Judul Buku : Perempuan, Agama dan Moralitas; Antara Nalar Feminis dan Islam Revivalis
Penerbit : Erlangga
Tahun Terbit : 2002
Tebal Buku : IX + 225 hlm
Penulis : Nawal Al-Sa’dawi dan Hibah Rauf Izzat
Kebudayaan Mesir pada awalnya sangat menghargai perempuan. Tetapi kemudian berbagai persoalan social, ekonomi, politik dan agama, mengelilingi perempuan, melahirkan budaya patriarkhi yang menempatkan perempuan pada posisi lemah dan tidak lebih sebagai obyek belaka. Buku yang berjudul Perempuan, Agama dan Moralitas; Antara Nalar Femninisme dan Islam Revivalis ini ditulis oleh dua tokoh Feminis Mesir; yakni Nawal al Sa’dawi dan Hibah Rauf Izzi. Keduanya mengangkat persoalan keterpasungan perempuan di Mesir dan mencoba mencari jawabannya. Untuk itu mereka melakukan penelusuran sejarah lahirnya budaya patriarki. Dalam proses itu kedua tokoh tersebut menggunakan metodologi pemikiran revivalis. Mereka memulai dengan penyingkapan dan pendefinisian moral, agama yang di kaitkan dengan konteks social dan budaya patriatki.
Nawal, seorang dokter, sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa kecilnya, dimana dia banyak menyaksikan ketidakadilan terhadap perempuan Mesir. Pengalaman itu kemudian membentuknya menjadi seorang yang berjiwa progresif; dalam upaya pembebasan perempuan dari ketidakadilan. Pengalamannya sebagai dokter, membantunya dan menjadi rujukan dalam menafsirkan dan menerjemahkan kembali budaya patriarki di Mesir. Dia melihat bahwa praktek Khitan terhadap anak perempuan, misalnya, dilakukan dengan alasan agar perempuan lebih bisa menahan seksualitasnya. Dengan demikian perempuan tidak akan berselingkuh; dan lebih jauh lagi dimaksudkan agar perempuan lebih berkonsentrasi dalam ruang domestic. Menurut Nawal hal ini tidak bisa diterima. Mengapa seksualitas perempuan harus dipangkas sementara laki-laki tidak. Pada kesempatan lain, Nawal melihat seorang anak perempuan yang meninggal karena komplikasi yang diakibatkan dari praktek ini. Dari berbagai peristiwa seperti itu, Nawal melakukan kajian ilmiah dan kemudian mengaitkan dan menjelaskannya pada ruang budaya.
Nawal juga melakukan rekonstruksi pembacaan sejarah. Menurutnya filosofi yang diwariskan telah mengalami perubahan sebagaimana sistem politik, sosial dan ekonomi; perubahan pemahaman dan cara berpikir terhadap nilai-nilai agama; perubahan hubungan internasional dan individu. Sesungguhnya tanda kehidupan adalah perubahan. Setiap zaman memiliki karakteristik tersendiri, sesuai dengan tahapan kesadaran dan perkembangannya. Hanya saja pembebasan dari (filosofi) perbudakan berjalan lambat. Hal ini karena sistem ekonomi dan politik kapitalis-merkantilis, sampai pada zaman modern – post modern, masih memasung dan melanggengkan penjajahan pemikiran. Korbannya adalah kaum duafa dan perempuan.
Dalam pembacaan ulang sejarah tersebut Nawal menguraikan proses bergesernya budaya matriarki menjadi budaya patriarki (baca hal.8-11). Ahirnya Nawal menyimpulkan bahwa rekonstruksi sejarah klasik akan banyak mengungkap masalah-masalah politik dan ekonomi yang menjadi penyebab dari penindasan terhadap orang lemah (perempuan dan orang miskin) dalam masyarakat, yang dilakukan atas nama agama. Padahal agama menghendaki keadilan dan perdamaian. Agama pada hakekatnya adalah pembebasan dari penindasan. Karena itu, demi keadilan, upaya merekonstruksi sejarah dan menafsirkan kembali teks budaya yang telah ada menjadi keniscayaan.
Sedangkan Hibah Rauf Izzat adalah pemikir Feminis Revivalis Islam. Dalam pandangannya Islam sebenarnya bisa menjawab berbagai persoalan zaman dan umat. Misi Islam tidak hanya untuk umatnya semata, melainkan untuk seluruh umat dalam kerangka pencapaian kemaslahatan alam semesta. Sehingga Islam senantiasa menjadi marja’ dalam penyelesaian masalah umat. Islam memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal dan relevan dengan perkembangan zaman (melalui kontekstualisasi agama). Islam peka terhadap persoalan yang sensitive sekalipun. Islam memahami permasalahan dan kebutuhan umat. Islam pada dasarnya adalah agama yang humanis.
Dengan esensi seperti itu Islam sangat peduli dengan keadilan dan anti patriarki. Hal ini bisa dilihat dari istilah al-Quran terhadap manusia, yakni “Insan” dan “Basyar” yang berarti manusia (laki-laki dan perempuan); dan juga kata “huwa” dan “hiya” yang berarti manusia laki-laki dan manusia perempuan. Berdasarkan itu maka konsep kekhalifahan mutlak bisa dipegang baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini bisa dilihat dalam Al-quran (3:195, 16:97 dan 49:13).
Dalam buku ini, Hibah juga membahas tentang kepemimpinan (Qowwamah); yang merupakan salah satu sifat orang mukmin (laki-laki dan perempuan). Qowwamah, menurutnya, berkaitan dengan kesaksian terhadap manusia. Jadi al-Qowwamah berarti melakukan perintah agama, sesuai syariah, dengan cara menegakkan keadilan dan kebenaran yang merupakan salah satu sifat Tuhan. Sifat itu dibolehkan dimiliki oleh hamba-Nya. Ini terlihat sangat berbeda dengan pemahaman konsep Qowwamah yang difahami kebanyakan orang. Qawwamah memang hanya disebutkan dalam surat An-Nisa’ (4:34); tidak pada surat-surat yang lain dalam al-Quran (4:125 dan 5:8). Sehingga pemahamannya kurang tuntas, dan pada akhirnya menimbulkan pemahaman yang “kurang tepat”. Konsep kesetaraan tersebut, menurut Hibah, sebenarnya tercermin dalam nilai-nilai kemanusiaan, dalam hak-hak sosial, dalam tanggung jawab, dsb.
Hibah menandaskan penjelasannya dengan merefleksikan dan mencontohkan konsep Qowwamah dalam kehidupan keluarga. Kehidupan keluarga harus memegang teguh prinsip kepemimpinan yang berdasarkan permusyawarahan (antara suami-isteri). Urusan rumah tangga adalah urusan bersama suami-istri dan bahkan anak-anak.
Nawal dan Hibah melihat budaya ketidakadilan telah memasung perempuan dan menjebaknya kedalam keterpurukan. Sebagai contohnya, seorang suami yang menceraikan isterinya, karena maun menikahi seorang gadis, dianggap tidak salah; justru isteri yang salahkan, karena tidak mau berhias. Dari kesenjangan budaya seperti inilah keduanya mencoba mencari benang merah dan merajutnya kedalam budaya yang adil terhadap perempuan kedalam ranah sosio-kultur dan ekonomi-politik. Jika Nawal membidik sejarah dan politik maka Hibah membidik agama dan moral. Setelah membahas panjang lebar kesenjangan yang dialami perempuan, kedua penulis itu, dalam epilognya, menyimpulkan bahwa dari sejarah yang tidak adil menimbulkan budaya yang meminggirkan perempuan. Budaya yang menganggap perempuan sebagai semata-mata alat untuk pencapaian materi. Perempuan telah masuk kedalam ruang kapitalisme yang bisa memperjual-belikannya. Hal ini karena system budaya dan politik Mesir ikut dalam tatanan dunia global yang eksploitatif. dan kaum duafa dan perempuanlah yang menjadi korbannya.
Buku ini adalah hasil diskusi kedua tokoh feminis Mesir yang mendialogkan problem perempuan Mesir yang terpasung dengan kebudayaan patriarki, maka melalui sharing dan adanya kritik antar penulis, keduanya sepakat untuk mengadakan tajdid dan ijtihad terhadap budaya dan intelektual yang patriarki dalam rangka pencapaian humanisme dan keadilan. Wallahu ‘alam bissawab.
Peresensi adalah alumni Madrasah RAHIMA Jakarta dan Mahasiswi UIN Jakarta.