Oleh : AD. Kusumaningtyas
Heboh berita tentang seorang da’i kondang kawin lagi, ternyata bukan semata persoalan seputar pribadi sang ustadz belaka. Sontak, isu ini menjadi perbincangan serius dan menggemparkan negara. Sejumlah SMS berseliweran, sampai-sampai ‘negara’ pun merasa perlu turun tangan. Sebenarnya, inilah fenomena yang oleh para aktivis perempuan disebut sebagai “the personal is political”. Yang pribadi, adalah yang politis. Urusan kawin lagi, bukan sebatas urusan seseorang dengan seseorang yang dikawininya. Ternyata, ia sangat terkait dengan “hajat hidup orang banyak” seperti isteri pertama maupun anak-anaknya. Belum lagi soal keadilan materi maupun perasaan sebagai sesama perempuan. Boikot kaum ibu majelis ta’lim atas sebuah lembaga pengajian di Bandung menunjukkan situasi ini. Tak heran, kalau ada salah satu ulama yang bahkan berpendapat bahwa poligami hukumnya “haram lighairihi”, diharamkan karena menyangkut nasib orang lain.
Sepanjang perjalanan saya ketika melakukan penelitian di Garut, Tasikmalaya, Cianjur, dan Banten; saya menemukan beragam alasan seorang laki-laki berkeinginan kawin lagi dan mengapa perempuan banyak yang dengan rela hati menerima sebuah ‘per-madu-an’. Salah satu diantaranya adalah karena status sosial. Di Garut, misalnya. terdapat pandangan kultural yang permisif bahwa ajengan atau Kyai jika memiliki beberapa isteri adalah lazim dan bahkan menunjukkan tingkat popularitasnya. Sementara bagi seorang perempuan yang dinikahi sebagai isteri kedua dan seterusnya dipandang bahwa dia “diangkat status sosialnya” dari rakyat biasa menjadi keluarga ajengan atau kyai. Memiliki banyak isteri juga menjadi kebanggaan para jawara di Banten. Banyak isteri dianggap sebagai simbol keberhasilan, banyak isteri menandakan seseorang memiliki banyak kekayaan. Dalam konteks ini seorang perempuan dipandang tak lebih sebagai properti. Sementara, para ibu yang rela dimadu mengatakan bahwa para kyai seringkali menyampaikan ajaran bahwa keikhlasan dimadu adalah pintu untuk menuju surga. Perempuan-perempuan yang memilih menjadi isteri kedua dan seterusnya, biasanya karena alasan ekonomi atau sekedar untuk memiliki status ‘isteri’. Masyarakat Banten beranggapan, bahwa lebih baik hidup sebagai isteri kedua, daripada hidup melajang sebagai ‘perawan tua’ atau menyandang predikat ‘janda’.
Berbagai fenomena tersebut mengingatkan saya pada tradisi perkawinan para raja di Jawa, yang lazim memiliki garwa padmi atau “Ibu suri“ dan garwa ampil atau selir. Orang tua akan bangga kalau anak gadisnya “dikersakke kanjeng Sinuhun” (diminati oleh Raja). Perempuan yang dipandang sebagai properti juga terkait simbol kesuksesan lelaki, yang telah memiliki : wisma (rumah), turangga (kendaraan), kukila (binatang peliharaan) dalam konteks masyarakat Jawa. Ironisnya, praktik memiliki banyak isteri ini seolah-olah didukung dengan dalil agama. Mereka selalu menyandarkan perilakunya pada penggalan bunyi Surat An Nisa ayat 4 yang berbunyi : “….. fankihuu maa thaaba lakum minan-nisaa’i matsnaa wa tsulaatsa wa rubaa’ “. (….nikahilah olehmu perempuan-perempuan yang kamu suka dua, tiga, atau empat). Para pelaku poligami menafsirkan ayat ini sebagai ‘jatah’ kaum lelaki untuk bisa mengawini empat perempuan. Mereka mengabaikan kenyataan bahwa ayat ini memiliki konteks menyantuni anak yatim dan para janda mati korban perang semasa Rasulullah saw. Selain itu, mereka lupa; bahwa melalui ayat ini Islam datang untuk menghapuskan trend memperisteri ratusan bahkan ribuan perempuan yang menjadi budaya bangsa Arab pra Islam, dengan terlebih dahulu melakukan pembatasan dengan menyebut angka 2,3, atau 4. Selanjutnya, evolusi Islam bergerak ke arah monogami, dengan menetapkan “wa in khiftum an laa ta’diluu fawaahidah”. (Bila dikhawatirkan tidak bisa berbuat adil, cukuplah dengan menikahi seorang perempuan). Artinya satu perempuan untuk satu lelaki, demikian pula sebaliknya satu lelaki untuk satu perempuan. Karenanya sebagai pasangan, mereka diharapkan menjadi ‘pakaian’ satu sama lain.
Bagaimana perasaan perempuan-perempuan yang “terpaksa” menerima sebuah per-madu-an, atau dengan kata lain ‘terpaksa mengikhlaskan’ sang suami untuk mengambil perempuan lain sebagai madunya. Salah satu responden penelitian di Cianjur menjawab dengan menitikkan air mata, ketika saya lontarkan pertanyaan “Apa pendapat Ibu mengenai isu poligami?”, Wawancara yang saya lakukan terhadapnya menjadi ajang curhat. Perempuan yang menjadi salah satu pengurus ormas perempuan Islam ini berkata “ Ya Allah, Neng. Ibu ini kan korban. Beberapa tahun yang lalu bapak (suaminya) yang saat itu belajar di Jakarta, pernah minta izin pada ibu untuk menikah lagi. Ibu nggak tahu harus berbuat apa. Yang jelas beliau menikah lagi, dan madu ibu tinggal bersama-sama dengan Ibu di rumah ini. Ibu hanya bisa berdo’a kepada Allah, mohon agar kalau kehadiran perempuan itu baik bagi Ibu dan keluarga Ibu agar dia tetap dijadikan bagian dari keluarga ini. Namun kalau kehadirannya menjadikan madharat bagi keluarga kami, Ibu hanya ingin agar ia dipisahkan dari kami. Dan benar ternyata 3 bulan kemudian ia meminta cerai karena tak sanggup hidup bersama-sama kami“.
Sementara, dari salah seorang responden di Garut menceritakan kisah seorang Ibu Nyai yang menjadi korban poligami. Dengan alasan menginginkan anak lelaki, Sang suami mengambil salah seorang santriwatinya sebagai isteri kedua. Bu Nyai hanya bisa pasrah dan terus ber-munajat dalam diamnya. Ketika madunya hamil, Bu Nyai pun kembali hamil. Ajaib, sang madu melahirkan anak perempuan dan justru beliaulah yang melahirkan anak lelaki.
Poligami juga terjadi karena pandangan budaya yang berbeda mengenai anak perempuan dan anak laki-laki. Dalam benak penulis, mungkin inilah bentuk protes perempuan yang hanya bisa diam dan tidak bisa berbuat apa-apa. Perempuan yang speechless, yang tak mampu menyuarakan beban batinnya. Ia hanya bisa mengadu pada Tuhannya. Al Qur’an pun mengapresiasi complain perempuan yang mengajukan gugatan dengan munculnya surat Al Mujaadilah. Dari kedua kisah di atas, penulis memetik hikmah bahwa Allah SWT. adalah hakim yang maha adil dan selalu berpihak pada mereka yang lemah dan dilemahkan.
Begitu banyak cara untuk meralisir keinginannya. Dan salah satu cara kaum lelaki untuk melegitimasi kepentingan hawa nafsunya adalah dengan meminjam nama Tuhannya. Poligami adalah sunnah. Begitu sering mereka katakan. Dengan dalih sabda Rasulullah SAW, bahwa.: An nikaahu sunnatii, faman raghiba’an sunnatii falaisa minnii (Pernikahan adalah sunnahku, dan barang siapa yang tidak suka atas sunnahku, maka dia bukanlah bagian dari (ummat)ku.). Dalil yang digunakan untuk menjelaskan masalah perkawinan, digunakan untuk melegitimasi keinginan untuk kawin berulang kali. Meskipun mereka sebenarnya tidak terlalu membutuhkannya. “Satu saja tidak habis-habis, kok, “ begitu kilah para Bapak bila ditanya pendapatnya mengenai poligami. Beranikah mereka ‘berjihad’ mengendalikan hawa nafsunya untuk memiliki perempuan sebanyak-banyaknya? Seperti para Ibu yang seringkali harus ‘berjihad’ menahan godaan ‘lapar mata’ dan memunculkan nafsu berbelanja. Bila kita berhasil melakukannya, sebenarnya kita telah berhasil melakukan jihad yang paling besar yaitu memerangi hawa nafsu kita sendiri.