Oleh : Leli Nurohmah

Berupaya menjadi pendengar yang baik  saat mendengar tuturan derita perempuan yang diduakan  dalam perkawinannya bukan satu dua kali bagi saya. Sebut saja Ibu Sri  yang semenjak tahu suaminya telah menduakannya dengan perempuan yang sangat dia kenal selama dua bulan lamanya ia menolak untuk melakukan sholat lima waktu, bahkan membaca al-qur’an.

Contoh lain dialami oleh Ibu Ati sejak mengetahui suaminya menikah lagi pribadi Ibu Ati yang semula ceria tiba-tiba menjadi pemurung, penyendiri bahkan mengalami  stress yang luar biasa. Masih banyak lagi cerita yang terekam dalam ingatan saya. Cerita-cerita itu mengalir bersama air mata,  menguak derita yang menyesakkan dada para perempuan yang terluka. Yang deritanya mungkin saja tidak mendapat cukup empati oleh masyarakat. Karena perempuan yang menolak poligami akan dianggap sebagai perempuan yang tak layak mendapatkan surga, atau pembangkang ajaran agama.  Seolah derita yang mereka alami terkubur bersama waktu yang tak berpihak pada  mereka  dan juga anak-anak mereka.

Dan ironisnya, seringkali kita menutup mata dengan apa yang diderita perempuan dan anak-anak yang menjalani atau terjebak dalam sistem ini. Sebuah sistem perkawinan yang telah mendewakan hasrat seksualitas laki-laki dan mengebiri sebuah sisi kehidupan lain, yaitu kepercayaan, kesetiaan, pengorbanan sang istri yang dikhianati.  Sayangnya hal ini seringkali di bumbui dengan ayat-ayat suci dan jaminan surga diakhirat nanti, untuk akhirnya menundukkan kekecewaan sang istri.

Saya kira sudah saatnya kita kembali mengkaji pembacaan kita terhadap ayat-ayat illahi dan juga pesan Nabi dengan kaca mata yang lebih jernih. Kaca mata keberpihakan kepada kaum yang dilemahkan yang dipercaya sebagai ciri agama ini.

Dan pesan ini terungkap jelas dalam sikap Rasul ketika beliau menolak permintaan menantunya Ali RA saat hendak menduakan putri tercintanya. Beliau tahu hal itu akan sangat melukai kemanusiaan putri yang dikasihinya.

Sesungguhnya dalam kaidah perkawinan Islam, ada tuntutan akan mu’asyarah bi al-ma’ruf (memperlakukan satu sama lain dengan baik). Perkawinan bermaksud untuk membuahkan   kebaikan bagi semua pihak, baik istri maupun suami. Nampaknya hal ini akan sangat jauh arang dari api dalam sebuah perkawinan poligami. Didalamnya sangat memungkinkan adanya ketidakseimbangan dalam sisi kebaikan dan keuntungan. Lazimnya laki-laki lebih banyak diuntungkan dengan memiliki banyak istri sementara istri harus berjuang keras sendiri memenuhi kehidupan ekonomi dan membiayai kebutuhan sendiri. Selain itu, kebutuhan dan hak untuk mendapatkan cinta dan kasih sayang (mawadah wa rahmah) dalam keluarga khususnya untuk anak-anak sangat memungkinkan terjadinya ketidak seimbangan.

Bahkan tak jarang fenomena ini menimbulkan apa yang oleh Faruk (2000) disebutnya sebagai “women womeni lupus” sebuah fenomena untuk menunjukkan permusuhan di antara para istri dalam perkawinan poligami. Ia mengatakan pertarungan yang terjadi sesungguhnya adalah pertarungan untuk mendapatkan perhatian dari suaminya.

Nampaklah fenomena berkawin lebih dari satu istri ini tidak hanya telah merobek-merobek perempuan dari sisi sosial, ekonomi, mental, spiritual juga seksual. Padahal hati manusia diciptakan sama, sama-sama  terluka bila dikhianati oleh orang yang dicintai.

Sebagai bagian dari masyarakat muslim yang selalu dituntut untuk membaca dan mesikapi realitas sosial secara arif, mari menggali dan mendalami hakikat dari pesan Islami. Jangan kedepankan hawa nafsu hanya untuk memenuhi hasrat birahi tapi untuk menjadikan Islam ini benar-benar sebagai rahmatan lil alamin. Bagi siapa gerangan? Tentu untuk semua makhluk cipataan ilahi, laki-laki dan perempuan. Bukankah itu yang dinamakan arti berserah diri atau berislam yang kaffah?

Wallahu a’lam bishowab

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here