Beranda Ulama Perempuan Pemikiran Dr. Abdul A’ la Anggota Komnas Perempuan: ”Kebanyakan Poligami adalah ekspresi...

Dr. Abdul A’ la Anggota Komnas Perempuan: ”Kebanyakan Poligami adalah ekspresi Egoisme Laki-laki …”

0
1450

Anggota Komisi Nasional Perempuan  itu  merasa sangat kecewa.  Di tengah perlakuan tidak adil masyarakat terhadap perempuan, justru ia harus menyaksikan segelintir tokoh laki-laki pembela nasib perempuan, melakukan poligami. Baginya ini bukan saja sebagai bentuk inkonsistensi, tetapi juga sebuah pengkhianatan.

Abdul A’la wajar merasa kecewa dan sedih. Karena menurut laki-laki kelahiran Sumenep 5 September 1957 itu, pada prinsipnya pernikahan dalam Islam adalah monogami. Kalaupun Rasulullah dahulu melakukan praktek tersebut,ini harus dibaca  dari konteks sejarah bangsa Arab saat itu  yang tidak memberi batas jumlah bagi laki-laki untuk berpoligami .

Disela-sela kesibukannya melakukan rapat kerja Komnas Perempuan pada tanggal 27 Februari di Hotel Haris Jakarta pekan lalu, Staf Pengajar Pasca Sarjana di IAIN Sunan Ampel Surabaya dan lulusan S3 Pemikiran Islam UIN Jakarta itu, menerima Yohana Fijriah dan Maman A.Rahman dari Swara Rahima. Berikut petikan pembicaraan saat itu.

Dapatkah Anda paparkan bagaimana sebenarnya prinsip dasar perkawinan dalam Islam? 

Pertama-tama kita harus bisa membedakan pemikiran keagamaan yang normatif dengan yang historis. Apabila kita berangkat dari kerangka teoritisnya memang ada kesan kesenjangan antara keduanya. Islam historis itu sangat terkait dengan keterbatasan manusia, bersifat relatif, menyejarah dan berdasarkan realitas.  Sedangkan Islam normatif adalah Islam yang absolut, metahistoris dan memiliki kebenaran mutlak.  Supaya keberagaman itu berjalan dinamis, bagaimana caranya  agar yang historis itu selalu mendekati normatif. Nah, perkawinan dalam konsep Islam pada dasarnya ekspresi monotheisme.  Monotheisme itu jika kita elaborasi adalah keadilan, keharmonisan dan solidaritas yang merupakan ciri-ciri dari tauhid sosial. Untuk menciptakan sebuah kesatuan dan persatuan dalam perkawinan memang harus ada satu laki-laki dan satu perempuan. Itulah konsep dasar Islam yang sesungguhnya. Kalau kita baca ajaran Islam (Al-Qur’an) secara utuh dan tidak parsial arahnya pasti monogami.

Tapi Rasulullah melakukan poligami?

Rasulullah dan para sahabat memiliki istri lebih dari satu, itu historis. Namun perlu diketahui bahwa perkawinan yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah bangsa Arab pada saat itu.  Kita tidak bisa loh menyamakan Rasulullah dengan manusia biasa.  Saya tidak ingin mengkritik Rasul karena bagi saya, dia itu lebih bersifat simbol. Artinya setiap tindakan  Rasul tidak bisa dilihat secara “telanjang”, tapi harus dimaknai. Jadi kehadiran Rasul itu lebih bersifat nilai-nilai, bukan bersifat fisik. Nilai-nilai yang diemban Rasulullah tidak mungkin sama apalagi dalam konteks sekarang. Rasulullah menikah lagi setelah usianya tua, sebenarnya dari sisi kebutuhan biologis sudah jauh berkurang.

Lalu mengapa ada justifikasi bahwa poligami itu sunnah Rasul ?

Untuk sebagian orang berpoligami itu motivasinya lebih karena status. Misalnya bagi seorang tokoh agama dengan statusnya yang tinggi, berpoligami justru dianggap suatu kebanggaan. Ada juga  karena hawa nafsu. Jenis ini jelas jauh dari alasan-alasan teologis.  Banyak hal berlawanan antara semangat poligami dengan semangat teologi.  Contohnya saja,  rata-rata pelaku poligami gemar berbohong, sedangkan kalau teologi tidak mungkin bohong.

Di Al-Qur’an disebutkan pernyataan asal kamu bisa bersikap adil, batasan adil itu dalam Al-qur’an seperti apa dan mungkinkah laki-laki bisa bersikap adil ?

Adil yang dimaksud adalah adil dalam ukuran fisik dan biologis, laki-laki tidak mungkin bisa memberikan hal yang sama kepada istri-istrinya.  Saya yakin tidak bisa bahkan tidak mungkin bisa adil. Mana mungkin bisa adil jika alasan menikah lagi karena istri mudanya lebih cantik, itu sudah tidak adil namanya (sambill tertawa). Poligami dapat dilakukan apabila sangat, sangat,  sangat  emergency, dilihat dari faktor keterbatasan manusia secara biologis. Itupun harus dapat dipertanggung jawabkan secara teologis.

Lantas  mengapa pada saat itu Al-Qur’an tidak langsung melarang poligami?

Kita perlu memahami terlebih dahulu bahasa Al-Qur’an. Dalam masalah perbudakan misalnya. Pernahkah Al-Qur’an secara tegas menghapus perbudakan? Tidak kan?. Jadi kita harus bisa melihat konteks historisnya. Kita juga harus bisa melihat konteks sosiologis masyarakat Arab. Ditambah lagi ketika Al-Qur’an menjadi bahasa manusia, yang pada mulanya adalah bahasa wahyu otomatis terjemahannyapun sangat terbatas. Makanya tak heran kita sering salah memaknainya. Memiliki keterbatasan-keterbatasan maksudnya dalam satu sisi wahyu ketika menjadi bahasa manusia harus menjaga kewahyuannya di sisi lain harus mampu dipahami oleh manusia. Kita tahu bahwa yang pertama kali menerima adalah masyarakat Arab.  Bahasa Arabpun yang kaya akan makna, dan dimensi juga masih memiliki keterbatasan-keterbatasan seperti itu. Al-Qur’an itu tidak turun di ruang hampa tapi dalam sebuah kehidupan dengan segala dinamikanya .

Bagaimana cara menafsirkan teks yang terkesan sangat bias gender itu?

Bagi saya jangan karena ada ayatnya lantas melakukan poligami. Kita harus memahami Al-Qur’an itu secara utuh.  Kalau kita memahami suatu ayat secara parsial bisa jadi jika ketemu orang musyrik di jalan, kita langsung membunuhnya. Dalam perkawinan ada prinsip-prinsip monotheisme (tauhid sosial). Saya rasa hampir semua orang tahu bahwa ayat itu bukan perintah wajib, jadi tidak harus dilakukan. Pernah ada pertanyaan apakah laki-laki yang berpoligami itu termasuk hiperseks ? Menurut saya tidak. Janganlah agama dijadikan dalih untuk melegitimasi nafsu poligami. Laki-laki melakukannya karena mereka tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya. Di surat kabar saya pernah menulis apakah kalau perempuan dituntut mengendalikan hawa nafsu lalu laki-laki tidak boleh mengendalikan hawa nafsunya? Saya kira poligami bentuk egoisme laki-laki saja.

Apakah dalam Islam ada  paham yang kritis mempersoalkan poligami ?

Kalau paham-paham yang dominan tidak ada, tapi akhir-akhir ini ada semacam tren di Iran dan beberapa negara Timur Tengah. Di sana tokoh-tokoh perempuan mulai berani memunculkan pemikiran-pemikiran yang kritis mengenai poligami. Pada masa lalu keilmuan didominasi laki-laki otomatis subyektivitas laki-laki secara refleks muncul. Akibatnya selama berabad-abad paham-paham keagamaan dikuasai oleh laki-laki. Wacana yang munculpun adalah wacana yang bernuansa laki-laki.

Bagaimana dengan pandangan fiqih?

Fiqih itu dikarang oleh para ulama klasik sebagai bagian dari pemikiran keagamaan, tidak sakral dan termasuk Islam historis. Pada masanya fiqih mampu memberikan pencerahan. Namun kita harus tetap memaknai kembali sesuai dengan konteks zamannya. Sebagai bagian dari sejarah – fiqih itu jangan disamakan dengan Al-Qur’an dong. Fiqih itu lebih sekedar untuk memperkaya wawasan bukan sebagai pegangan. Ujung-ujungnya kembali juga pada makna hakiki Al-Qur’an dan makna semangat Islam yang universal itu.

Bagaimana menyikapi sebagian kelompok Islam yang menganggap penentang poligami sebagai penentang hukum Tuhan, tidak mengerti syariat Islam?

Pertama kita lihat dulu mereka itu berasal dari kelompok mana, kalau masih bisa diajak dialog kita ajak. Kalau tidak bisa, tidak usah diladeni. Yang menjadi persoalan ada sebagian dari mereka  tidak bisa membedakan Islam historis dengan Islam normatif tadi.  Mereka beranggapan Islam historis itu bagian dari Islam normatif. Pandangan mereka maunya disamakan dengan Al-Qur’an. Padahal ketika dia berkata atas nama Al-Qur’an, sesungguhnya dia sedang menyatakan Al Qur’an dalam pandangan kelompoknya. Kita tidak usah memusatkan perhatian pada kelompok ini, tapi  pusatkan saja ke masyarakat luas guna menjernihkan atau memperluas wawasan mengenai berbagai persoalan perempuan lainnya.

Bagaimana komentar Anda mengenai pelarangan atau diharamkannya poligami yang diterapkan di negara-negara Islam seperti Tunisia, Maroko dan Mesir, bukankah ini bagian dari ijtihad pemikiran-pemikiran para ulama yang disesuaikan dengan konteks sosialnya ?

Saya rasa kalau diharamkan sebagian besar ulama tidak berani menyatakan seperti itu. Tapi kalau dilarang jelas itu bukan persoalan agama. Kalau poligami dilarang, itu bagus-bagus saja. Karena kebanyakan yang melakukannya bukan berdasarkan persoalan agama, dan memang bukan masalah agama. Maka jalan keluarnya negara harus melarang poligami. Alasannya karena dampak sosial poligami bukan hanya berimbas pada masalah individu semata. Tapi syaratnya pelarangan itu harus bebas dari unsur politis.

Katanya pemerintah berencana memperluas PP No. 10/83 (Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS) yang diperkuat PP No. 45/90 agar bisa menjangkau masyarakat luas. Apakah ini bentuk kepedulian pemerintah terhadap kaum perempuan?

Saya melihat, kadang-kadang negara terlalu mempolitisasi persoalan-persoalan agama demi memperkuat kedudukannya bukan murni untuk kesejahteraan rakyatnya khususnya kaum perempuan. Pada kenyataanya ada beberapa reaksi politis yang sering mengiringi berbagai kebijakan pemerintah. Contohnya soal poligami–pemerintah sepertinya merasa punya kewajiban moral untuk memperhatikan masyarakat terutama berkaitan dengan hal-hal yang meresahkan. Yang perlu diwaspadai ada apa di balik motif kepedulian pemerintah ini? Apakah tujuan pemerintah untuk meningkatkan perlindungan terhadap kaum perempuan atau untuk mencari muka saja?  Pemerintah sudah mengambil ancang-ancang, apakah tindakan pemerintah untuk merevisi PP No. 10 Tahun 1983 ini menguntungkan posisi negara atau tidak.

Apakah ini pertanda negara terlalu jauh mengatur privasi warganya? 

Apabila persoalan poligami sudah  menyangkut persoalan publik, pemerintah harus terlibat didalamnya. Kalau persoalan individu tidak usahlah pemerintah terlibat terlalu jauh.  Seandainya ada masalah-masalah yang terkait dengan kemaslahatan masyarakat, pemerintah harus turut campur, tapi sekali lagi  pertimbangan itu tidak berangkat dari motivasi politis.

Beberapa kejadian  yang mengemuka saat ini adalah banyak pemuka agama, pejabat bahkan apa yang disebut sebagai feminis laki-lakipun, secara terbuka atau diam-diam melakukan poligami. Bagimana Anda melihat itu ?

Saya melihat poligami sebagai bentuk kelemahan manusia. Jadi kalau ada laki-laki yang melakukan praktek seperti  itu, ia harus akui bahwa dirinya tidak kuat melawan hawa nafsu. Yang terbaik adalah ia harus mengakui kelemahannya itu. Ini cara paling minimal untuk mengurangi persoalan itu. Misalnya saya yang selama ini berjuang untuk isu-isu perempuan lalu selingkuh,  itu jelas sebuah kesalahan besar yang harus diakui. Jangan setelah melakukan kesalahan tersebut lantas saya membenarkannya  atas nama Islam. Kalau begitu, persoalannya akan tambah runyam. Saya sangat sedih  kalau ada seorang  kawan yang selama ini dikenal sebagai pembela hak-hak manusia khususnya perempuan, berpoligami lalu menjustifikasi apa yang dilakukannya itu atas nama agama. Ini jelas fatal, sudah melakukan satu kesalahan, lalu dia melakukan kesalahan untuk kedua kalinya.

Faktor apa saja yang menyebabkan seorang perempuan “rela” untuk dipoligami ?

Ada beberapa alasan yang menjadikan seorang perempuan mau dipoligami. Pertama ia memiliki keterbatasan wawasan keagamaan. Kedua, ia dibohongi dengan  janji-janji bahwa ia akan mendapat tempat di surga (baca: termakan berbagai buaian teologis yang menipu). Bagi saya hal seperti itu jelas merupakan bentuk  praktek penipuan terhadap diri sendiri.

Yang terakhir, pandangan pribadi dan sikap anda sendiri terhadap poligami?

Saya berprinsip perkawinan itu monogami. Meskipun dapat izin poligami, itu betul-betul darurat. Kalau saya sampai melakukan poligami itu pasti hawa nafsu semata. Kurang ajar sekali jika saya kawin lagi. Berarti saya telah menghancurkan idealisme saya selama ini. Saya kira alasan-alasan darurat pun untuk zaman sekarang sudah tidak ada lagi. Kalau dulu alasan poligami karena tidak punya anak saya kira itu juga tidak tepat.  Saya heran sama laki-laki yang menikah lagi dengan alasan istrinya sudah tidak bisa melayani lagi, kok tega ya. Egois banget laki-laki itu. Apakah berhubungan seks dan memiliki anak satu-satunya ukuran kebahagiaan. Saya pikir tidak juga.

 

Syukran katsira atas kesempatan berbincang ini Pak A’la. Semoga selalu sukses dalam memperjuangkan keadilan bagi kaum perempuan Indonesia….

 

Similar Posts:

TIDAK ADA KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here