“Yang kutahu, kasih sayang itu nggak bisa dibagi rata. Enggak kayak roti yang ada timbangan kilogramnya,” ( Saraswati, seorang blogger anak-anak)
Zainal Maarif, salah seorang anggota DPR RI, tetap bersikukuh. Menurut aktivis sebuah partai Islam itu , seharusnya orang tidak harus usil dengan keputusan dia untuk berpoligami. Selain itu haknya sebagai seorang laki-laki, Zainal juga menyebut bahwa poligami sebagai sebuah ketaatan spiritual yang bernilai ”amal soleh”, Alquran kan membolehkan (poligami). Sebagai umat Nabi yang taat, ya apa salahnya saya juga mengikuti sunah Rasul,” ujarnya kepada wartawan beberapa waktu yang lalu.
Zainal boleh saja menganggap poligami sebagai sebuah ”amal soleh”. Tapi tidak dengan Zaky, seorang lelaki asal Jawa Barat yang keharmonisan keluarganya terancam badai poligami. Alih-alih melihatnya sebagai sebuah bentuk ibadah mencari pahala, pemuda Tasikmalaya itu justru melihat poligami tak lebih sebagai penyebab utama kehancuran tatanan rumah tangga orang tuanya. ”Ibu saya jadi sedikit terganggu jiwanya gara-gara Bapak saya kawin lagi,” ungkapnya dalam nada sedih.
Kekukuhan Zainal dan pengalaman sedih keluarga Zaky seolah menjadi pertanda betapa kompleksnya masalah poligami. Di satu sisi, para pendukung poligami memiliki alasan bahwa praktik beristri banyak lebih terhormat secara moral dan mengangkat derajat perempuan ke status yang lebih jelas. Namun di sisi lain, fakta sosial menyebutkan bahwa poligami justru menimbulkan penderitaan di pihak perempuan dan anak-anaknya. Sebagai contoh, menurut LBH Apik seperti dikutip dalam Jurnal Perempuan edisi 31, pada 2003 saja tercatat 107 perempuan yang dimadu mengaku mengalami kekerasan dari suami mereka. Kekerasan tersebut meliputi penghentian pemberian nafkah, tekanan psikis, penganiayaan fisik, diceraikan, ditelantarkan/ditinggalkan suami tanpa kejelasan, pisah ranjang dan pengalaman teror dari istri kedua. Fenomena ini juga dapat dilihat dari hasil penelitian mengenai dampak poligami pada para istri di lingkungan masyarakat Betawi yang dilakukan oleh Leli Nurohmah (tesis di Program Studi Kajian Wanita Universitas Indonesia tahun 2003). Dari hasil wawancaranya terhadap 10 orang perempuan korban poligami di Cinere, dapat disimpulkan bahwa poligami tidak hanya menyebabkan istri pertama menjadi korban, tetapi juga pada istri kedua, ketiga, dan seterusnya.
Melihat rentetan kekerasan yang dialami para perempuan di atas, tentunya wajar kalau itu membuat kita bertanya-tanya. Apakah poligami betul-betul merupakan sebuah solusi atau hanya ekspresi egoisme kaum laki-laki yang dipaksakan ?
Poligami dalam Lintasan Sejarah
Poligami bisa jadi merupakan tradisi yang sudah lama mengejala di dalam sejarah umat manusia. Pada tahun 1940-an, G.P. Murdock –seorang antropolog Barat – membuat sebuah penelitian yang memberi bukti bahwa banyak kelompok masyarakat di dunia menjalankan praktik poligami sejak dahulu. Murdock mengambil sampel 565 kelompok masyarakat dari semua benua dan daerah di muka bumi. Hasil penelitiannya menegaskan bahwa hanya 19% kelompok masyarakat yang melakukan monogami. Sisanya yakni 81% justru mempraktikan poligami.
Ratusan tahun, bahkan ribuan tahun yang lalu, praktik poligami lazim juga dilakukan oleh para raja dan kaisar dari berbagai peradaban dunia. Menurut Al-Siba’i — sebagaimana dikutip oleh Baidan dalam Tafsir bi Al-Ra’yi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Alquran (1999) –– menyebutkan ribuan tahun lalu praktik beristri banyak berjalan secara subur di kalangan bangsa-bangsa yang hidup pada jaman purba. Bangsa-bangsa penakluk seperti Arab, India, Romawi, Persia, Babilonia, Yunani, Cina sudah tak asing lagi dengan gaya hidup seperti itu. Poligami di kalangan mereka tak memiliki batasan jumlah. Bahkan seorang kaisar dari sebuah dinasti yang hidup di daratan Cina diberitakan mempunyai istri berjumlah 30.000 perempuan.
Dalam agama Hindu dan Budha, kendati masyarakat biasa tidak diwajibkan untuk berpoligami, namun para raja dibolehkan untuk memiliki empat istri. Ini secara jelas disebutkan dalam Arthasastr,The Smertis dan The Epic. Dua buku itu bahkan memuat pengaturan seorang laki-laki boleh memiliki beberapa istri dari kastanya sendiri atau kasta di bawahnya.
Secara historis, poligami juga dikaitkan dengan agama samawi. Teologi Yahudi menyatakan bahwa laki-laki diperkenankan untuk memiliki istri lebih dari satu. Bahkan disebutkan Taurat (kitab suci Agama Yahudi), Nabi Yakub, Nabi Daud, Nabi Sulaiman disebutkan memiliki istri yang tak cukup dihitung dengan jari. Dunia Kristen juga tidak lepas dari isu poligami tersebut. Pada 1650, pemeluk agama Kristen di Perancis pernah mendapatkan fatwa, boleh memiliki 2 istri. Bahkan jauh sebelumnya, Dewan Tertinggi Gereja Inggris –sampai abad 11– mensahkan wanita sebagai barang dagangan: boleh dijual, dipinjam, dan digadaikan. Kebiasaan itu akhirnya dihapus setelah para ksatria Kristen sepulang dari Perang Salib. Sebelum Islam datang, suku-suku Baduwi di Jazirah Arab juga memiliki tradisi beristri tanpa batas. Banyaknya istri menentukan posisi sosial laki-laki di mata kaumnya. Karena anggapan itu pula, laiknya hewan ternak, para perempuan Arab pra Islam bisa di perjualbelikan di pasar-pasar.
Baca Juga:
Fokus 2: Islam dan Poligami
Fokus 3: Poligami di Indonesia
Fokus 4: Keluar dari Belenggu Poligami