Rumor itu sudah lama terdengar di telingaku. Mas Eki (sebut saja demikian) suamiku tercinta digosipkan orang sudah menikah lagi dengan perempuan lain. Padahal sebelumnya, tidak sedikit pun terlintas dalam diriku pikiran yang bukan–bukan terhadapnya. Aku mempercayai Mas Eki karena selama ini tidak pernah berusaha menyakitiku dalam bentuk apapun.
Kepercayaanku pada Mas Eki tidak berubah. Sampai suatu hari secara tidak sengaja, aku menyaksikan pemandangan yang pada awalnya, sama sekali tidak aku percayai. Seolah mimpi, aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri Mas Eki bersama perempuan lain sedang bergandengan mesra di sebuah kampus ternama di kotaku. Namun anehnya saat aku hampiri mereka, suamiku tenang-tenang saja. Sikap berlawanan justru diperlihatkan oleh perempuan itu yang jelas sekali terlihat salah tingkah.
Kejadian menyakitkan itu tidak sekonyong–konyong membuatku emosional. Kendati rasa kecewa dan sakit hati menumpuk, aku coba menenangkan diri dan mencari waktu yang tepat untuk bicara dengan suamiku. Di tengah kegalauan hati, aku berusaha untuk berbaik sangka bahwa apa yang dilakukan suamiku mungkin saja berangkat dari keinginan untuk menghindar perbuatan zina. Bisa saja.
Akhirnya waktu itu pun datang juga. Aku ingat sekali, waktu itu jatuh pada bulan Agustus 1982. Setelah salat Isya, aku hampiri suamiku yang tengah duduk santai. Dengan menguatkan hati, aku bertanya kepadanya dengan suara pelan dan tenang, ”Ayah, apakah betul Ayah menikah lagi?” Sejenak dia terlihat kaget mendengar pertanyaanku yang mungkin bagi dia datang begitu tiba–tiba. Setelah diam selama beberapa saat, suamiku dengan pelan menjawab: ”Ya betul, aku memang telah menikah siri dengan perempuan lain,” ujarnya singkat.
Demi mendengar jawabannya yang sangat tenang itu, hatiku bagai diiris–iris pisau. Bagaimana tidak, suamiku yang selama ini setia mendampingiku, tega menyakitiku tanpa merasa bersalah? Namun aku pantang memperlihatkan rasa sedih dan sakit hatiku di depannya. Aku rasa, aku harus tegar. Karena dorongan itu, aku mencoba berlaku ”tenang” , walau jujur saja hati ini terasa hancur remuk-redam. Alih–alih marah, aku malah langsung menyodorkan tanganku kepadanya untuk mengucapkan selamat atas ”keberanian” dia memilih poligami. Belakangan aku tahu, semua yang aku lakukan adalah sebuah kepura-puraan yang justru menyiksa diriku sendiri.
Sebagai bentuk rasa ”ikhlasku” untuk dimadu, dua hari kemudian, aku meminta Mas Eki mempertemukanku dengan istri mudanya. Setelah menimbang–nimbang, dipilihlah sebuah hotel kecil di kotaku guna mengadakan pertemuan kami bertiga.
Terus terang, aku sangat ”bersemangat” bertemu dengan istri kedua suamiku. Walau sudah terlanjur terjadi, aku ingin menciptakan pengertian di dalam diri perempuan itu agar mengerti keberadaanku dengan tiga orang anak yang masih membutuhkan perhatian suamiku. Itu sebabnya, saat aku bertemu dengan istri kedua suamiku itu, aku mengajukan beberapa syarat yaitu aku rela dimadu asalkan istri muda suamiku mau mengikuti aturanku. Singkat kata, pertemuan itu berjalan tanpa masalah. Aku menerimanya sebagai maduku dan sebaliknya dia juga sepakat menuruti segala aturanku. Namun hari-hari berikutnya istri muda suamiku mulai tidak manut dengan kesepakatan yang dibuat.
Semenjak suamiku menikah lagi, aku mencoba melupakan penderitaanku dengan lebih banyak menumpahkan perhatian kepada anak-anak dan berkonsentrasi kepada aktivitasku sebagai guru di sebuah SLTA swasta. Aku didik anak-anakku dengan nilai-nilai keterbukaan. Sekecil apapun permasalahan yang menimpa keluarga kami, mereka pun berhak tahu. Bahkan sampai kondisi ekonomi sekalipun. Aku berharap mereka kelak tidak mengulangi kesalahan yang telah aku dan suamiku lakukan.
Aktivitasku semakin padat, aku memutuskan untuk terlibat lebih serius dalam kegiatan sosial kemasyarakatan di sebuah ormas perempuan Islam dan sesekali juga dalam kegiatan partai politik. Tahun 1994, aku mengikuti sebuah kegiatan bertajuk penguatan hak-hak perempuan dalam Islam yang diadakan oleh sebuah lembaga sosial. Ironisnya, bersamaan dengan terlibatnya aku dalam kegiatan yang memperjuangkan hak-hak perempuan, kejadian menyakitkan terulang kembali. Suamiku menikah untuk yang ketiga kalinya. Sakit sekali rasanya hati ini. Cobaan apalagi yang menimpaku?
Sebagai aktivis perempuan, aku sungguh menyesal tidak bisa berbuat apa–apa dengan perilaku tidak adil Mas Eki kepadaku itu. Aku selalu berdoa, semoga Mas Eki menemukan kesadarannya kembali sebagai seorang suami dan ayah yang baik bagi keluarga kami.
Pada suatu hari Mas Eki pulang dari kegiatan mengajarnya di sebuah sekolah. Tidak seperti biasanya, pagi sekali dia datang, sambil mengendong seorang bayi perempuan berumur 3 bulan. Akupun sudah beranggapan bahwa bayi itu adalah hasil pernikahannya dengan istri ketiga. Saat aku desak, ternyata dugaanku benar. Istri ketiga suamiku meminta cerai dan menyerahkan anak itu, karena suamiku tidak mau mengawininya secara resmi. Untuk kesekian kali aku memaklumi kondisi suamiku dan memutuskan merawat bayi kecil itu. Alhamdulillah, bayi itu sekarang sudah besar dan duduk di bangku sebuah sekolah menengah pertama.
Agustus 2002 adalah hari–hari yang sangat berat buat suamiku. Dari anak hasil pernikahan suamiku dengan istri keduanya, aku mendapat kabar Mas Eki terkena stroke. Tanpa banyak pikir, aku bersama anak-anak langsung menjenguk dan membawanya pulang ke rumahku sendiri. Semula ia di rumah istrinya yang kedua. Berkat pertolongan Tuhan Yang Maha Kuasa, setelah beberapa hari istirahat, suamiku berangsur sembuh dan bahkan kembali bisa mengajar.
Kejadian menyedihkan terus beruntun menimpa suamiku. Januari 2004, dia diusir oleh istri keduanya. Alasannya sangat tidak masuk akal, yakni menurut dia pada saat sakit Mas Eki lebih sering berada dirumahku, dan otomatis dia jadi jarang mendapat uang belanja. Mas Eki langsung pulang ke rumahku dengan membawa 2 tas kresek yang berisi pakaian. Dia menyatakan kepadaku bahwa dirinya telah menceraikan istri kedua itu.
Kini akulah satu-satunya istri Mas Eki yang dari awal dan bertahan hingga akhir, insya Allah. Bagiku dunia ini memang kadang aneh. Dulu, saat suamiku segar-bugar, dia begitu tega menyakitiku dengan melakukan poligami sampai 2 kali. Aku bahkan menjadi korban kekerasan psikologis dan ekonomi di rumah tanggaku sendiri. Kini saat dia kembali dilanda stroke, justru aku adalah perempuan satu–satunya yang tetap setia dan peduli terhadapnya. Aku tak tahu, apakah karena aku sudah terlanjur mencintai suamiku hingga aku ”pasrah” saja saat dia menyakitiku? Yang jelas aku merasa, bukan hanya oleh suamiku saja aku pernah dizalimi, namun oleh sesama kaumku pun aku pun pernah merasa tersakiti dan terkhianati. Wallahu al-musta’an.