebut. Singkatnya, perempuan harus dicerdaskan dan dicerahkan (difasilitasi untuk bisa cerdas dan tercerahkan). Peradaban Islam dapat kembali berjaya, jika ada kolaborasi dan sinergi kedua jenis manusia ini dalam memikul tanggung jawab masing-masing.
Walhasil, pemikiran Qasim Amin setidak-tidaknya memberi inspirasi bagi kita untuk: pertama, membebaskan perempuan dari tradisi tidak Islami menuju “tradisi Islami” yang memberikannya kebebasan dalam berekspresi dan berkreasi. Kedua, membebaskan perempuan dari interpretasi yang tidak tepat mengenai posisi dan fungsi perempuan dalam rumah tangga, terutama menyangkut relasi suami-istri. Salah satunya, hak
cerai bukan monopoli lelaki. Ketiga, lelaki dan perempuan harus senantiasa bermitra dalam menentukan masa depan perabadan Islam yang berkeadilan. Dari semua itu, pesan moral yang hendak ditekankan oleh Qasim Amin adalah perempuan harus mampu memerdekakan dirinya dari perbudakan “kaum lelaki”, perbudakan sistem, budaya, dan tradisi, termasuk perdagangan manusia, dalam arti perempuan sungguh tidak layak dijadikan sebagai “komoditas sosial, budaya, ekonomi maupun politik”. Wallahu a’lam bi al-shawab!
*Penulis adalah pemerhati studi dan dosen pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.