Datangnya Islam ke dunia Arab, secara pasti memberi titik cerah bagi posisi kaum perempuan yang saat itu selalu mengalami diskriminasi dan marjinalisasi. Sebelum Rasulullah saw. hadir, para perempuan tidak mendapat hak-hak dasar layaknya manusia utuh. Mereka misalnya tidak berhak mendapat waris, boleh diperlakukan apapun sesuai keinginan suaminya, tidak memiliki hak untuk melarang suaminya menikah lagi, bahkan banyak praktik yang berjalan bahwa anak perempuan yang lahir harus dikubur hidup-hidup karena dipandang mencemari keluarga.
Turunnya Surat al-Nisa’ : 3 menjadi pembuka perbaikan posisi perempuan di kalangan masyarakat Arab. Saat itu di tengah kecamuk perang yang melahirkan ribuan janda dan anak yatim piatu — yang justru dalam perspektif kultur Arab mereka adalah sejenis aib sosial—Alquran menyodorkan sebuah solusi:
”Dan jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap (hak) anak-anak yatim, maka kawinilah apa-apa yang kamu sukai; dua, tiga, atau empat. Namun, jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah satu orang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Hal yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya”.
Solusi ”darurat” dari Alquran tersebut bisa dianggap sebagai suatu hal yang radikal saat itu. Di tengah praktik poligami tak terbatas di kalangan laki-laki Arab, Alquran justru memberi batas hanya sampai empat istri untuk seorang laki-laki. Itu pun dengan syarat mutlak harus bisa berbuat adil. Di sisi lain, perbudakan juga merupakan sebuah praktik yang secara evolutif hendak dihapuskan oleh Islam. Jadi, mungkinkah keadilan diwujudkan? Sementara Alquran sendiri di lain ayat dengan nada pesimis menyebutkan:
”Dan sekali-kali kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung” (al-Nisa’ :129)
Mengomentari masalah tersebut, Imam al-Zamakhsyari (w. 583 H.) menyatakan bahwa ayat-ayat dalam al-Nisa’ itu memiliki semangat mengaitkan isu poligami dengan kepengurusan anak yatim dari kemungkinan tindak ketidakadilan. Selanjutnya, secara tegas Imam al-Zamakhsyari mengatakan pesan inti yang bisa diambil dari ayat-ayat tersebut adalah bermonogami lebih utama. Karena dengan monogami, seseorang bisa menghindar dari kemungkinan berlaku tidak adil atau menganiaya pasangan.
Tidak jauh berbeda dengan Imam al-Zamakhsyari, Imam al-Baidhawi dalam Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil menyatakan bahwa turunnya ayat-ayat dalam surat al-Nisa’ itu memiliki maksud untuk memperingatkan kesewenang-wenangan masyarakat terhadap perilaku poligami. Dalam penafsirannya, ayat-ayat itu turun dalam rangka memerintahkan seseorang untuk menikah sesuai kemampuan memenuhi tanggungjawab terhadap perempuan terutama untuk berbuat adil.
Pendapat para ulama klasik tersebut dikuatkan oleh para tokoh Islam pembaharu seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan Muhammad al-Madani. Ketiga ulama dari Al-Azhar itu lebih cenderung memiliki pendapat bahwa watak pernikahan dalam Islam adalah monogami.
Kendati memiliki istri banyak, Nabi Muhammad sendiri memperaktekan poligami saat usianya sudah 54 tahun. Padahal jauh sebelumnya, di tengah kebiasaan berpoligami tanpa batas di kalangan masyarakat Arab, Nabi yang saat beristrikan Siti Khadijah ra., tetap menganut monogami. Artinya, poligami dilakukan oleh Nabi tentunya dengan alasan-alasan khusus, yang menurut Prof. M. Quraish Shihab dikiaskan sebagai emergency exit (pintu keluar darurat) dalam pesawat terbang. (Shihab: 2005, h. 180-181). Pintu darurat hanya akan dibuka ketika menghindari kecelakaan serta justru mendatangkan madharat (bahaya) apabila dibuka dalam kondisi normal.
Di tengah banyaknya laki-laki yang jatuh sebagai korban saat terjadi perang, Nabi sendiri memberi contoh bagi kaum Muslimin perhatian kepada para perempuan yang lemah (yakni para janda-janda tua dan anak-anak yatim yang ditinggal syahid oleh suami/ayahnya). Setelah perang Uhud, Nabi menikahi Zainab binti Khuzaimah (janda syuhada perang Badar, Ubaidah al-Harits). Dia juga anak perempuan kepala suku Baduwi dari keluarga Amir. Maka pernikahan itu otomatis menimbulkan persekutuan politis.
Ini juga sekaligus menegaskan pendapat Imam Ibn al-Atsir (544-606 H.) yang mengemukakan bahwa sesungguhnya poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh sebagai solusi. Semua perempuan yang dinikahi Nabi saw. adalah janda-janda yang ditinggal mati suaminya ketika berjihad, kecuali Aisyah binti Abu Bakr.
Namun ada sebuah ilustrasi yang melihat sisi Nabi sebagai laki-laki yang memiliki kecenderungan monogami. Suatu hari Nabi kecewa besar ketika mendengar putri beliau, Fatimah ra., akan dipoligami Ali bin Abi Thalib ra. Nabi pun langsung masuk ke masjid, naik mimbar dan berkhutbah di depan banyak orang: “Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib.” Sabda Nabi: “innî lâ ‘âdzanu lahum, (saya tidak akan izinkan mereka), tsumma lâ ‘âdzanu lahum (sama sekali, saya tidak akan izinkan mereka), tsumma lâ âdzanu lahum illâ an yuhibba ‘ibn Abî Thâlib an yuthalliq ‘ibnatî wa yankiha ibnatahum, (sama sekali, saya tidak akan izinkan, kecuali bila anak Abi Thalib (Ali) menceraikan anakku dahulu, dan baru menikahi anak mereka). Lalu Nabi melanjutkan, Fâthimah bidh‘atun minnî, yurîbunî mâ ‘arâbahâ wa yu’dzînî mâ ‘adzâhâ, Fatimah adalah bagian dari diriku; apa yang meresahkannya, akan meresahkan diriku, dan apa yang menyakiti hatinya, akan menyakiti hatiku (Lihat Sahih Muslim, Bab Fada’il Fathimah binti al-Nabi saw., Semarang: Thaha Putra, jilid 4, juz 7, h. 141; Jâmi’ al-Ushûl, juz 7, h. 162, nomor hadis: 9026). Akhirnya Ali bin Abi Thalib tetap bermonogami sampai Fatimah wafat.
Dalam bukunya Women in Islam, Fatima Mernisi juga mencatat sebuah perlawanan yang dilakukan oleh cicit Nabi yang bernama Sukaynah. Putri Husein yang hidup di awal era Dinasti Mu’awiyah itu terkenal karena ketegasan dan keberaniannya. Ia menikah lebih dari empat kali dengan laki-laki yang berbeda. Mengapa? Karena setiap ia menikah dengan seorang laki-laki, ia selalu mengajukan syarat untuk tidak melakukan poligami. Kenyataannya, suaminya menikah lagi. Ia pun menentukan untuk bercerai.
Baca Juga:
Fokus 1: Menimbang Poligami dengan Akal Sehat: Telaah Teks dan Konteks
Fokus 3: Poligami di Indonesia
Fokus 4: Keluar dari Belenggu Poligami