Oleh: Faqihuddin Abdul Kodir

Mendiskusikan fakta ‘bahwa Nabi Muhammad saw. berpoligami’ sampai saat ini masih menjadi bahan diskusi menarik. Ada banyak analisis yang muncul dan berkembang. Mulai dari sekadar pandangan sebagai bukti dari kekuatan fisik dan biologis Nabi saw., sampai dengan analisis dakwah dan kemanusiaan yang sarat dengan tujuan-tujuan mulia kenabian. Saat ini, selama satu dekade ke belakang, poligami Nabi saw dibaca sebagai alat promosi tindakan-tindakan yang sewenang-wenang terhadap perempuan. Fakta poligami Nabi saw telah dibahasakan dengan atraktif oleh banyak kalangan dengan ucapan: ‘poligami sunnah’. Fakta ‘Nabi saw. mempraktikkan poligami’ dan ‘ungkapan poligami sunnah’ diwacanakan pada saat- saat sekarang ini, di mana realitas poligami menjadi sesuatu yang tidak sejalan dengan tuntutan keadilan perempuan.

Sesungguhnya, ada banyak fakta lain yang tidak terungkap dalam istilah sunnah, sebagai sesuatu yang dipraktikkan Nabi Muhammad saw. Jika fakta-fakta ini diungkap, kita bisa memastikan bahwa ungkapan ‘poligami itu sunnah’ tidak sepenuhnya bisa dijadikan alasan untuk tidak mengkritik praktik-praktik poligami yang saat ini marak dilakukan.

Banyak orang terperdaya dengan ungkapan ‘poligami itu sunnah’, atau ‘poligami itu dipraktikkan Nabi’. Sehingga mereka ketakutan untuk melakukan kritik terhadap perkawinan poligami. Karena mengkritik poligami, -apalagi menolak dan melarangnya- dianggap mengkritik prilaku Nabi. Bagi ummat Islam, melakukan kritik terhadap Nabi merupakan perbuatan tercela, bahkan bisa dianggap sebagai tindakan kemurtadan.

Ungkapan ‘poligami itu sunnah’ dengan maknanya yang apresiatif dan penuh anjuran terhadap poligami, pada praktiknya menafikan kenyataan ‘sunnah-sunnah’ lain yang lebih memihak pada sesuatu yang lebih prinsip dari sekadar poligami atau monogami. Seperti sunnah untuk tidak menyakiti, sunnah untuk tidak melakukan kekerasan dan sunnah untuk berbuat adil. Sunnah-sunnah seperti ini jauh lebih mendasar dari sekadar sunnah poligami, bahkan sunnah menikah sekalipun.

Sekalipun ada teks hadis yang menyatakan bahwa ‘menikah itu sunnah’, tetapi mayoritas ulama membahas pernikahan layaknya juga amal-amal lain, yang bisa menjadi wajib, sunnah, makruh, bahkan bisa haram. Karena ada sesuatu yang lebih prinsip; jika mendatangkan manfaat yang riil menjadi baik, tetapi jika mendatangkan kemudaratan bisa menjadi buruk, bahkan haram. Inilah ‘sunnah yang lebih prinsip’.

Dari Aisyah ra., berkata: bahwa Nabi saw bersabda: “Menikah adalah sunnahku; Barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku, maka ia bukan termasuk ummatku. Menikahlah, karena aku akan membanggakan jumlah besar kalian di hadapan umat-umat lain. Barangsiapa yang memiliki kesanggupan, maka menikahlah. Jika tidak, maka berpuasalah karena puasa itu bisa menjadi kendali.” (Riwayat Ibn Majah, lihat: Kasyf al-Khafa, II/324, no. Hadis: 2833).

Sekalipun dalam teks hadis ini menikah dianggap sebagai sunnah, tetapi dalam diskursus fiqh, menikah tidak serta-merta menjadi pilihan satu-satunya. Bisa saja orang memilih tidak menikah, karena merasa tidak berhasrat dan lebih memilih beribadah atau menuntut ilmu. Ada banyak argumentasi yang diajukan dalam pembicaraan ini. Paling tidak adalah teks hadis yang mengaitkan pernikahan dengan kemampuan, dan pembukaan peluang bagi yang tidak mampu menikah untuk berpuasa sebagai ganti dari anjuran menikah. Ketika pernikahan dikaitkan dengan kemampuan, berarti ia tidak menjadi pilihan satu-satunya. Karena pasti ada kondisi di mana seseorang tidak merasa mampu untuk menikah, dan dia memilih untuk tidak menikah. Bahkan teks hadis Ibn Majah di atas menyebutkan secara eksplisit pilihan untuk tidak menikah itu dengan ungkapan ‘berpuasalah’.

Ada teks hadis lain yang lebih sahih: Dari Ibn Mas’ud ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang memiliki kemampuan, maka menikahlah, karena menikah itu bisa menundukkan mata dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu maka berpuasalah, karena puasa itu bisa menjadi kendali baginya”. (Riwayat Imam Bukhari, Kitab an-Nikah, no. Hadis: 5066).

Menikah dalam teks hadis ini dikaitkan dengan kemampuan seseorang. Berarti bagi orang yang tidak memiliki kemampuan, atau mungkin kesiapan, dia tidak dikenai anjuran menikah. Dalam komentar Ibn Hajar (w. 852 H.) terhadap teks hadis ini, orang yang tidak mampu menikah (bersetubuh) justru disarankan untuk tidak menikah, bahkan bisa jadi menikah itu baginya menjadi makruh. Memang dalam diskursus fiqh, menikah tidak serta-merta menjadi sunnah, sekalipun disebutkan dalam teks hadis di atas sebagai sesuatu yang sunnah. Menikah banyak berkaitan dengan kondisi-kondisi kesiapan mempelai dan kemampuan untuk memberikan jaminan kesejahteraan.

Imam al-Ghazali (w. 505 H.) misalnya, menyatakan bahwa bagi seseorang yang merasa akan memperoleh manfaat dari menikah dan terhindar dari kemungkinan penistaan dalam pernikahan, sebaiknya ia menikah. Namun, ketika ia justru tidak akan memperoleh manfaat, atau tidak bisa menghindari kemungkinan penistaan, maka ia tidak dianjurkan menikah. (lihat: Fath al-Bari, X/139). Lebih tegas lagi, Imam Syafi’i (w. 204 H.) menyatakan bahwa menikah adalah urusan syahwat bukan urusan ibadah, apalagi sunnah. Sama persis dengan urusan makan minum yang dilakukan untuk memenuhi syahwat perut.

Karena itu, menurut sebagian besar ulama fiqh, hukum menikah terkait dengan kondisi kesiapan mempelai; bisa sunnah, wajib, makruh, dan bisa haram. Ibn Daqiq al-‘Id menjelaskan; bisa wajib ketika seseorang merasa sangat tergantung untuk menikah, yang jika tidak dilakukan ia bisa terjerumus pada perzinaan. Juga bisa haram, ketika pernikahan menjadi ajang penistaan terhadap istri, baik dalam hal nafkah lahir maupun batin. Menjadi sunnah, jika ia tidak tergantung terhadap menikah, tetapi bisa mendatangkan manfaat baginya. Jika menikah tidak mendatangkan manfaat, maka hukumnya justru menjadi makruh. (lihat: Fath al-Bari, X/138-139).

Pernyataan ulama fiqh ini menyiratkan betapa ungkapan ‘menikah adalah sunnah’ tidak bisa dipahami secara literal dan berlaku secara umum. Ungkapan ini merupakan motivasi agar setiap orang mengkondisikan pernikahan sebagai sesuatu yang bisa mendatangkan kebaikan dan manfaat. Dengan kondisi seperti ini, semua orang akan termotivasi dan terdorong untuk menikah dan memperbaiki kehidupan pernikahannya. Namun, dalam realitas kehidupan bisa saja yang terjadi adalah sebaliknya, di mana pernikahan juga bisa mendatangkan kenistaan dan kekerasan. Ulama fiqh telah begitu cermat membaca teks hadis ‘menikah sunnah’ dalam konteks realitas kehidupan yang nyata sehingga bisa saja menjadi wajib, makruh, bahkan haram.

Menikah bisa menjadi haram, karena dalam Islam ada yang lebih prinsip dari sekadar menikah atau tidak menikah, yaitu keadilan, antikezaliman dan antikekerasan. Jika suatu perbuatan akan mengakibatkan kemudharatan, maka dapat dipastikan bahwa sesuatu itu secara prinsip dilarang dalam Islam. Karena itu, setiap perkawinan yang akan mengakibatkan kenistaan pada salah satu pihak, perempuan atau laki-laki, atau keduanya, maka harus dicegah dan diharamkan. Dengan demikian, pembicaraan ‘sunnah menikah’ sejak awal harus dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang lebih mendasar; keadilan, kesetaraan dan antikezaliman.

Dalam suatu teks hadis yang diriwayatkan Imam Malik dalam Kitab al-Muwatta’, Ahmad bin Hanbal dalam al-Musnad, al-Hakim dalam al-Mustadrak, ad-Dar al-Quthni dalam as-Sunan dan Ibn Majah dalam as-Sunan, Nabi Muhammad saw. menyatakan dengan tegas: “Tidak boleh ada sesuatu yang merusak dan menistakan” (lâ dharara wa lâ dhirâr). Teks hadis ini telah dijadikan prinsip utama dalam mengembangkan bangunan fiqh (qâ’idah fiqhiyyah), sehingga setiap keputusan hukum fiqh (hukum Islam) harus dibebaskan dari segala sesuatu yang mungkin akan merusak, menzalimi, menistakan atau berakibat kekerasan. (lihat: as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazha’ir, h. 173).

Jika logika ini digunakan, tidak sepatutnya ‘poligami sunnah’ diwacanakan sebagai propaganda keagamaan, apalagi menjadi sesuatu yang prinsip dalam agama. Justru semangat keadilan dan antikezaliman, yang seharusnya menjadi panduan dalam memahami semua teks-teks hadis mengenai poligami, maupuan monogami. Ini bisa ditemukan secara nyata dalam teks-teks hadis mengenai perkawinan Nabi saw., peringatan Nabi saw. terhadap pelaku poligami dan penolakan Nabi saw. terhadap rencana poligami Ali ibn Abi Thalib terhadap putri Nabi, Fathimah az-Zahra ra.

Pemahaman ‘sunnah poligami’ sebagai anjuran atau apresiasi terhadap poligami adalah terlalu menyederhanakan persoalan, di samping juga bisa menyesatkan. ‘Sunnah poligami’ yang sesungguhnya tidak sekadar boleh berpoligami, tetapi menyangkut seluruh perilaku, tindakan dan ucapan Nabi dalam persoalan poligami. Karena sunnah, seperti didefinisikan para ulama adalah seluruh tindakan, perilaku dan ucapan Nabi saw., maka ‘sunnah poligami’ adalah seluruh perilaku dan tindakan Nabi saw yang terkait dengan poligami, kapan, kenapa, berapa dan bagaimana perlakuan yang diberikan ketika berinteraksi dengan para istri. Untuk persoalan jumlah, seluruh ulama sepakat untuk mengharamkan ‘mengikut jejak sunnah Nabi’. Seperti diketahui dalam catatan sejarah kita, Nabi saw. menikahi lebih dari empat orang perempuan. Ketika Nabi saw. wafat, yang tercatat sebagai istri baginda pada saat itu berjumlah sembilan orang. Namun semua ulama mengharamkan keteladanan ‘sunnah’ menikah dengan lebih dari empat orang perempuan. Karena Nabi saw. sendiri hampir tiga kali memerintahkan beberapa sahabat untuk menceraikan istri di atas empat orang. Yaitu yang diungkapkan terhadap Ghilan bin Salamah as-Saqafi ra., Wahb al-Asady ra. dan Qays bin al-Haris ra.

Dari Ibn Umar ra. berkata: bahwa Ghilan bin Salamah as-Saqafi masuk Islam dan memiliki sepuluh orang istri pada masa Jahiliyah (sebelum masuk Islam), bersamanya mereka juga masuk Islam, lalu Nabi menyuruhnya untuk memilih empat orang saja dari mereka”. (Riwayat at-Tirmizi).( Lihat: Ibn al-Atsir, Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, h. 164, no. hadis: 9031).

Ini tentu saja bukan teks hadis, atau sunnah menyuruh orang untuk berpoligami, sebaliknya membatasi orang berpoligami. Batasan ini tidak lain, karena ada prinsip yang lebih mendasar yaitu larangan menyakiti dan menzalimi. Larangan menikah lebih dari empat, seperti ditegaskan banyak ulama, juga setidaknya menyiratkan bahwa ‘sunnah poligami’ tidak secara sederhana hanya dipahami ‘meneladani’ Nabi yang berpoligami. Karena masih banyak lagi sunnah-sunnah lain, yang dijadikan rujukan utama oleh ulama fiqh, terutama sunnah yang lebih prinsip. Sunnah antikezaliman dan sunnah keadilan. Sunnah keadilan ini secara tegas dinyatakan dalam beberapa teks hadis. Di antaranya:

“Dari Abu Hurairah ra.: Bahwa Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang memiliki dua orang istri, kemudian dia tidak berbuat adil terhadap keduanya, maka nanti dia akan datang pada hari kiamat dan separoh tubuhnya jatuh (terbelah). Dalam riwayat Abu Dawud: Barangsiapa yang memiliki dua orang istri, kemudian ia cenderung kepada salah satu dari keduanya, maka ia datang di hari kiamat kelak dan separoh tubuhnya terlepas. Dalam riwayat an-Nasa’i: “Dia cenderung kepada salah seorang dari keduanya, maka ia akan datang pada hari kiamat dan separoh anggota tubuhnya terlepas”. (Riwayat Abu Dawud, at-Tirmizi dan an-Nasa’i).( Lihat: Ibn al-Atsir, juz XII, h. 168, no. hadis: 9049).

Dalam komentar al-Mubarakfuri (Muhammad Abd ar-Rahman bin Abd ar-Rahim, w. 1353), ada riwayat lain yang menegaskan bahwa orang tersebut di hari kiamat akan menyeret-nyeret separoh tubuhnya yang terjatuh ke lantai. Ungkapan ini merupakan gambaran penyiksaan yang pedih dan dahsyat. (Lihat: al-Mubarakfuri, Muhammad Abd ar-Rahman bin Abd ar-Rahim, Tuhfat al-Ahwadzi, Dar al-Fikr, Beirut, 1995, juz IV, h. 228).

Sesuatu tidak akan diancam dengan siksaan yang pedih, kecuali karena sesuatu tersebut dilarang agama dan termasuk perbuatan dosa. Berbuat tidak adil terhadap istri-istri dalam perkawinan poligami adalah perbuatan dosa yang mengakibatkan siksaan di akhirat nanti. Dalam riwayat lain, ada ungkapan bahwa kecenderungan terhadap salah seorang istri yang lebih besar dari istri yang lain, adalah perbuatan dosa yang diancam siksaan akhirat. Dalam komentar asy-Syawkani terhadap teks sunnah ini, seseorang yang menginap lebih lama dengan salah seorang istri, misalnya dengan yang satu dua malam sementara dengan yang lain hanya satu malam, adalah termasuk tindakan ketidakadilan yang diancam siksaan pedih dalam teks sunnah tersebut. Perbuatan inilah yang juga dilarang al-Qur’an dalam surat an-Nisa ayat 129.        (Lihat: asy-Syawkani, Nayl al-Awthâr, juz VI, h. 371-372).

Ancaman siksa terhadap pelaku ketidakadilan dalam berpoligami, adalah salah satu bentuk kritik eksplisit terhadap praktik poligami itu sendiri. Di samping cara kritik lain yang lebih halus, seperti perlunya pembatasan jumlah, perlunya ada aturan dan keharusan untuk memperhatikan kebutuhan ‘bergilir’ perempuan. Ada model kritik lain dari sunnah Nabi saw terhadap praktik poligami, seperti pujian terhadap kehidupan monogami baginda Nabi saw. dengan Khadijah ra., tidak mengizinkan Ali ra. mempoligami Fathimah ra. dan mempersilakan Ali ra untuk memilih mencerai Fathimah ra. untuk mengawini perempuan lain, atau tetap dengan Fathimah ra. tanpa menikahi perempuan lain. Semua ini merupakan bentuk kritik sunnah terhadap praktik poligami, yang jika dipahami secara utuh, sebenarnya sunnah Nabi saw pada tataran ideal justru memilih monogami.

“Dari al-Miswar bin Makhramah berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda di atas mimbar: “Beberapa keluarga Bani Hisyam bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib, -ketahuilah-, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan, sungguh tidak aku izinkan, kecuali kalau Ali bin Abi Thalib mau menceraikan putriku, lalu mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga”. (Lihat: Ibn Hajar, Fath al-Bâri, juz X, hal. 409, no. hadits: 5230).

Dalam teks sunnah ini, secara tersurat disebutkan alasan Nabi Saw. tidak memberikan izin poligami, yaitu karena mengganggu perasaan Fathima ra dan menyakiti hatinya. Karena itu, Imam al-Bukhari sendiri memberi judul bab untuk hadits ini dengan pernyataan “upaya keras orang tua untuk membela putrinya agar tetap diperlakukan dengan layak dan adil” (bâb dzabb ar-rajuli ‘an ibnatihî fi al-ghirati wa al-ishâfi). Poligami menyakiti hati Fathima ra, sebagaimana juga menyakiti banyak perempuan. Nabi Saw. merasakan sakit hati itu, dan berkewajiban membelanya agar tidak menjadi korban perlakuan yang menyakitkan.

Ada alasan lain, yaitu karena yang ingin dinikahi Ali ra adalah putri Abu Jahl yang bernama al-Juwairiyyah. Nabi saw. tidak ingin putri Rasulullah saw. berkumpul dengan putri musuh Allah swt. Alasan ini seringkali diungkapkan beberapa ulama. Hal itu juga secara tersurat disebutkan dalam salah satu riwayat teks sunnah.

“Dari al-Miswar bin Makhramah ra, berkata: bahwa Ali meminang anak perempuan Abu Jahal, padahal dia sudah beristri Fathimah ra. putri Nabi saw. Fathimah mendengar hal tersebut, lalu mendatangi Rasulullah saw., seraya berkata: “Dia menganggap kamu tidak akan pernah marah membela putri-putri kamu (wahai ayahku). Ini, Ali akan menikahi anak Abu Jahal”. Lalu Rasulullah saw. bergegas, dan aku mendengar, setelah selesai shalat, baginda berkata: “Amma ba’du (maka setelah itu), aku telah menikahkan putriku terhadap Abu al-Ash bin ar-Rabi dan dia setia serta jujur terhadapku. Fathimah itu bagian dari diriku, aku tidak senang jika ada orang berbuat buruk terhadapnya –dalam suatu riwayat, jika ada orang yang membuat fitnah (gangguan) kepadanya-, demi Allah, tidak akan pernah bisa berkumpul putri Rasulullah dengan putri musuh Allah dalam pangkuan satu orang suami selamanya”. (Riwayat Muslim dan at-Tirmizi).( Lihat: Ibn al-Atsir, juz XII, h. 162-163, no. hadis: 9026).

Menurut Syeikh Ahmad Syakir, seorang ulama al-Azhar terkemuka, bahwa larangan poligami Ali ra.. adalah soal keluarga Nabi saw., bukan soal-soal masyarakat secara umum. Nabi saw. tidak suka, jika Fathimah bint Rasulullah saw. satu rumah dengan al-Juwairiyyah putri Abu Jahl. Pelarangan poligami tersebut bukan karena ingin mengharamkan ‘yang sudah dihalalkan’ atau sebaliknya menghalalkan ‘yang sudah diharamkan’. Jika demikian, maka siapapun tidak berwenang untuk melakukan pelarangan terhadap poligami, kecuali jika berangkat dari ‘persoalan pribadi’ atau ‘keluarga’. Poligami adalah sesuatu yang dihalalkan Allah swt., dan tidak boleh siapapun mengharamkannya, atau melarangnya. Fakta ‘pelarangan poligami Ali ra.’ merupakan soal ‘pribadi keluarga Nabi saw’, karena ketidaksukaan ‘putri Rasul satu rumah dengan putri Abu Jahl’. Pelarangan ini tidak terkait dengan pelarangan ‘syari’at poligami’ yang nyata dihalalkan Allah Swt. (Lihat: Syahhatah, Abdullah, al-Mar’ah fi al-Islâm bayna al-Mâdhi wa al-Hâdhir, al-Hai’ah al-‘Ammah al-Mishriyyah, tt, h. 146). Ini adalah salah satu pandangan, yang tidak menjadi satu-satunya pemahaman yang lahir dari hadis tersebut. Pandangan ini sangat terbuka untuk dikritik; baik dengan argumentasi ‘prinsip keadilan’, atau melalui perbandingan dengan pemahaman-pemahaman lain terhadap teks hadis yang sama.

Pandangan ini perlu dipertimbangkan karena bertentangan dengan akhlak Nabi saw. yang pemaaf terhadap bekas-bekas musuh, tidak mengungkit kesalahan masa lalu dan tidak mengaitkan seseorang dengan kesalahan orang tuanya. Menjadikan ‘calon istri kedua yang anak Abu Jahal’ sebagai alasan pelarangan poligami, sebenarnya sangat membingungkan dalam konteks pembicaraan mengenai kepribadian Nabi Muhammad saw. Karena, dengan menerima alasan ini berarti kita mencitrakan Nabi saw. sebagai pendendam terhadap musuh. Padahal semua tahu, sifat Nabi saw. tidak demikian adanya. Betapa hubungan Nabi saw. dengan Abu Sufyan ra., musuh utama Nabi saw. dalam seluruh peperangan melawan Quraisy, setelah dia masuk Islam adalah sangat baik. Padahal istrinyalah yang merobek dada paman Nabi saw., Hamzah dan memakan ulu hatinya. Sebelum Abu Sufyan masuk Islampun, Nabi saw. menikahi putrinya, Umm Habibah ra. Nabi saw. juga menikahi Shafiyyah putri Huyayy bin Akhthab pemimpin Kaum Bani Nadhir yang memerangi Nabi saw. sampai tetes darah penghabisan.

Catatan relasi Nabi saw. dengan bekas-bekas musuh sangat banyak. Dan tentu banyak catatan tentang orang yang awalnya memusuhi Nabi saw., kemudian berbalik masuk Islam dan menjadi pembela utama dan memiliki hubungan yang sangat baik dengan Nabi saw. Sesuatu yang sangat naif, jika kemudian Nabi saw. menganggap buruk terhadap al-Juwairiyyah binti Abu Jahal, hanya karena status dia adalah anak musuh Allah. Padahal dia sendiri sudah menjadi muslimah yang baik. Islam sendiri tidak mengaitkan dosa-dosa orang lain, orang tua sekalipun, dengan anaknya.

Walau bagaimanapun, Fathimah ra putri Nabi saw. merasa sakit ketika hendak dipoligami. Dia mengadukan perasannya kepada baginda Nabi saw., dan baginda ikut merasakan kegalauannya. Bagindapun memenuhi suara seorang perempuan yang sakit karena akan dipoligmi. Kata Nabi saw.:

Fathimah adalah putriku, bagian dari diriku, aku merasa terganggu apa yang mengganggu dirinya, dan aku merasa terluka dari apa yang melukai dirinya“.

Apapun alasannya, yang jelas ada fakta bahwa Nabi saw. tidak mengizinkan Ali ra. menikah yang kedua kali ketika Fathima ra. masih berada di sisinya. Nabi saw. memberi tawaran kepada Ali ra. untuk menceraikan Fathima ra., jika ingin menikah dengan perempuan lain, atau tetap bersama Fathima ra. tanpa menikah dengan perempuan lain. Karena poligami menjadi fitnah bagi diri Fathimah ra. dan sangat mengganggu kehidupannya.

Nabi saw., dalam teks sunnah di atas, lebih memuji kesetiaan Abu al-Ash suami Zainab binti Muhammad saw. Padahal Abu al-Ash hampir selama enam tahun berpisah dari Zainab yang berada di Madinah, karena ia saat itu masih berada pada barisan orang-orang kafir Quraisy di Mekkah. Namun, Abu al-Ash tetap setia, begitu juga Zainab, sehingga ketika dia menyusul ke Madinah dan masuk Islam, Nabi saw. mempertemukan mereka kembali tanpa mengulangi pernikahan mereka sama sekali.

Perempuan memiliki hak penuh untuk merasa sakit hati terhadap poligami, bahkan merupakan sesuatu yang alami dan tidak ada kaitannya dengan agama. Fathimah sendiri merasa sakit hati, dan perasaannya diakui Nabi saw. Berarti, sakit hati karena poligami juga ‘sunnah’. Karena ia dirasakan Fathimah ra. dan diakui Nabi saw. Perempuan  bisa tidak mengizinkan dirinya dipoligami, atau orang tua bisa tidak mengizinkan putrinya dipoligami. Penolakan ini tidak ada kaitannya dengan kurang beragama, kurang sabar, atau kurang setia terhadap suami. Penolakan merupakan hak penuh perempuan, juga hak orang tua. Lebih dari itu, ia juga merupakan sunnah, yang nyata dipraktikkan Nabi saw. Pada teks sunnah di atas, jelas sekali bagaimana Fathimah ra. dan Nabi saw. menolak rencana poligami Ali ra. Dan sesuatu yang dipraktikkan Nabi saw, atau yang diakui Nabi saw adalah sesuatu yang disebut sunnah. Sekali lagi, menolak poligami adalah sunnah, sakit hati terhadap poligami juga sunnah. Karena sunnah, adalah sesuatu yang dilakukan, diucapkan, atau diakui oleh Nabi saw.

Ini semua karena ada sunnah yang lebih prinsip, yaitu sunnah antikekerasan dan antikezaliman. Jika praktik poligami mendatangkan kekerasan seperti yang banyak terjadi pada masa sekarang ini, bisa dipastikan ia bukan sesuatu yang dianjurkan Islam dan tidak layak dipromosikan dengan ungkapan ‘poligami itu sunnah’. Pada konteks ini, kita bisa secara jelas melihat bagaimana al-Qur’an memberikan pilihannya pada pernikahan monogami, sebagai sesuatu yang lebih dekat untuk tidak berbuat zalim. Dzâlika adnâ allâ ta’ûlû, kata al-Qur’an (Qs. 4: 3). Monogami itu lebih dekat bagi anda untuk tidak berbuat nista, kata al-Qur’an. Dari teks ini, Imam Abu Hanifah pernah menyatakan di hadapan Khalifah Abu Ja’far al-Mansur yang sedang berdialog soal poligami: “Kita harus berperilaku dengan adab al-Qur’an yang menyatakan monogami itu lebih dekat bagi seseorang untuk tidak berbuat nista”. Terakhir, mungkin kita bisa menegaskan bahwa monogami itu pilihan qur’ani. Dzâlika adnâ allâ ta’ûlû.

 

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here